L I E -30-

10 3 0
                                    

"Lo pikir aja, ya, La. Mereka dengan nggak bersalahnya dateng setelah empat tahun menghilang tiba-tiba. Dengan songongnya bertanya kabar. Hati gue nyess banget, La, denger mereka kayak gitu."

Layla mendengus lelah sambil melirik jam tangannya. Terhitung sudah setengah jam Hera nyerocos seperti itu. Layla lapar dan Hera dengan ketidakpekaannya malah menghubung-hubungkan kejadian tadi dengan drama Korea. Omelan Hera tidak akan berhenti jikalau Aldrich tidak mengetuk pintu kamar mereka.

"Siap-siap. Setengah jam lagi kita akan berangkat."

Terkutuk Hera dengan segala omong kosongnya. Layla segera meninggalkan gadis itu untuk mencari makan. Diabaikannya teriakan Hera yang menyuruhnya tetap tinggal. Yang penting perutnya harus kenyang lebih dahulu.

Setelah mengenyangkan perut, Layla baru bersiap-siap mengepak pakaian. Menaruh beberapa baju dan celana secara acak dari koper ke tas punggungnya. Tidak lupa seperangkat kamera yang menjadi temannya nanti di Quebec.

"Layla! Cepet keluar!" teriak Hera dari dapur.

"Merde, Hera. Elo yang bikin gue telat kayak gini!"

Dan terjadilah perdebatan sengit sambil teriak-teriak. Aldrich mengabaikan saja kedua gadis itu. Dia berjalan cuek menuju lift. Sampai masuk ke mobil pun Layla dan Hera belum selesai berdebat.

"Lebih baik kalian tidur. Kita baru sampai sana jam dua besok."

Perdebatan selesai. Hera memejamkan mata demi menghindari Layla. Begitu juga Layla yang mengambil ponsel untuk mengalihkan perhatiannya. Mobil seketika hening. Hanya suara deru yang mengisi kekosongan.

Perjalanan malam itu sungguh melelahkan. Pukul dua lima belas waktu Kanada, Layla dan Hera dibangunkan secara lembut oleh Aldrich. Mereka sampai di sebuah apartemen di rue du Tresor. Aldrich menuntun mereka ke unit apartemennya. Layla berjalan lebih dulu. Meninggalkan Hera yang masih terkantuk-kantuk di belakangnya. Yang penting harus bertemu kasur terlebih dahulu.

-----

Pagi ini, Layla tiba-tiba menjadi rajin. Dia bangun lebih awal lalu menyiapkan sarapan. Sejak indekos, Layla dipaksa untuk bisa masak sendiri. Alhasil, dia menggantikan tugas Aldrich yang biasanya memasak.

Bel apartemen itu berbunyi ketika Layla mematikan kompor. Dia menyuruh Aldrich untuk membukanya. Tak lama setelah itu, Aldrich datang sambil bercakapan dengan bahasa Perancis. Layla melihat siapa yang datang. Tak disangka-sangka, Devan dan Kevan berada di sana. Dua meter dari tempatnya berdiri sekarang.

"Morning, La," sapa Kevan lalu dia masuk ke kamar untuk membangunkan Hera.

Devan sendiri mendekati Layla yang kini mulai salah tingkah di depan kulkas. Tangannya mengambil alih makanan yang akan dibawa Layla. Layla masih menatap tak percaya pada Devan yang tersenyum padanya. Tatapan Layla terputus oleh teriakan Hera yang menggelegar dari kamar.

"Pergi lo, berengsek! Jauh-jauh dari hidup gue!"

Kevan keluar terbirit-birit. Di belakangnya, melayang flat shoes hijau milik Hera. Setelahnya, Hera keluar tanpa berdandan terlebih dulu. Rambutnya masih acak-acakan khas orang bangun tidur.

"Jangan berani deketin gue dalam jarak kurang dari lima meter kalau lo nggak mau kena lemparan sandal!" Tatapan Hera beralih pada Devan. "Dan untuk lo, awas aja lo aneh-aneh sama sahabat gue. Bakal remuk badan lo kalau lo lakuin itu."

Brak!

Pintu dikunci dari dalam. Empat orang yang melihatnya tertegun sementara sebelum akhirnya saling lirik. Layla yang pertama mengerti perasaan Hera lansung mengangkat bahu acuh. Dia hafal tanggal merah Hera kapan saja. Jadi, sudah dipastikan mendekati.

Mereka berempat sarapan dengan lahap. Tidak memedulikan Hera yang masih mengunci diri di kamar. Selesai sarapan, Hera muncul dengan wajah yang lebih segar. Aroma melati menguar dari tubuhnya. Dia mengambil sarapan seolah-olah lupa dengan apa yang baru saja terjadi.

"Layla sama gue. Kalian mau pergi sendiri silakan. Nanti foto-fotonya gue kirim lewat e-mail."

Layla yang masih linglung ikut saja ketika Devan menarik tangannya untuk keluar dari apartemen. Mereka menuju mobil merah yang terparkir sempurna di depan apartemen. Layla bahkan tidak bertanya sama sekali ke mana mereka akan pergi. Baru setelah Devan menghentikan mobilnya, Layla tersadar bahwa mereka telah jauh.

"Chateau Frontenac. Gue yakin Hera udah cerita tentang hotel ini. Drama Goblin ambil syuting di sini. Lo tahu, betapa romantisnya mereka saat makan berdua. Saat mereka di antara pohon maple. Gue iri, La. Gue juga ingin kayak gitu. Tapi dengan bodohnya, gue malah ninggalin lo gitu aja. Gue berengsek, La. Gue bajingan. Gue cuma mau minta maaf. Kenapa seberat ini, La?"

Air mata Devan mengalir. Ini adalah pertama kali Layla melihat Devan menangis. Layla bisa merasakan betapa kesedihan terpancar jelas di mata Devan. Dia merengkuh bahu laki-laki itu. Hal yang sama yang dulu Devan lakukan ketika Layla patah hati. Layla mengusap perlahan rambut Devan yang kini sedikit berubah warna. Layla sayang Devan, tapi setelah semua ini, apa mereka masih bisa bersama.

Devan melepaskan diri dari pelukan Layla. Dia mengusap kasar air matanya. Terkekeh kecil ketika melirik Layla. Devan mengisyaratkan Layla untuk keluar. Kanada selalu panas. Layla menyesal karena tidak membawa kaca mata hitam.

"Ke bawah, yuk, La."

Seolah melupakan kejadian tadi, Devan mengajak Layla mendekati sungai yang Layla tidak tahu namanya. Banyak turis-turis berlalu lalang di sana. Devan menghentikan langkahnya di pinggir sungai. Dia mengamati wajah Layla dari samping. Sampai suatu keinginan menggelitik perutnya.

"La," kata Devan sambil masih memandangi Layla, "maaf."

Devan meletakkan tangannya di tengkuk Layla. Menarik gadis itu agar lebih dekat padanya dan ...

Kejadian itu berlangsung cepat. Layla sendiri tidak yakin apa yang baru saja dialaminya. Dia membeku sesaat. Matanya membulat lucu. Dia tidak yakin, tapi ini pertama kali baginya.

"Kasih gue kesempatan, La. Dan gue nggak akan nyia-nyiain kesempatan itu. Janji."

Layla mendengar ketulusan dalam nada bicara Devan. Dia juga ingin itu. Memberi Devan kesempatan untuk memperbaiki. Namun, dia takut kembali.

"Gue janji. Kali ini, gue nggak akan seberengsek Kevan lagi. Pegang janji gue."

Bagaimanapun juga, Layla juga ingin Devan kembali. Layla mengangguk ragu di antara kegugupannya. Devan tersenyum senang. Diulanginya lagi apa yang dilakukannya tadi. Dibubuhi sapuan-sapuan kecil, mereka mengabaikan orang-orang yang lewat.

-----------------------------------------------------------

Beri tahu gue, kenapa setiap cerita gue hampir tamat gue malah males update?

I'd LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang