"Allah itu menyukai orang-orang yang sabar. Dan bersabarlah kamu atas ujian yang menimpa, karena sesungguhnya ujian adalah cara Allah mencintai hamba-Nya."
Hijrah Cinta
"Assalamualaikum, Mi, Abi."
Aisha memencet bel rumahnya berulang kali, namun masih sama tak ada jawaban. Hampir tiga menit ia menunggu jawaban. Menunggu jawaban yang tak pasti itu sungguh menyakitkan, bukankah begitu?
"Waalaikumusalam," jawab Umi Aisha dari dalam meskipun terdengar agak samar-samar tapi Aisha masih bisa mendengarnya.
Kini Aisha bisa menarik napas lega. Ia langsung mencium punggung tangan Umi.
Tapi, tunggu dulu. Ada sesuatu yang aneh yang menusuk indra penciumannya. Bawang? Dia mencium aroma bau bawang putih yang mengikat di hidungnya.
Dengan cepat, Ica langsung menutup hidungnya. Menghirup udara segar dengan menggunakan mulutnya.
"Umiiii!!!" gerutu Ica kesal. "Umi abis potong bawang putih, ya? Ica kan gak suka bawang putih, Mi."
Umi mengangkat kedua bahunya, seolah tak tahu apa-apa. Kemudian ia terkekeh dan mencubit pipi putri kesayangannya itu.
"Sakit, Mi." Aisha mengelus lembut pipinya.
"Ya udah, maafin Umi deh. Umi kan buru-buru ke sininya, jadi belum sempat buat cuci tangan." Umi mengangkat kedua tangannya dan mepertunjukannya pada Aisha.
Umi langsung menarik lengan Aisha dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Setelah sampai di dalam rumah, Aisha bisa mencium aroma makanan yang membuat cacing-cacing di perutnya protes untuk segera diisi.
"Umi masak apa? Enak banget wanginya. Masakan Umi emang the best dan top markotop deh." Aisha memuji masakan Umi dengan mengacungkan ibu jarinya.
"Masak kesukaan Abi, Nak."
"Ica boleh makan sekarang, Mi?" Umi langsung menatap tajam Ica. Apakah ia tega malah makan sendirian?
Ica cengengesan. "Cacing-cacing di perut Ica sudah demo, Mi." Ica mengusap-usap perutnya.
Umi tak ada pilihan lain lagi, ia hanya bisa pasrah menerima kemauan putrinya itu.
***
Jarum jam terus berdetik seolah tak mau berhenti dan tak mau membiarkan ada yang menggantikan posisinya. Aisha melihat jam dinding tersebut yang menunjukan pukul setengah enam sore.
Dari balik jendela kamarnya, ia bisa melihat pemandangan yang luar biasa indahnya. Jarang sekali langit pada sore hari ini berwarna oranye pekat.
Nikmat Tuhan mana lagi yang akan engkau dustakan?
Setelah puas menyaksikan keindahan senja, Aisha turun ke bawah karena ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya.
"Di mana Abi? Kenapa sampai saat ini dia belum pulang juga?" gumam Aisha.
Sesampainya di bawah, Aisha melihat Umi yang tengah membaca sebuah majalah di ruang tamu. "Abi mana, Mi? Kok belum pulang, ya?"
Umi melepas kacamata bacanya, pandangannya kini dialihkan pada putri kesayangannya yang saat ini duduk di sebelahnya.
"Lagi di jalan mungkin, Nak. Tapi gak biasanya juga sih Abi pulangnya lama."
Aisha hanya mengangguk.
"Oh, iya. Gimana Sekolah kamu lancar, kan? Baik-baik aja?" tanya Umi memulai percakapan kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hijrah Cinta (END)
SpiritualAisha yang diam-diam menyukai temannya sendiri--Alwi, harus rela memendam rasa cinta bertahun-tahun. Hingga pada suatu hari, ia dijodohkan oleh orangtuanya dengan Rey--kakak kelasnya ketika di Madrasah Aliyah. Apakah Aisha akan bertahan dengan pili...