L I E -25-

15 3 0
                                    

Libur tiga minggu berlalu sangat cepat. Layla sedang berdiri memandangi gerbang sekolahnya. Membaca nama sekolahnya berulang kali. Setahun lagi dia akan lulus dari sekolah itu dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.

Sengaja Layla berangkat siang. Toh, belum ada pelajaran di hari pertama. Dia berjalan dengan langkah khas kakak kelas yang sok berkuasa. Satu langkah masuk kelas, matanya disuguhi pemandangan teman-temannya yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Layla melirik bangku si Kembar. Kosong. Dilihatnya Hera yang melambai kepadanya setelah memasang earphone.

"Kembar nggak masuk?" tanya Layla begitu meletakkan tasnya di kursi.

Hera mengedikkan bahu lalu memasang salah satu earphone ke telinga Layla. Alunan lagu Issues milik Julia Michaels mengalun. Mereka menyanyikannya bersama sambil menggerakkan kepala seiring lagu. Seperti semester lalu, hari pertama masuk memang menyenangkan.

---

Berulang kali Layla mendial nomor Devan. Seminggu. Selama seminggu ini Devan tidak tampak di mana pun. Baik di sekolah, rumah, maupun tempat yang selalu didatangi laki-laki itu. Dia mengirim pesan ke semua akun media sosial. Tanpa terkecuali.

Hari berikutnya, dia datang ke sekolah dengan hati yang tidak tenang. Dia mendekati Hera yang sama paniknya dengannya. Berulang kali sahabatnya itu menempelkan ponsel ke telinga. Layla mengernyit. Hera juga ditinggal?

"Her, Kembar ke mana?" tanya Layla terburu-buru.

"Gue juga nggak tahu, La. Dari kemarin-kemarin Kevan dihubungin nggak bisa."

Layla mengacak rambutnya gusar. Dia bersumpah akan menggunakan ap chagi-nya jika dia bertemu laki-laki itu. Belum sempat Layla mengeluarkam umpatan keras, guru yang mengajar datang. Layla menahan umpatan itu dalam hati dan –mungkin– akan ditujukan pada Devan.

Sepulang sekolah, Layla tancap gas menuju rumah Devan. Tidak seperti biasanya, rumah itu sunyi. Tak ada suara sama sekali. Layla turun dengan kaki dihentakkan kesal. Berulang kali tangannya menekan bel. Lima menit berlalu, tidak ada yang menjawab maupun membuka pintu. Layla menyerah. Dia mengusap kasar matanya yang mulai berair.

Layla menghembuskan nafas lelah. Dia berbalik, bersiap untuk pulang. Baru dua langkah Layla berjalan, dia memutar badan lagi. Menatapi rumah bercat putih di hadapannya. Berharap ada orang yang tergopoh-gopoh datang karena bel yang dibunyikannya. Layla menyerah. Dia benar-benar pergi kali itu. Meninggalkan rumah Devan dengan pertanyaan yang terus memenuhi kepalanya.

Devan ke mana?

Layla memarkirkan mobilnya di garasi. Mengabaikan panggilan Kayla yang bertanya ada apa. Layla menutup pintu kamarnya kasar lalu menguncinya dari dalam. Dia menangis sesenggukan di balik pintu. Badannya merosot jatuh. Dia menenggelamkan kepalanya di antara lipatan tangan. Beberapa menit kemudian, tangisannya berubah menjadi isakan. Dia menarik nafas dalam demi menghentikan tangisan. Dilihatnya gitar yang teronggok di samping tempat tidur. Layla berdiri untuk meraihnya.

Mungkin bernyanyi bisa menghilangkan sesak di dadanya. Layla memetik senar perlahan. Mata sendunya menatap ke luar jendela. Memulai lagu yang akan dinyanyikannya.

I drove by all the places we used to hang out getting wasted

Layla sudah mencari semua. Ke tempat-tempat yang sering Devan tunjukkan padanya. Yang sering dijadikan tempat tongkrongan berdua.

I thought about our last kiss, how it felt the way you tasted
And even though your friends tell me you're doing fine

Are you somewhere feeling lonely even though he's right beside you?
When he says those words that hurt you, do you read the ones I wrote you?

Apa Devan membaca semua pesan yang Layla kirim untuknya? Apa Devan merasa sepi di mana pun dia berada –tanpa Layla–?

Sometimes I start to wonder, was it just a lie?
If what we had was real, how could you be fine?

Layla sering berpikir hubungannya dan Devan hanya imajinasi; tidak nyata. Hanya setahun penuh. Diumurnya yang ke delapan belas. Layla bahagia bisa bertemu Devan.

'Cause I'm not fine at all

I remember the day you told me you were leaving
I remember the make-up running down your face
And the dreams you left behind you didn't need them
Like every single wish we ever made

Bahkan Devan tidak memberinya ucapan selamat tinggal. Tidak memberinya sepatah kata perpisahan. Lalu, bagaimana dengan mimpi-mimpi yang mereka buat dahulu? Apa hanya sebatas angan semu saja?

I wish that I could wake up with amnesia
And forget about the stupid little things
Like the way it felt to fall asleep next to you
And the memories I never can escape

Ya, Layla berharap dia bisa amnesia. Melupakan semua kenangannya bersama Devan. Dari kenangan manis sampai menyebalkan. Kini wajah Devan terbayang di pikirannya. Enggan enyah dari sana.

'Cause I'm not fine at all

The pictures that you sent me they're still living in my phone
I'll admit I like to see them, I'll admit I feel alone
And all my friends keep asking why I'm not around

Foto-foto yang Layla minta pada Devan dijadikan wallpaper ponselnya secara berkala. Ke mana lagi Layla harus mencari Devan?

It hurts to know you're happy, yeah, it hurts that you've moved on
It's hard to hear your name when I haven't seen you in so long

It's like we never happened, was it just a lie?
If what we had was real, how could you be fine?

'Cause I'm not fine at all

Layla menangis kembali. Tidak kuat melanjutkan lagu tersebut. Terlalu sakit. Terlalu mudah mengangkat kenangan ke permukaan. Layla menjatuhkan tubuhnya di lantai. Memejamkan mata kemudian tretidur.

-----------------------------------------------------------

Happy Eid Mubarak, epribodi!

I'd LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang