L I E -26-

11 3 2
                                    

Hari-hari Layla menjadi sepi karena hilangnya Devan. Warna di mata Layla pudar. Hanya tersisa abu-abu. Tiada bibir yang biasanya melengkungkan senyum. Dia mirip zombie. Lagu yang didengarnya pun mengikuti alur hatinya. Sendu, suram.

Hari ini, Layla janjian dengan Celyn di Kafe Pesona. Dia mengendarai mobil dengan Hera. Sedari memasuki mobil, Hera berceloteh panjang lebar. Layla hanya diam. Tidak menanggapi sama sekali. Hera menghembuskan nafas kasar melihat kelakuan Layla. Efek baru pertama kali ditinggal pacar, ya, begitu.

Kafe Pesona tidak seramai saat terakhir Layla ke sini. Hera menarik Layla menuju salah satu meja yang letaknya tak jauh dari jendela. Suara Hera menggelegar ketika memanggil Gitta dari tempatnya duduk.

"B aja dong manggilnya. Bukan sirkuit balap ini," ucap Gitta kesal. Matanya melirik Layla yang kini tengah menatap ke luar jendela. Dia memberi isyarat pertanyaan pada Hera yang hanya dijawab dengan kedikkan bahu.

Selepas Gitta pergi, Hera mencoba mengobrol dengan Layla. Menanyakan semua kesukaan gadis itu. Layla melirik Hera jengah. Dia menopang dagu dengan tangan kiri. Terlihat mengabaikan Hera. Lima menit kemudian, Gitta datang bersamaan dengan Celyn dan Daniel. Seperti biasa, Celyn dengan senyum teduhnya dan Daniel dengan pesona yang selalu membuat Hera dan Gitta menenggak ludah kasar.

"Annyeong, jal jinaessni? Olaesdong-an boji mala. Nabogo sipni?" ucap Celyn begitu dia duduk di hadapan Layla.

Hera tampak bersemangat mendengar bahasa yang digunakan Celyn. "Geulae, nega geuliwo. Wae na hante jeonhwahaji anh-ass ni?"

Daniel menyela mereka dengan menyebutkan pesanannya. Percakapan itu terhenti seketika. Mata Celyn tak sengaja tertumbuk pada Layla yang hanya memandangi keramaian dalam diam. Padahal biasanya Laylalah yang menghentikan percakapan bahasa lain itu.

"Layla kenapa?" tanya Celyn.

Layla hanya tersenyum kecil lalu menggeleng. Dia kembali membuang pandangan ke luar jendela. Celyn sempat berpikir kalau Layla sakit. Namun, kedipan dari Hera membuatnya yakin ada sesuatu selain itu. Dia mengeluarkan ponsel untuk mengirim pesan pada Hera. Cara terbaik untuk mengetahui apa yang terjadi.

Beberapa saat kemudian, Celyn tahu duduk permasalahannya. Dia amat sangat ingin membantu, tapi dia tidak tahu harus bilang apa. Dia tidak pernah ditinggal pas lagi sayang-sayangnya –dan semoga tidak pernah. Celyn menunjukkan hasil chat-nya dengan Hera pada Daniel. Sepasang mata tajam Daniel membaca pelan-pelan pesan itu. Ditatapnya Celyn yang meminta bantuan tanpa suara. Daniel hanya mengangguk lalu berkutat lagi dengan kopinya.

Layla menghapus setetes air mata yang mengalir di pipinya. Bayangan tentang Devan kembali hadir di pikirannya.

"Devan mana, La?"

Pertanyaan Daniel membuat ketiga gadis yang mengelilinginya menoleh cepat. Hera dan Celyn memperingati Daniel dengan pelototan. Mereka menyesal meminta bantuan Daniel.

Layla menatap Daniel lalu mengedikkan bahu. Dia mengepalkan tangan mendengar nama Devan disebut orang lain. Sakitnya masih terasa.

"Dia udah pergi, 'kan? Kenapa kamu kayak gini? Nggak bisa move on?

Layla memandang Daniel tak percaya. Padahal dia menganggap Daniel seorang laki-laki dewasa yang akan mengerti masalahnya. Namun, perkataan Daniel barusan meruntuhkan kekaguman Layla.

"Look at me, Layla!" Daniel memutar kedua bahu Layla untuk menghadapnya. "Dengar, kamu nggak bisa terus-terusan kayak gini. Devan ninggalin kamu, itu berarti dia memang nggak berniat sama sekali buat serius sama hubungan kalian. Lupain Devan. Lupain dia semudah dia meninggalkanmu. Mulai sekarang, janji sama saya untuk menjadi lebih baik. Tunjukkan padanya kalau kamu baik-baik saja tanpa dia."

Layla terisak mendengar nasihat Daniel. Sulit. Sulit sekali melupakan Devan.

"Gue nggak bisa ... nggak bisa lupain dia," ucap Layla di sela isaknya.

"Saya nggak meminta kamu buat melupakan Devan selamanya. Saya hanya minta supaya kamu bisa menjadi lebih baik lagi. Jika waktu mempertemukan kalian lagi, pamer ke dia. Buktikan seberapa hebatnya kamu bisa bertahan tanpa dia."

Tangis Layla kembali. Daniel menarik tubuh gadis itu ke pelukannya. Dua wanita yang sedari tadi ikut mengamati kejadian Daniel dan Layla ikut meneteskan air mata diam-diam. Jika tidak dalam keadaan ditinggalkan-oleh-si-Bangsat-Devan, Layla akan menertawakan kedua temannya yang kini sedang berpelukan dan saling menguatkan.

"Kalau sampai saya melihat kamu menangis seperti ini lagi, saya paksa kamu buat masuk ke rumah sakit jiwa," ujar Daniel dengan nada bercanda. Tangannya masih mengusap lembut rambut Layla.

"Daniel," panggil Celyn pelan, "peluk juga."

Daniel memutar bola mata, tapi tangan kirinya membuka untuk menerima Celyn dalam pelukan. "Mau ikut peluk juga, Git?" tanyanya pada Gitta yang baru saja bergabung.

Gitta menggeleng jijik. "Kamu malah kayak om-om pedofil playboy."

Hera tertawa keras karena ucapan Gitta sangan-amat-disetujuinya. Layla melepaskan diri dari Daniel lalu mengobrak-abrik tas Hera untuk mencari sesuatu.

"Cari apa?"

"Biasanya elo bawa bedak ke mana-mana. Kok sekarang nggak ada?"

Celyn, Hera, dan Gitta membulatkan mata bersama, kemudian berteriak, "Mau belajar dandan, ya, La?"

Sekarang Layla mengerti kenapa Daniel sering melarangnya bertanya tentang alat make-up ke mereka bertiga.

----------------------------------------------------------

Bentar lagi pilkada dan gue belum tahu mau nyoblos siapa 😩

I'd LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang