HC 28

7.8K 341 7
                                    

Jadilah perempuan tangguh yang tidak terlihat kesedihannya saat hati sedang merasa perihnya ditinggalkan, dan tetap terlihat bahagia meski hati sedang merasa patah.

♦♦♦

Sudah hampir satu minggu Aisha belum mendapatkan kabar apa-apa dari Rey, bahkan polisi pun juga dibuat kesulitan mencari keberadaannya. Saat ini kondisi Aisha bagaikan seonggok batu yang tak bernyawa. Ia kehilangan gairah hidupnya, kehilangan separuh jiwa raganya. Kini dia sudah merasa bagaikan manusia yang hanya tinggal jasadnya saja, sementara raganya hilang mencari harapan yang tak pasti.

Saat ini Aisha sudah benar-benar putus asa, dia sudah kehilangan harapannya. Berulangkali umi dan abinya, bahkan mertuanya pun juga berusaha untuk memperbaiki kondisi Aisha. Mereka tidak mau kalau Aisha malah seperti ini, kehilangan gairah hidupnya yang kemudian malah menyalahkan takdir. Sungguh, ini bukanlah Aisha yang mereka kenal, ini bukanlah Aisha yang periang, penyabar, dan tabah dalam menghadapi cobaan.

"Ini bukanlah Ica yang umi kenal?" kata umi pada Aisha yang saat itu tengah menatap nyalang pemandangan luar dari balik jendela kamarnya. Umi mendekat kemudian menepuk bahu kanan Aisha.

Aisha menoleh saat merasakan sebuah sentuhan, dia mengalihkan pandangannya yang sayu kemudian menatap umi. Tapi pandangan itu tak berlangsung lama, Aisha kembali menatap ke luar.

"Sedih, kecewa, marah dan kesal semua itu memang ada pada setiap sifat manusia. Karena sejatinya manusia memang diberikan hawa nafsu. Tapi kenapa pula hawa nafsu itu malah dilampiaskan kepada-Nya? Bukankah tugas kita adalah untuk mengendalikan hawa nafsu tersebut?"

Aisha menoleh, mengernyitkan keningnya. "Maksud, Umi?"

"Ca, Umi tahu sekali bagaimana perasaan kamu saat ini, bahkan umi juga tahu kekecewaan kamu. Tapi tidak boleh begini juga, Ca. Karena kekecewaan kamu itu kepada-Nya akhirnya kamu jadi seperti ini, Ca? Kamu mulai menjauh dari-Nya, kamu mulai lalai terhadap perintah-Nya. Karena kecintaan kepada manusia, kamu jadi seperti ini. Ca, Umi tahu kalau kamu khawatir dengan Rey, Umi juga tahu kalau kamu juga sangat mencintainya. Tapi jangan sampai cinta kita kepada manusia malah melebihi kecintaan kita kepada-Nya. Karena cinta pada Allah itu abadi, Ca. Sungguh, ini bukanlah Ica yang umi kenal. Ke mana kah Ica yang tegar? Ke mana kah Ica yang sabar? Ica yang ikhlas? Ica yang selalu bersimpuh, mengadu segala keluh kesahnya dalam setiap sujud yang selalu dilaksanakannya?" tutur Umi tegas.

Aisha menundukan kepala. Hulu hatinya menjadi sesak saat mendengar penuturan umi.

"Ya Allah, benarkah aku sudah menjauh dari-Mu? Apakah aku memang sudah lalai terhadap perintah-Mu? Apakah kecintaanku lebih besar kepada manusia dibandingkan kepada-Mu?"

Cairan bening mengalir begitu saja membasahi kedua pipi Aisha. Tubuhnya gemetar lemas, ia merasa bersalah. Ia telah lalai.

"Tolong ampuni hamba-Mu yang hina ini ya Rabb."

Umi merangkul tubuh putrinya yang gemetar itu ke dalan pelukannya, kemudian membelai pucuk kepalanya lembut.

"Cintailah Allah, maka Allah akan memudahkan segala urusanmu, Nak."

***

Seorang lelaki dengan pakaian lusuh terduduk lemas di atas kursi di dalam sebuah sel yang terkunci. Tangannya diikat tali dan wajahnya dipenuhi luka lebam. Darah segar baru saja mengalir di sudut bibirnya.

Lampu yang temaram serta dentingan air sisa hujan yang jatuh ke atas tembok bagai menina bobokan lelaki itu. Dia tak sadarkan diri, padahal tiga jam yang lalu dia sempat memberontak untuk kabur dari tempat kumuh ini, tapi sayang usahanya dapat digagalkan.

Hijrah Cinta (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang