L I E -18-

16 3 0
                                    

Mata Devan tampak serius mengamati proposal yang diserahkan Tino padanya. Berulang kali membaca tulisan di sana. Proposal ini sangat penting. Kalau sampai ada salah satu kata saja, bisa-bisa langsung dicoret oleh Kepala Sekolah.

"Udah bagus. Penulis dan fotografer itu harus segera dihubungi setelah proposal ini ditandatangani. Pastiin tanggal segitu mereka harus bisa. Pakai cara apa pun biar mereka dateng. Urusan sponsor, serahin sama anak kelas XI IPS 3. Kata Layla, dia punya banyak kenalan di luar. Elo sama Fino segera serahin ini, oke? Sana cepet."

Tino mengangguk lantas berlari mencari Fino. Devan menghela nafas lelah. Menjelang proker tahunan seperti ini, jurnalistik memang sedang sibuk-sibuknya. Layla sendiri sudah hilang bersama Reska entah ke mana. Devan sendirian tidak bisa meng-handle semuanya. Dia butuh teman.

"Dev!"

Akhirnya yang diharapkan muncul setelah sepuluh menit Devan berkutat dengan berkas-berkas di tangannya. Peluh sebesar bulir jagung meluncur di kening Layla. Wajahnya yang manis itu kali ini tampak tegang. Devan yang melihatnya malah terbawa suasana.

"Proposal kita ditolak waktu sampai ke Mr. Lucas. Pak Eko udah setuju. Waktu dikasih ke wakasek ditolak mentah-mentah."

Devan mengacak rambutnya. Ini yang sedari dulu ditakutinya. Proposal ditolak ketika sampai di wakasek. Jika saja yang berada di sana bukan Mr. Lucas, pasti semua akan berjalan lancar.

"Temenin gue ke sana."

Dua sejoli itu berjalan cepat menuju ruang wakasek. Tino dan Fino berdebat kecil ketika Devan sampai. Dilihatnya wajah Tino yang memerah. Penyebabnya antara proposal yang ditolak atau bertengkar dengan Fino. Devan menengahi perdebatan itu dengan menyambar proposal di tangan Tino. Tangannya yang satu menarik lengan Layla. Dia membenarkan pakaiannya yang kusut. Perlahan tangannya membuka pintu di depannya.

"Selamat siang, Mr. Lucas," sapa Devan begitu mereka memasuki ruangan itu.

"Can you knock-knock before enter to this room?"

"I'm sorry, Sir. But, can you give your signature for this proposal?"

Mr. Lucas melepas kacamata bacanya. Ditatapnya Devan lama. Guru bahasa Inggris itu berdehem sebentar sebelum akhirnya menjawab, "Sorry, I can't."

Rasa-rasanya Devan ingin melayangkan kursi di depannya ke arah guru itu. Devan menarik nafas panjang. Dia harus tahu kenapa. "Why you can't approve this, Sir?"

"Kamu nggak tahu? Tahun kemarin, acara ini mendapat kecaman dari orang tua murid. Mereka berfikir proker ini tidak bermanfaat. Anak-anak mereka mengadu kalau kegiatan ini menyiksa mereka. Mereka tidak mendapat pelajaran, yang ada hanya bentakan-bentakan dari senior saja. Kalian pikir hal semacam itu tidak membuat sekolah malu?" Nada suara Mr. Lucas datar, tapi tajam. Devan saja sempat merinding di awal pembicaraan.

"Ya sudah, Pak. Kami–"

"Wait!" Layla muncul dari balik punggung Devan dengan wajah datarnya. Selama di sekolah, musuh Layla bukan hanya Fino, tapi juga Mr. Lucas yang selalu dibantahnya. Wajar saja kalau Mr. Lucas tidak diperbolehkan mengajar di kelas Layla.

"Give us three week. We'll prove this program is not bad as you see."

Devan melongo mendengar suara Layla yang begitu yakin. Namun, ide itu boleh dicoba juga. Mr. Lucas menyeringai jahat. Dilihatnya murid yang sudah lama tak dijumpainya itu.

"One week."

"Two."

"One. Week."

"Two."

"One week or never?"

Layla bungkam. Dia memutar otak cepat, dilihatnya kalender kecil di meja Mr. Lucas. Sebuah bohlam lampu menyala di kepalanya. Kali ini, dia bertekad untuk menang dari Mr. Lucas. Dia tidak mau diajak berdebat lagi.

"Ten days. Dan semua estimasi biaya akan terpenuhi tanpa minta ke sekolah. Tapi beri kami waktu sepuluh hari."

Mr. Lucas mengangguk tak acuh. Tangannya melambai menyuruh Devan dan Layla pergi. Layla tidak peduli lagi dengan guru itu setelah kakinya berada di luar ruangan. Ditatapnya Devan lekat.

"Suruh semua pengurus berkumpul di ruang jurnalistik. Gue punya rencana."

-----

"Hampir semua orang tua dari murid-murid kelas X setuju, La. Mereka juga udah nyumbang buat anak mereka. Tinggal tiga orang. Orang tuanya Fenty, Gilang, sama Kesha," lapor Reska pada Layla di rapat jurnalistik. Rencana Layla yang satu ini benar-benar berjalan lancar.

"Fenty ... Fenty Komala Sari?" tanya Layla. Reska mengangguk. Dia masih tidak percaya Layla bisa membujuk para orang tua untuk menyetujui proker ini.

"Dia anak pengusaha furnitur," timpal Tino, "dua anak lainnya, Gilang dan Kesha juga anak konglomerat. Susah nyari jadwal ketemu sama orang tua mereka. Harus bikin janji dulu."

Devan memandang Layla yang sedang berpikir keras. Wah, Devan makin jatuh cinta kalau Layla secerdas ini. Calon ibu yang baik bagi anak-anaknya. Jadi pengin cepar-cepat melamar gadis itu.

"Ada yang tahu, butik terkenal di sekitar sini?"

Devan mengangkat tangan. "Orylus Boutique. Temen Mama sering ke sana. Katanya itu tempat orang-orang berduit shopping sebelum ke acara-acara besar."

"Tante Ratna di rumah?"

"Sebentar lagi Mama balik. Kalo mau ketemu biar gue bilangin dulu."

Dan ... orang-orang yang berada di situ hanya terdiam mendengar percakapan Devan dan Layla. Apa lagi rencana Layla kali ini? batin mereka.

---------------------------------------------------------

Jangan cuma like tapi juga act.

I'd LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang