L I E -15-

11 3 0
                                    

Layla bersenandung kecil ketika berjalan menuju kelasnya. Beberapa kali menyapa murid yang kebetulan berpapasan dengannya. Sekolah masih sepi. Ternyata berangkat pagi itu enak. Layla sudah kapok terlambat. Untung kemarin tidak ada tugas yang penting. Jadi, Layla tidak perlu terburu-buru.

Kelas masih kosong. Layla berjalan santai menuju bangkunya. Tak lupa mengirim pesan kepada Hera untuk cepat sampai. Gerakan Layla terhenti sebelum sampai di bangkunya. Sebuket mawar putih sudah nangkring manis di mejanya. Layla pikir itu dari Devan. Makanya dia cepat-cepat mengambil ponsel untuk memastikan.

SwaraLayla: Bunganya keren
SwaraLayla: Makasih, ya (:

DevanYudha: Bunga apaan?

SwaraLayla: Jangan sok nggak tahu, deh
SwaraLayla: Elo kan yang ngasih buket bunga mawar di meja gue?

DevanYudha: Bukan gue
DevanYudha: Kemarin kita bolos seharian
DevanYudha: Ingat?

Layla membenarkan pernyataan Devan. Jika bunga ini bukan dari Devan, lalu dari siapa? Ada notes kecil terselip di antara kelopak mawar. Layla mengambilnya. Membaca dua kalimat yang tertera di sana berulang-ulang.

Mawar putih kesukaanmu. Akan selalu jadi pengingat waktu.
-AFK-

Tulisan tangan itu berbeda dengan tulisan tangan teman-temannya. Tulisan itu cenderung kecil dan rapi. Bisa dibilang itu tulisan terindah yang pernah Layla lihat. Anehnya lagi, inisial itu tidak sesuai dengan nama teman sekelasnya maupun orang-orang yang ia kenal.

"La, kenapa?" tanya Hera begitu dia memasuki kelas dan melihat Layla termangu di tempatnya. "Wuih, dapet bunga. Dari siapa, tuh? Fans, ya?"

Layla berdecak lalu menyimpan bunganya di laci. "Ya kali, orang kayak gue punya fans. Yang ada gue nanti bikin komunitas anti-Pinokio."

Hera mengedikkan bahu. "Nggak nyambung kali, La." Hera menaruh tasnya di kursi samping Layla. Mereka memulai kebiasaan para gadis. Gosip pagi.

---

"Dsus4 seperti ini, dipetik dengan pola petikan-"

Layla mengikuti interuksi yang dipaparkan tutorial gitar di youtube. Seminggu ini Layla latihan gitar dan hasilnya semakin baik.

"Fiuh." Layla menaruh gitar kesayangannya lalu meregangkan otot. Melihat sekilas ujung-ujung jari tangannya yang mulai kapalan. Demi bisa memainkan gitar, Layla merelakan tangan cantiknya untuk kapalan. 'Cantik' tentu menurut Layla sendiri. Adiknya bahkan menolak mentah-mentah menyebut jari kapalan kakaknya sebagai 'cantik'.

Gawai Layla berdering. Menampilkan sederet nama yang tidak pernah diubah sejak Layla berpacaran dengan Devan. 'Pacar Tersayang' masih tertulis jelas di layar. Dengan seperempat hati yang tersisa, Layla mengangkat tanpa mengucap kata apa pun.

"Malam, sayang," ucap Devan di ujung sana dengan nada dibuat sebagus mungkin.

"Jijik, Dev."

Layla menolak mentah-mentah panggilan menjijikkan yang selalu ditujukan Devan untuknya. Rasanya geli saja di telinga. Dia tidak ingin meniru remaja labil yang sedang kasmaran.

"Bercanda," kata Devan, "besok fotoin gue latihan futsal, ya. Ada lomba di Universitas X. Lumayan loh juara pertama dapet lima juta."

"Iya, besok bawa aja kamera lo. Urusan jepret tinggal serahin ke gue."

Devan cekikikan di seberang. "Ya udah, cuma itu. Gue mau bersihin lensa kamera dulu. Bye, sayang."

Sebelum Layla sempat menjawab, Devan memutuskan sambungan secepat kedipan mata. Layla melempar begitu saja ponselnya ke atas kasur. Dia memandangi gitarnya lama. Memikirkan lagu apa yang cocok untuk dimainkan.

"Kak, main ludo, yuk." Tiba-tiba kepala Kayla muncul dari balik pintu.

"Masuk aja."

Kayla melompat ke kasur kakaknya. Merasakan kelembutan yang tidak bisa ditemukan di kasurnya sendiri. Layla secara spontan melindungi gitarnya dari kaki Kayla. Adiknya bisa lebih agresif dari yang dia bayangkan.

Layla mengamankan gitarnya sebelum ikut telentang di tempat tidur. Kayla mengotak-atik ponselnya. Tak lama kemudian, kakak-beradik itu sudah saling menyalahkan dan mengumpat terang-terangan. Selama sepuluh menit, permainan itu belum selesai. Tepat setelah Layla menggetok kepala adiknya, ponsel Kayla bergetar.

"Aku angkat bentar, ya, Kak." Kayla pergi sebelum dijawab oleh Layla. Pikiran Layla dipenuhi tanya. Nama yang tertera di ponsel adiknya adalah Fino. Semoga orang itu bukan orang yang Layla bayangkan.

Sekembalinya Kayla dari mengangkat telepon, Layla langsung menanyakan suara pikirannya.

"Kak Fino? Dia kakak kelas aku. Besok ada seleksi melukis di sekolah. Aku minta bantuan Kak Fino buat bantuin."

Dan akhirnya, Layla percaya perkataan Kayla.

-----------------------------------------------------------

Besok mau nganu. Huahahahaha ...

I'd LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang