L I E -14-

11 3 0
                                    

"LAYLA CANTIKA! BANGUN ATAU MOMMI SIRAM PAKE AIR?!"

Layla hanya menggeliat lalu merubah posisi. Tidak terganggu sama sekali dengan teriakan ibunya yang seperti toa. Sandda sudah lelah melihat kelakuan anaknya yang susah dibangunkan. Sering beliau menyalahkan Layla yang suka begadang demi menonton sepak bola. Layla benar-benar mirip Haris.

Lima menit setelah Sandra keluar, Layla membuka mata. Meraba nakas di sampingnya. Mencari ponsel yang sejak tadi bergetar tapi dihiraukannya. Pukul 06.35. Layla kembali memejamkan mata. Tunggu, 06.35? Mata Layla terbuka sempurna. Mengumpat berkali-kali dalam hati sambil berlari menuju kamar mandi. Mandi cepat yang hanya berlangsung tiga menit. Layla menyisir rambut lalu memakai dasi asal. Menyambar tas hitam di meja belajarnya.

"Mommi kok nggak bangunin Lala?"

Sandra melengos ketika melihat anaknya. "Makanya, tidur jangan malem-malem. Sifat buruk Papamu jangan ditiru."

Layla melirik jam dinding. Sepuluh menit lagi gerbang akan ditutup. "Mi, mobilnya dipake Papa?"

"Iya. Sepeda motornya dipake Kayla."

"Loh, kok bisa? Kayla, belum punya SIM, 'kan?" tanya Layla sebal.

"Salah siapa bangun kesiangan. Udah ditunggi Devan dari tadi, tuh."

Tanpa pamit, Layla melesat ke luar. Devan menunggu dengan wajah sama paniknya dengan Layla. Tamatlah riwayat mereka. Untung hari itu tidak ada jadwal ulangan harian sama sekali. Hanya perlu menelepon Hera dan mengatakan kalau mereka terlambat.

Devan memukul setir mobil pelan. Gerbang sekolah sudah ditutup. Devan dan Layla saling tatap. Menyelaraskan satu pikiran yang sangat diinginkan semua orang.

"Bolos aja," kata Devan sebagai penyampai pikiran yang pertama.

"Gue masih pake seragam."

"Nanti kita beli baju."

Layla menyetujui ajakan Devan. Sekali-kali bolos sekolah bolehlah. Daripada terlalu serius sekolah. Kasihan sama otaknya yang disuruh bekerja terus-menerus. Sampailah mereka di salah satu mal. Dengan memakai jaket, mereka masuk tanpa dicurigai. Devan mengajak Layla menuju salah satu toko baju. Devan telaten memilihkan baju untuk Layla. Berbeda dengan Layla yang mengambil baju hitam bertuliskan 'I'll kill you' secara acak dari gantungan.

Adu argumen membuat keduanya dilihat banyak orang. Mirip seperti suami-istri yang berdebat mengenai ukuran baju anaknya.

"Pakai yang berwarna aja, ya. Masa hitam mulu," bujuk Devan dengan suara memelas. Berharap agar pacarnya mau memakai pakaian yang dipilihnya.

Layla berdecak sebal. "Iya, iya. Asal nanti mampir ke Kafe Pesona."

Devan tersenyum lega. Dia segera membayar baju yang sejak tadi dipegangnya. Bukan baju, melainkan dress selutut berwarna hijau. Warna kesukaan Devan. Devan mengamati penampilan baru Layla dengan dress itu. Cantik.

"Kok gue risih pake dress selutut begini," ungkap Layla dari lubuk hatinya yang paling dalam.

"Kenapa? Kurang tinggi? Mau gue beliin mini skirt?"

Sebuah jitakan mendarat sempurna di kepala Devan. Layla puas melihat Devan berjengit kesakitan. "Mesum banget lo. Kayak orang kebelet nikah aja."

Devan meraih pergelangan Layla. "Ayo nikah sekarang, La."

---

Mobil Devan berhenti manis di depan Kafe Pesona. Acara bolos dilanjutkan dengan mendatangi Gitta. Sebenarnya Layla sudah menghubungi orang tuanya kalau dia bolos. Ayahnya malah mendukung dengan sepenuh hati dan ibunya membiarkan saja. Layla jadi bingung sendiri dengan tingkah orang tuanya.

"Satu moccacino, dua cappucino, dua pancake dengan sirup bluberry yang dipisah, dan dua kentang goreng super pedas untuk pasangan yang lagi kasmaran." Gitta menaruh semua pesanan itu di meja nomor 5, meja Layla.

"Di sini aja, Git. Mumpung gue libur."

"Nggak bisa. Ada pelanggan."

"Kak Reza, Gitta izin aku culik sebentar. Pelanggannya suruh ambil sendiri pesanannya," teriak Layla. Jarak mejanya dengan tempat Reza tidaklah dekat. Hanya ada Layla, Devan, dan sepasang remaja yang mengunjungi kafe tersebut. Seharusnya teriakan Layla tadi bisa didengar oleh pelanggan yang duduk tepat di depan kasir.

"Nah, karena udah gue izinin, sekarang elo cerita tentang yang semalem."

Gitta tampak ragu. Kedua tangannya terpilin di pangkuan. Bulir keringat muncul di dahinya. Devan hanya mengamati dua gadis di depannya. Dia tidak berani menyela. Sungguh. Memaksa Layla memakai dress tadi saja sudah dihardik habis-habisan. Apalagi mengganggu percakapan serius pacarnya.

"Gue," kata Gitta, "gue ditembak sama Aldo."

Layla menyemburkan minumannya di wajah Devan. Kebiasaan lebay ala Layla. Jika tidak begitu, dia akan tersedak makanan atau bahkan air liurnya. Mungkin karena kebiasaannya menonton FTV dari kecil membuatnya meniru adegan-adegan alay di sana.

"Tolak aja," kata Layla santai. Tidak memedulikan Devan yang mencari tisu sampai ke kasir demi menyelamatkan wajah dan bajunya.

"Gimana cara nolaknya? Lo tahu, 'kan, gue buta sama yang namanya nolak cowok."

"Bilang aja lo terlalu baik buat dia."

Devan yang baru datang mengernyitkan dahi. Sambil mengelap bajunya dia berkata, "Penolakan macam apa itu?"

"Emang bener. Lo itu terlalu baik buat Aldo."

"Aldo siapa, sih?" Devan ikutan nimbrung. Sejak tadi dia bingung, Aldo mana yang menjadi topik pembahasan dua gadis ini. Apakah Aldo anak voli? Atau Aldo anak dari guru kimia mereka?

"Aldo anak Kencana."

"Revaldo Adhit Pradana?"

Kepala Layla dan Gitta serentak menoleh kepada Devan. "Darimana lo tahu?" tanya mereka bersamaan.

"Kenalannya Kevan. Pernah beberapa kali diajak main ke rumah." Bertepatan dengan selesainya ucapan Devan,  ponsel laki-laki itu berbunyi. Menampilkan nama dari kembarannya di sana. Devan izin mengangkat ponsel. Memilih tempat agak jauh dari dua gadis tadi.

"Beneran gue nolaknya gitu?" tanya Gitta memastikan.

"Nolak pake cara kasar juga nggak papa. Lo permaluin dia di depan umum. Kayak di sinetron itu."

Rasanya Gitta ingin menjedotkan kepala Layla di tembok saja.

-----------------------------------------------------------

Sorry for late update (:

I'd LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang