L I E -22-

17 3 0
                                    

Layla dan Kayla duduk bersebelahan di mobil Devan. Sang empunya sudah keluar sejak tiga menit yang lalu. Layla jenuh dengan suasana hening itu. Dia mendengus pelan sebelum menasihati adiknya.

"Udah Kakak bilang, 'kan, waktu itu buat jauhin Fino. Bukannya Kakak sok ngatur-ngatur kamu. Kakak tahu gimana Fino. Dia cowok nggak baik. Suka gonta-ganti cewek. Dia playboy, tukang bohong. Kakak nggak mau kamu jadi targetnya. Kalo udah begini, kamu mau apa? Nangisin dia? Atau kamu mau nyalahin Kakak?"

Kayla terisak pelan. Dia tahu dia salah. Apa saja yang dikatakan kakaknya bukan berarti itu buruk. Kayla menyesal telah membentak kakaknya. Isakannya semakin keras seiring dengan Layla yang beringsut mendekat ke arahnya.

"Janji sama Kakak, jangan deket sama cowok nggak baik lagi. Udah cukup Fino aja."

Kayla mengangguk. "Maafin Kayla, Kak."

Layla tersenyum miring. Dia membersihkan sisa air mata yang membekas di pelupuk Kayla. Menyuruh adiknya agar tidak menangis lagi. Devan masuk setelah disuruh Layla. Laki-laki berambut tebal itu ikut tersenyum saat Kayla menceritakan kejadian di sekolahnya.

Sampai di rumah, Devan mampir atas ajakan Kayla. Layla melayangkan tatapan protes yang tidak digubris oleh Kayla. Sandra yang mendengar suara ribut langsung ke luar. Celemek masih menggantung di badannya.

"Ribut-ribut begini ada apa, sih? Mama sampai kepo."

Layla menunjuk wajah Kayla dengan jari lentiknya. "Lihat, Mi. Masak Kayla nangis gara-gara lihat drama. Malu-maluin banget."

Kayla terdiam sesaat. Dia tahu kakaknya bohong. "Ih, kayak Kakak enggak aja. Nih, ya, Ma. Tadi itu, ahjussi gantengnnya dapet sad ending. Gimana nggak sedih akunya?"

Sandra tersenyum melihat kedua putrinya kembali tertawa. Dia menepuk pundak Devan pelan sebagai tanda terima kasih. Dia mengajak laki-laki itu masuk. Karena Layla tidak ada di ruang tamu, Sandra mempersilakan Devan untuk ke kamar Layla. Asalkan pintunya selalu terbuka.

Devan menuju kamar Layla dengan semangat. Dilihatnya pintu itu bercelah sedikit. Devan membukanya perlahan dan mendapati Layla memegang gitar.

"Ngapain ke sini?"

Devan mengambil posisi di depan Layla. "Ternyata elo bisa main gitar. Nggak nyangka gue."

Layla menunjukkan jari-jari tangannya yang kapalan karena terlalu sering bermain gitar. Devan meraih tangan Layla. Mengusap ujung jari Layla perlahan. Sebuah perasaan hangat menjalari hati Layla sampai ke pipinya. Pipi tembam itu bersemu berkat perlakuan kecil Devan.

"Cewek itu seharusnya kena pisau atau air panas. Bukannya kapalan karena gitar apalagi taekwondo." Usapan Devan berpindah ke punggung tangan Layla. Meniupnya lalu mengusapnya. Begitu berulang kali.

"Lo ngapain, sih, Dev?" Layla ingin menarik tangannya, tapi rasa nyaman itu membuatnya enggan melaksanakan niatannya. Devan terkekeh, meletakkan tangan Layla di atas gitar dan mengambil gitar dari pangkuan Layla.

"Teruntuk kamu, hidup dan matiku," ucap Devan. Berusaha mengajak Layla meneruskan kalimatnya.

Dasar Layla yang tidak peka. Dia malah menatap Devan dengan pandangan bertanya. Seolah tidak mengerti kata yang diucapkan laki-laki itu. Alhasil, Devan memutar bola kemudian meneruskan kalimatnya.

"Aku tak tahu lagi, harus dengan kata apa aku menuliskannya. Atau dengan kalimat apa aku mengungkapkannya. Karena untuk ke berkian kalinya, kau buat aku kembali percaya dengan kata cinta. Dan benar, bahwa cinta masih berkuasa di atas segalanya."

Seolah mendapat ilham, Layla memukul lengan Devan sambil meneruskan, "Ketika hati yang mudah rapuh ini diuji oleh duniawi, diuji oleh materi untuk kesekian kali. Lagi, lagi, dan lagi."

Dimulailah lagu itu dengan suara merdu Layla. Sore itu, dua anak adam bercengkrama di sebuah kamar bercat biru. Ditemani alunan lagu-lagu haru. Menikmati momen bahagia berdua. Ditutup oleh indahnya senja.

-----

Layla dan Devan duduk di dalam mobil. Sekarang, Layla sendiri yang akan memastikan bahwa Kayla tidak diuntit oleh Fino. Dia harus yakin kalau adiknya benar-benar jauh dari lelaki berhidung belang itu. Bagaimana pun caranya.

Devan sedari tadi ragu. Dia ingin membicarakan sesuatu pada Layla, tapi sepertinya pacarnya sedang bosan. Dan dia tidak ingin melukai hati Layla saat ini. Alhasil, Devan hanya menggenggam tangan Layla yang tergeletak di dashboard. Menyematkan jari-jarinya di antara jari Layla. Memberi kehangatan bagi gadis itu.

"Kenapa, Dev?" Layla sudah terbiasa dengan perlakuan Devan. Seperti menggenggam tangannya atau mengelus rambut Layla. Diam-diam Layla menyukainya.

"Janji, ya, La. Kalo misalnya aku pergi, kamu jangan sekali-sekali belok ke cowok lain. Tunggu aku. Karena aku juga bakal ngelakuin hal yang sama."

Ada tiga keanehan yang ditangkap Layla. Pertama, Devan menggunakan aku-kamu. Kedua, tatapan seriusnya. Dan ketiga, Devan berbicara tentang pergi.

"Emang kamu mau ke mana?" Lah, Layla jadi ikut-ikutan memakai aku-kamu.

Devan tersenyum. Tangannya yang satu mengusap pipi Layla pelan. "Misalnya, La. Misalnya."

"Kalo gitu jangan pergi." Pegangan tangan Layla mengerat. Dia sudah terlalu bergantung pada Devan. Baginya, Devan sudah masuk jajaran orang penting di hidupnya.

Lagi-lagi, Devan hanya tersenyum. Senyum yang sekarang mampu menyihir Layla. Senyum yang sekarang mampu meredam amarah Layla. Senyum menenangkan dari Devan.

Kaca sebelah Layla diketuk pelan. Kayla berdiri dengan seragam ber-badge SMA Kejora. Melambaikan tangan kepada Layla. Dengan gerakan kepala, Layla menyuruh Kayla untuk segera masuk.

"Hayo, tadi ngapain? Belum sah kok pegang-pegang?" Kepala Kayla terulur di antara Layla dan Devan. Menowel pipi kakaknya dengan jari telunjuk.

"Mampir Kafe Pesone dulu, Dev," ucap Layla mengabaikan perkataan adiknya.

---------------------------------------------------------

Jangan war, kasihan yang multi-fandom kayak gue ):

I'd LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang