L I E -1-

52 6 0
                                    

"Serius?!" Suara Layla menggema di kelas. Tiga orang yang sudah datang menatapnya aneh. Layla menghiraukannya. Dia terfokus pada temannya, Hera, yang memberitahukan informasi menarik.

"Sstt ... Jangan keras-keras. Ini tuh baru gue yang tahu. Kemarin Kevan ngechat gue. Ya itu tadi," ucap Hera.

Ada setitik cemburu di hati Layla saat Hera bilang kalau Kevan mengiriminya chat. Wajar, 'kan, Layla cemburu. Dia suka Kevan, tapi Hera tidak tahu. Salah Layla sendiri menyukai laki-laki yang disukai temannya.

"Terus di mana?" tanya Layla dengan dahi berkerut.

Hera men-scroll chatnya dengan Kevan sebelum menjawab, "Katanya lagi, sekelas sama kita. Tapi gue nggak tahu masuknya kapan. Kemungkinan besok. Wah ... Besok gue ada dispen padus dari jam pertama. Nggak bisa ketemu dong. Kalo gue lihat-lihat, nih, ya. Mereka mirip. Mirip banget malah. Kayak-"

"Tunggu," Layla memotong perkataan Hera, "dari mana elo tahu mereka mirip?"

"Instagram." Hera nyengir lima jari. Tampang-tampang meminta maaf khas Hera.

Belum sempat Layla menjawab, yang dibicarakan datang. Memakai jaket hitam yang selalu dipakainya setiap minggu pertama tiap bulan. Layla tahu? Jelas sekali. Bahkan jadwal ganti pulpen Kevan diketahui Layla dengan jelas.

Kevan menaruh tasnya di kursi. Bangkunya berjarak dua bangku dari tempat Layla dan Hera duduk. Baru begitu saja jantung Layla sudah berdegup kencang, apalagi kalau Kevan mendekatinya.

"Pokoknya elo nggak boleh bilang siapa-siapa. Ini rahasia gue sama elo. Kalau sampai Kevan denger, bisa mati cinta gue digantungin sama dia." Hera berbicara seolah-olah dia benar-benar terluka oleh Kevan. Layla berdehem keras. Mengisyaratkan bahwa dia menyetujui Hera.

"Nanti sore elo ada kumpul jurnalistik, ya?" tanya Hera sambil memutar duduk menghadap papan tulis, tetapi dengan kepala ke arah Layla.

"Iya, nih. Mana Pinokio bilang harus revisi majalah yang baru aja dibikin tim penyusun. Dia enak, ketua nggak mikir. Nah, gue? Berarti pengeluaran nambah lagi. Bosen gue dirubungi duit mulu." Wajah Layla tidak lebih dari seorang yang curhat tentang pacarnya.

Hera tertawa. Jika dipikir-pikir, tawa Hera itu manis. Siapa saja yang mendengarnya akan ikut tertawa. Seperti yang dilakukan Layla saat ini. Dia tahu omongannya garing. Namun, mendengar tawa Hera bisa membuatnya ikut tertawa.

"Itu mah biasa. Kemarin, nih, ya. Kevan nekat banget jemput gue habis latihan padus. Gila. Padahal udah jam tujuh malam dia sempat-sempatin ke sekolah. Aw ... Dia romantis banget. Mirip cowok-cowok di novel." Hera berbicara panjang lebar tanpa tahu perasaan terluka yang ada di hati Layla.

Mungkin ini yang sering dibicarakan orang-orang tentang sakit tapi nggak berdarah, batin Layla.

---

Hal yang paling malas dilakukan seorang Swara Layla Cantika adalah mampir ke swalayan langganan ibunya untuk membeli keperluan bulanan. Bukan karena harus antri dengan ibu-ibu yang lain. Kadang ibunya menyuruh membeli disaat yang tidak tepat. Seperti sekarang, misalnya. Dia baru saja pulang dari rapat jurnalistik saat ibunya menelepon untuk belanja bulanan. Bayangkan saja, ini hampir pukul enam. Untung saja dia bawa mobil. Semakin malas niatnya kalau memakai sepeda motor.

"Iya, Mi ... Ini udah mau pulang ... He-eum, Lala mampir ke toko ... Udah ada list-nya. Tadi udah dikirim Kayla ... Iya, Mommiku sayang ... Iya ... Dadah."

Di ruang rapat hanya tersisa Layla sendiri. Dia memberesi dua buku besar bertuliskan 'KAS JURNALISTIK' dan 'DATA PENGELUARAN' yang ditulis dengan board marker merah. Juga tas kecil beresleting banyak yang digunakan untuk menyimpan uang.

Setelah semuanya selesai, Layla keluar dari ruang rapat lalu mengunci pintu. Seharusnya tugas mengunci pintu bukan dia. Mengingat seksi humas yang malasnya melebihi cewek PMS, Layla menawarkan diri untuk melakukannya. Dia menuruti perintah ibunya. Mampir ke toko membeli keperluan bulanan.

Tidak perlu ditanya bagaimana penampilan Layla saat ini. Baju keluar, dasi miring, kaus kaki panjang sebelah, serta rambut acak-acakan yang dikuncir menjadi satu. Ditambah bau badannya yang tidak terlalu enak karena dia belum mandi.

Layla mengambil keranjang lalu berputar-putar mencari apa yang ditulis dalam list belanja. Karena capek berputar-putar, Layla duduk di depan jajaran makanan ringan. Tidak peduli pada tatapan orang. Yang dia butuhkan hanyalah duduk sebentar untuk meluruskan otot-otot kaki. Sampai seseorang tidak sengaja menabraknya. Untung keranjang yang dibawa orang itu tidak jatuh di wajah Layla.

"Maaf, nggak lihat."

Layla mendongak. Melihat wajah tampan nan rupawan yang mirip dengan Kevan. Tunggu, mirip dengan Kevan?

"Kevan?" tanya Layla sedikit terkejut.

Orang itu gelagapan. "Bukan, gue bukan Kevan."

Layla buru-buru berdiri. Meneliti lebih dekat wajah laki-laki tadi. Mirip. Bisa dikatakan identik dengan Kevan. Hanya suaranya saja yang membedakan. Suara Kevan cenderung serak basah, sedangkan suara laki-laki ini lebih lembut.

Wajah Layla mundur setelah melihat kalau orang di depannya bukan Kevan. "Kalau bukan Kevan, kenapa wajah lo mirip Kevan?"

Laki-laki itu tersenyum. Bahkan juga mirip Kevan. "Gue Devan, saudara kembarnya Kevan."

Beruntungnya Layla karena melihat saudara kembar Kevan tidak dalam foto. Mereka memang mirip. Sangat identik malah. Siapa saja yang melihat dua kembar itu pertama kali akan kebingungan. Karena hampir tidak ada perbedaan yang kentara dari mereka. Mata mereka sama-sama cokelat. Rambut mirip dengan kedelai hitam yang dianggap anak sendiri. Dagu lancip dan bibir tebal berwarna merah.

Ponsel Layla berdering pelan. Sebaris pesan dari adiknya agar segera pulang. Layla pergi meninggalkan Devan tanpa pamit. Seolah pertemuannya dengan Devan tidak pernah terjadi. Dia segera membayar belanjaannya dan berlalu dari toko itu.

Sampai di rumah, Layla disambut oleh ibunya yang mengambil alih barang belanjaan. Begitulah ibunya kalau sudah dibelanjakan. Manik mata Layla melirik jam di atas televisi. Pukul tujuh kurang seperempat. Layla buru-buru mandi. Dia tidak bisa meninggalkan tugas dari guru matematikanya. Nyawanya terancam kalau tugas itu diabaikan.

------------------

Helo, eperibodi. Selamat datang di cerita terbaru gue. Semoga suka.

Itu doang.

Salam dari Emaknya Devan,

Bhai

I'd LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang