"Ketika pagi datang, orang yang lalai akan berpikir apa yang harus dikerjakannya. Sedangkan orang yang berakal akan berpikir apa yang akan dilakukan Allah kepadanya."
Ibnu Athaillah
Telepon rumah Aisha berdering. Dengan tergesa-gesa, Aisha langsung menuruni anak tangga untuk mengangkat telepon tersebut. Ternyata yang menelepon itu adalah relasi bisnis suaminya. Entahlah, dia tidak akan paham mengenai itu semua. Makanya dia memanggil Rey agar pembicaraan menjadi terarah dengan baik.
"Apa katanya, Mas?"
Rey mendesah berat, "Meeting."
"Oh gitu. Tapi kenapa mukanya jadi kusut gitu sih, sayang?" Aisha terkekeh kemudian menangkup kedua pipi suaminya itu. Dia mencubitnya. Rey mengaduh sakit.
"Meetingnya sekarang."
"Sekarang ya?"
Rey mengangguk. Wajahnya nampak tak bersahabat. Bagaimana mungkin bisa bersahabat? Padahal dia baru saja meeting kemarin dengan relasi bisnisnya itu. Dan sekarang, dia harus meeting lagi. Mendadak.
Tapi ia tak akan bisa menolak. Proyek itu juga nantinya akan menguntungkan bagi dirinya.
"Tapi kenapa mendadak ya, Mas?"
"Mas kurang tahu."
"Oh, ya sudah Ica bantuin siap-siap ya? Memangnya ke mana Mas meetingnya?" Aisha langsung menyambar Rey dengan semua pertanyaan.
"Ke kalimantan. Katanya sih mau survei tempat buat lokasi pembangunan hotelnya."
Aisha hanya mendengarkan dengan takzim. "Berapa hari, Mas?"
"Enggak tahu. Tapi mudah-mudahan gak lama yah. Mungkin paling lama cuma tiga hari. Nanti jangan rindu ya sama Mas." Rey terkekeh memandang wajah istrinya yang anggun dalam balutan jilbabnya.
"Kenapa? Ica gak bakal rindu, kok." Aisha mengalihkan wajahnya dari pandangan Rey. Berpura-pura tak suka dengan sikap Rey. Kemudian ia berbalik pergi dari hadapan Rey.
Tapi tanpa disangka Rey tiba-tiba melingkarkan tangannya dan memeluknya dari belakang.
"Beneran kamu gak bakal rindu sama Mas?" bisik Rey ke telinga Aisha.
Aisha menjadi salah tingkah. "Enggak," sanggahnya.
Rey melepas pelukannya dan kemudian beranjak pergi. Ia memperlihatkan raut wajahnya yang kecewa.
Aisha menahan lengan Rey yang hendak berlalu pergi. "Ica pasti bakalan rindu, Mas. Walaupun kamu cuma pergi selama tiga hari, tapi itu berat buat Ica, Mas. Mana mungkin Ica gak bakal rindu? Ica pasti bakalan rindu banget. Ica pasti rindu sama kakak kelas yang dulu sempat ngasih bunga waktu Ica di rumah sakit dulu, dia sampai bela-belain ke rumah sakit demi gadis pujaannya, padahal kan dia baru saja pulang dari acara pelulusannya. Hebatnya lagi, sesampainya di sana penampilannya itu sudah tak karuan. Ica juga pasti bakalan rindu sama kakak kelas yang sering salting di depan adik kelasnya." Aisha memamerkan deretan giginya yang putih. Tersenyum lembut.
Rey terkekeh mendengarnya.
"Dan Ica juga bakalan rindu sama orang yang sudah memendam rasanya selama bertahun-tahun hanya untuk seorang gadis yang sangat ia cintai, padahal ia sudah pergi ke London dan pastilah di sana banyak gadis yang lebih cantik dari gadis itu. Tapi karena cintanya yang begitu tuluslah ia tak berpaling darinya. Rani pasti bakalan rindu sama Kak Alfat. Banyak kenangan indah saat bersamanya yang sangat sayang untuk dilewatkan bahkan dihapus dalam memori otak ini. Karena itulah aku rindu." Ica tersenyum getir. Entahlah. Ia tidak tahu kenapa tiba-tiba berbicara seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Cinta (END)
SpiritualAisha yang diam-diam menyukai temannya sendiri--Alwi, harus rela memendam rasa cinta bertahun-tahun. Hingga pada suatu hari, ia dijodohkan oleh orangtuanya dengan Rey--kakak kelasnya ketika di Madrasah Aliyah. Apakah Aisha akan bertahan dengan pili...