L I E -23-

12 3 0
                                    

"Akhirnya, oh, akhirnya! Penghujung lara pun tiba. Kereta kencana bertarik kuda. Datang membawa pangeran terpuja!"

Hera menjitak keras kepala Layla. Bukannya tidak suka mendengar syair yang diucapkan Layla, tapi suara Layla yang tak semerdu Celine Dion dan tidak setinggi Adele membuatnya tak enak didengar.

Setelah dirasa Layla cukup tenang berkat jitakannya, Hera menarik lengan gadis itu untuk menyusul Kevan dan Devan di salah satu bangku di halaman sekolah. Dua laki-laki itu sedang sibuk menekuni ponsel yang dimiringkan. Suara-suara seperti 'An enemy has been slain' dan 'You has slain an enemy' membuat Hera menghela nafas lelah. Dilihatnya Layla sudah berdiri di belakang Devan. Menyemangati laki-laki itu untuk terus meningkatkan kill.

Sampai ucapan 'Victory' terngiang jelas dari sana.

"Oke, yang di sini ditinggal. Oke, nggak papa. Gitu aja terus." Hera menyumpal telinganya dengan eatphone. Sebelum musik benar-benar menyala, Kevan sudah lebih dulu mencabut benda itu dari telinga Hera.

"Maaf, sayang. Keterusan."

Jika bisa, Layla ingin muntah sekarang juga. Untung Hera bukan tipe gadis yang suka uyel-uyel manja. Tidak bisa Layla bayangkan hal itu terjadi.

"Gimana acara seminggu lagi? Udah fitting baju?" tanya Devan begitu Layla merubah posisi duduk menjadi di sampingnya.

"Demi Leonardo di Caprio yang sampai sekarang masih ganteng, kenapa acaranya formal banget, sih? Masak gue harus pake dress yang jiplak badan gitu? Guekan bukan cabe-cabean. Jangan-jangan elo yang pilihin baju itu, ya, Dev?" Layla menyipitkan mata. Menelisik kebohongan di wajah Devan.

"Demi Angelina Jolie yang bibirnya masih seksi, bukan gue. Noh, temen elo yang lagi pegang-pegangan sama pacarnya itu yang pilih."

Layla memberenggut. Kalau dia bukan Hera, mungkin sudah dijambaknya rambut dan dicakarnya tubuh orang yang memilihkan dress-nya. Sayangnya dia Hera. Dan lagi, sahabatnya itu berpura-pura tidak mendengar semua perkataan Layla. Sibuk berceloteh dengan Kevan.

Tak terasa seminggu lagi kenaikan kelas. Tradisi di SMA Angkasa secara turun-temurun, yaitu pesta untuk anak kelas XI yang naik ke kelas XII. Seperti ucapan selamat untuk naiknya ke penghujung sekolah. Padahal sejak menjejakkan kaki si SMA Angkasa, Layla menentang mati-matian acara konyol itu.

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Sejak subuh tadi, Hera dan Gitta sudah duduk manis di kamar Layla. Memilah-milah make-up dan tatanan rambut yang cocok untuk Layla. Dikarenakan dress yang dipilihkan Hera jauh dari kata feminin –akibat kesalahan Kevan menyebutkan apa yang dikatakan Hera– akhirnya pilihan mereka jatuh pada make-up natural yang 'Layla banget'.

"Gini, ya, La. Karena gue lagi baik hati, makanya elo gue make-up-in bla bla bla ...."

Layla mengacuhkan serentetan kalimat Hera yang panjangnya melebihi area balap mobil. Gitta cekikikan di belakangnya. Ditariknya rambut Layla agar gadis itu mengaduh kesakitan. Gantian Hera yang menceramahi Gitta karena sikapnya.

Lima menit, Layla hanya disuruh berganti pakaian selama lima menit. Sungguh, Hera tidak punya perikemanusiaan sama sekali. Layla kembali sambil mendumel panjang lebar. Setengah jam sebelum acara dimulai, Layla dan Hera sudah duduk manis di mobil Kevan.

Aula yang luas dihias megah oleh pengurus OSIS. Warna putih tersebar di mana-mana. Meja-meja panjang berjejeran di samping. Berisi dessert aneka rupa. Layla bergegas menghampiri meja itu. Belum sempat tangannya mengambil satu kue, Devan sudah menariknya. Mengarahkan tangan Layla yang memegang kue ke mulutnya.

"Kok nyebelin?"

Devan tersenyum lebar. Layla menyuapinya lagi kue yang tinggal setengah. Setelah kue habis, Devan menarik lengan Layla untuk berdiri di dekat panggung karena acaranya sebentar lagi dimulai.

Rio dan Reska berdiri di tengah panggung beberapa detik kemudian. Mengucapkan salam dan membacakan susunan acara. Layla menternyit tatkala Breakable disebut-sebut. Perasaan tidak ada yang menyuruhnya tampil.

"Breakable ganti personil. Vokal utamanya jadi gue," ucap Devan ketika melihat kebingungan di wajah Layla.

Layla memanggut saja. Toh, dia senang karena tidak harus mondar-mandir mengenakan high heels. Dia menikmati acara yang berlangsung. Sampai Breakable dipanggil dan Devan harus meninggalkannya sendiri.

Di panggung, Devan menyandang gitar kesayangannya. Gitar hitam bertuliskan All Time Low, band kesukaan Devan. Di belakangnya, Kevan menyetem gitar lain. Tuksedo yang dikenakan dua orang itu memang serupa. Sengaja membuat bingung orang-orang.

"Selamat malam, Angkasa. Breakable balik lagi. Hee, yang di pojok. Nyanyilah, nyanyi. Aja diem-diem bae." Setelah mengucapkan kalimat itu, intro lagu After Midnight-nya Blink182 mengalun. Devan menyanyikannya dengan semangat meskipun ada beberapa lirik yang harus dibantu Kevan.

"Udah, ya, satu lagu aja," ucap Devan sambil sedikit mengatur nafas.

"Lagi."

Percayalah, itu bukan suara para lelaki. Itu suara gadis yang mendekat ke panggung. Meninggalkan pasangan masing-masing hanya untuk melihat Breakable. Yakin, setelah Devan turun mendekati Layla, gadis itu akan memegang kepala Devan agar tidak bertambah besar.

"Ya udah, lagu kedua ini lagunya Kak Tay. Yang tahu ayo nyanyi yang enggak, ya nggak usah. Tapi sedikit gue udah karena lagunya buat cewek." Devan memberi aba-aba Kevan untuk memulai intro lagu.

I don't think that passenger seat
Has ever looked this good to me
She tells me about her night 
And I count the colors in her eyes

She never fall in love
She swears, as she runs her fingers through her hair
I'm laughing 'cause I hope she's wrong
And I don't think it ever crossed her mind
She tells a joke, I fake a smile
But I know all her favorite songs

And I could tell you
Her favorite color's green
She loves to argue
Born on the seventeenth
Her sister's beautiful 
She has her father's eyes
And if you ask me if I love her
I'd lie

She looks around the room
Innocently overlooks the truth
Shouldn't a light go on
Doesn't she know that I've had her memorized for so long

She sees everything in black and white
Never let nobody see her cry
I don't let nobody see me wishing she was mine

I could tell you
Her favorite color's green
She loves to argue
Born on the seventeenth
Her sister's beautiful
She has her father's eyes
And if you ask me if I love her..
I'd lie

He stands there, then walks away
My God, if I could only say
I'm holding every breath for you

She'd never tell you, but she can play guitar
I think she can see through everything but my heart
First thought when I wake up is
My God, she's beautiful
So she put on her make-up and pray for a miracle

Yes I could tell you
Her favorite color's green
She loves to argue
Oh, and it kills me
Her sister's beautiful
She has his father's eyes
And if you ask me if I love her..
If you ask me if I love her..
I'd lie

Layla menutup wajah di tempat. Dia bersumpah akan mengacak-acak rambut Devan begitu laki-laki itu turun.

––––––––

Itu judulnya I'd Lie punyanya Taylor Swift. Tahu, 'kan, dapet judul ini dari mana?

I'd LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang