L I E -3-

20 5 0
                                    

"Nggak bisa gitu dong, Pin!" bentak Layla pada Fino yang duduk di kursi ketua, "lo bisa nyuruh gue, tapi jangan nyuruh Reska kaya gitu. Dia baru sembuh dari sakit dan lo tahu itu."

"Siapa elo berani ngebentak gue?! Gue ketua di sini!" Fino bangkit dari duduknya. Menatap Layla nyalang. Mirip dengan harimau yang anaknya diganggu oleh hewan lain.

"Ya, elo ketua, tapi otak lo nggak lo pakai. Mana ada ketua ekskul yang bertindak seenaknya sendiri. Jurnalistik bukan elo yang punya. Kita semua masuk ke sini karena mau menyalurkan bakat dan minat kita!"

Beberapa gadis yang berada di sana berusaha menenangkan Layla. Tidak boleh ada yang menentang Fino atau mereka akan terkena konsekuensi tanpa batas dan tanpa belas kasih dari sang ketua jurnalistik. Fino tidak akan ragu memberikan konsekuensi bagi siapa saja yang menentangnya. Termasuk Layla.

Devan tidak sengaja mendengar suara ribut dari ruang rapat jurnalistik. Dia mengintip dari celah pintu yang tidak tertutup. Terlihat Layla sedang ditenangkan oleh tiga orang gadis. Di ujung sana ada laki-laki tinggi terlihat marah. Dugaan kuat Devan, Layla sedang bertengkar dengan laki-laki itu.

"Elo pilih keluar dari rapat ini atau pengurus lain dapet konsekuensi?" Fino benar-benar membuat kesabaran Layla habis. Bagaimana bisa dia dapat ketua jurnalistik seperti itu?

"Fix, gue anggap elo mau konsekuensi. Gue udah-" ucapan Fino terpotong suara benturan kursi. Layla menendang kursi yang didudukinya sampai terbentur dinding. Dia keluar dari ruang rapat tanpa suara. Bantingan pintu membuat segenap orang di ruangan itu terperanjat.

Fino menghela nafas kasar. Dia menatap orang-orang yang berada di sekitarnya. Mereka menunduk. Enggan menatap Fino. Tidak ada yang seberani Layla dalam berkata-kata. Mereka masih ingin lebih lama berada di ekskul jurnalistik. Fino semakin menjadi semenjak tahu bulan depan ada pemilihan ketua jurnalistik dan dia sepertinya akan lengser dari jabatan itu.

Layla berjalan di koridor masih dengan amarah yang memenuhi dadanya. Dia duduk di bangku panjang depan ruang OSIS untuk menikmati pemandangan di hadapannya. Untung ruang jurnalistik terletak di ujung koridor. Jika tidak, bisa hancur reputasinya karena marah-marah dan merusak fasilitas sekolah. Semoga saja tidak ada yang melaporkan kejadian tadi.

Layla terperanjat karena sebuah benda dingin menyentuh pipinya. Dia mendapati Devan tersenyum lebar sambil membawa dua botol minuman cokelat dingin. Layla dengan mudah bisa menebak jika itu Devan karena Kevan tidak mungkin melakukannya.

"Buat elo. Gue sering minum ini kalau lagi stres. Coba aja," ucap Devan sambil mengulurkan minuman itu.

Layla menerimanya. Dia tidak mungkin menolak kebaikan hati Devan. Sekali putar, tutup botol itu terbuka. Layla meneguknya pelan. Kerongkongannya terasa sejuk. Dan mungkin karena enzim penghilang stres yang terdapat dalam cokelat bisa membuatnya merasa rileks kembali.

Setelah merasa Layla cukup membaik, Devan bertanya, "Kenapa ruang jurnalistik ramai?"

Layla menghela nafas panjang. Mengumpulkan tenaga untuk kembali bercerita. Dia menceritakan semuanya. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Devan pun mendengarkan cerita Layla dengan seksama. Takut Layla kembali marah-marah dan dia akan menjadi bahan pelampiasan kemarahan gadis itu.

"La," panggil Devan begitu Layla selesai bercerita panjang-lebar.

"Apa?"

"Sepertinya gue suka sama lo."

---

Layla melepas sepatunya di samping pintu. Terlihat ibunya sedang menonton televisi. Acara gosip kesukaan beliau. Layla menyapa sebentar lalu menuju kamarnya. Berganti pakaian dari seragam menjadi kaus kuning dan celana selutut berwarna hitam. Dia mengambil gitar akustik putihnya. Berapa hari dia tidak memainkan gitarnya? Sehari atau dua hari mungkin.

"Aku lihat dia di sana
Aku ingin mendekatinya
Aku coba menghampirinya
Lalu aku menyapa dia

Dia pun membuka bicara
Dan aku mulai mengenalnya
Kita mulai bermain mata
Mulai timbul rasa bahagia

Bila dia mendekati diriku
Hatiku rasa sesuatu
Bila dia senyum pada diriku
Hatiku rasa tak menentu."

Suara jernihnya menyapu kamar bernuansa biru itu. Tidak ada yang tahu dia bisa bermain hitar, kecuali keluarganya. Gitar itu adalah hadiah ulang tahunnya yang ketujuh belas. Ayahnya tidak segan-segan membeli gitar seharga satu setengah juta itu untuk anaknya. Sedangkan Kayla, pada ulang tahunnya yang keenam belas, dia dihadiahi sepatu Nike yang jarang dipunyai temannya. Harganya juga hampir setara dengan gitar Layla.

Ponsel Layla berbunyi. Menampilkan notifikasi dari Line. Seseorang meng-add-nya. SatriyaDevan. Layla menerima permintaan itu. Hampir saja dia akan menaruh kembali ponsel itu, tetapi sebuah pesan menghentikannya.

SatriyaDevan: Hai, Swara (:

Layla membaca pesan yang dikirim Devan. Bayangan saat Devan bilang kalau lelaki berperawakan tinggi itu menyukainya terlintas mendadak di otak Layla. Andai Kevan seperti Devan yang langsung berani mengungkapkan perasaannya. Namun, bukankah Layla sudah tahu perasaan Kevan untuk siapa?

SwaraLayla: Siapa? Kenal?

SatriyaDevan: Lo jahat banget
SatriyaDevan: Besok temenin gue, ya

SwaraLayla: Ke mana? Gue sibuk

SatriyaDevan: Gue mau nyalonin diri
SatriyaDevan: Jadi ketua jurnalistik

Nafas Layla tercekat. Kenapa jabatan ketua jurnalistik hampir dipegang orang-orang yang -sedikit- tidak bertanggung jawab? Layla menghembuskan nafas. Meyakinkan diri kalau calon ketua bukan cuma Devan. Mungkin dia akan menyalonkan diri. Bukankah itu adil?

SwaraLayla: Nggak usah sok-sok mau jadi ketua. Elo sama Pinokio tuh sama. Nggak bisa diandalin jadi ketua

Devan hanya membaca pesan tersebut. Seharusnya Layla yakin kalau Devan akan sama dengan Fino. Ah, Fino. Layla tinggal menunggu detik-detik lengsernya jabatan laki-laki berkaca mata itu. Dia tidak bisa melihat lebih lama lagi teman-teman seekskulnya menderita. Sudah dari dulu Layla menolak jabatan Fino. Namun, dia tidak bisa menolak pilihan teman-teman yang lain.

SatriyaDevan: Gue bakal buktiin itu sama elo
SatriyaDevan: Kalo gue berhasil jadi ketua jurnalistik, elo harus jadi pacar gue

Untuk saat ini, Layla ingin tenggelam saja dalam bak mandi.

------------------

Tbc (:

I'd LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang