HC 23

8.1K 379 18
                                    

"Merasa kebingungan adalah hal yang wajar. Karena kebingungan adalah sebuah awal dari seluruh kejelasan yang ada di dunia ini."

Hijrah Cinta

Gadis itu menatap manik mata hitam Alwi. Bibirnya melukisakan sebuah senyuman yang indah.

"Mawra," balas gadis tersebut.

"Oh, Mawra. Terima kasih banyak, ya. Saya akan kasih nilai tambahan untuk kamu."

"Benarkah?!"

Alwi mengangguk mengiyakan.

"Terimakasih banyak, Pak."

Mawra berlalu pergi dari hadapan Alwi. Menurutnya Alwi itu adalah dosen yang baik, bukan dosen killer yang sering di cap oleh teman-temannya. Tapi kenapa ia bisa semudah itu memberikan nilai? Apakah ini di benarkan?

Tidak, ini salah.

Mawra kembali lagi ke ruangan Pak Alwi. Ia merasa tidak enak karena hanya gara-gara membantu Pak Alwi ia sampai mendapatkan nilai tambahan. Mawra menolong Pak Alwi dengan ikhlas, tanpa mengharapkan balasan apapun.

Mawra menyentuh knop pintu hendak menariknya, namun urung saat mendengar sebuah tangisan dari dalam.

"Siapa yang nangis?" batinnya, "Masa Pak Alwi nangis sih?!" Ia terlihat ragu saat akan masuk ke dalam.

Dengan mengucap basmallah Mawra mengembuskan napas jengah. Ia mengetuk pintu agar mendapat sahutan dari dalam. Tapi, masih tak ada jawaban. Sampai diketukan keempat baru Alwi membuka pintu sembari memperlihatkan matanya yang sembab.

"Ada apa lagi?" tanya Alwi datar.

Mawra merasa tidak enak untuk berbicara saat ini kepada Pak Alwi, mungkin tidak sepantasnya ia kembali lagi ke sini. Suasana hati dosennya itu sedang tidak keruan. Bisa saja ia malah mendapatkan masalah jika berhadapan dengan Alwi dalam kondisi seperti ini.

"Ada apa kamu menemui saya? Perlu tambahan nilai lagi?" kata Alwi dengan nada sediki tinggi. Matanya menatap tajam manik mata Mawra yang teduh bagaikan sebuah pohon yang melindungi pengembara di tengah panasnya udara gurun.

Mawra tak mampu berkata apa-apa, ia menggeleng cepat. "Assalamualaikum." Mawra berjalan dengan tergesa-gesa, punggungnya sudah menghilang dari pandangan Alwi.

***

Aisha menatap nanar langit-langit kamarnya. Entah kenapa hatinya saat ini dilanda kegelisahan. Ada sebuah perasaan kontras yang bercampur hingga menyebabkan dua kubu yang berbeda. Antara yakin dan ragu.

Ia menghirup aroma lemon dari pengharum ruangan yang ada di kamarnya. Perlahan aroma itu memberikan sedikit rasa tenang dalam pikirannya.

Ia tak boleh meragu, ia harus yakin. Bagaimanapun juga itu adalah pilihannya. Ini adalah pilihannya yang terbaik.

***

Di sisi lain, Mawra kini tengah duduk di sebuah halte. Ada rasa takut yang menyelubungi hatinya. Bagaimana ia tidak takut? Jika ia menemukan satu orang yang sama dengan dua kepribadian yang berbeda.

Orang itu adalah Pak Alwi, ia merasa heran apa yang sebenarnya terjadi dengannya. Saat awal bertemu dengannya dia sangat ramah, tapi saat bertemu yang kedua kalinya dia menjadi laki-laki yang pemarah. Mawra bergidik ngeri, membayangkan jika ia masih mematung di sana dan tidak langsung beranjak pergi.

Sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Bertuliskan My Beloved Sister.

Hijrah Cinta (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang