L I E -19-

12 3 0
                                    

Layla berjalan mondar-mandir di ruang jurnalistik. Otaknya berpikir cepat bagaimana harus membujuk orang tua anak jurnalistik lain. Dia tidak ingin jurnalistik dicap sebagai ekstrakurikuler tidak mendidik. Karena sejak menjejakkan kaki di bangku SMA, Layla sudah bersumpah untuk mengabdi pada jurnalistik.

Devan masuk dengan Tino dan Reska. Kamera Devan menggantung di lehernya. Kamera itu yang dipergunakan Layla sewaktu memotret Devan sebagai model lombanya. Tunggu, model lomba?

"Dev, lomba lo waktu itu pengumumannya kapan?" tanya Layla terburu-buru.

Devan berpikir sejenak lantas menjawab, "Hari Minggu kalo nggak salah."

"Di mana?"

"Hotel XXX."

Tiba-tiba, di otak Layla tersusun ide cemerlang. Dia menyuruh Devan, Tino, dan Reska mendekat. Dia membeberkan idenya panjang-lebar. Semoga saja ketiganya tidak pusing.

---

Di sinilah Layla dan Devan berada. Ballroom Hotel XXX yang didominasi warna putih dan ungu masuk ke indra penglihatan Layla. Meja-meja bulat berisikan empat kursi tersebar di mana-mana. Layla menggeret Devan menuju salah satu meja kosong. Mengistirahatkan kakinya yang capek.

Tak selang berapa lama, dua pemandu acara sudah berada di panggung. Memberi salam dan membacakan susunan acara yang Layla tidak mengingat apa saja. Acara pertama dibuka oleh ucapan terima kasih dari pembuat acara. Layla tidak benar-benar mendengarkannya. Dia asyik memakan kue plum yang disediakan waiterss.

"Maaf, boleh duduk di sini? Soalnya penuh semua." Seorang gadis dengan dress kuning floral mendekati meja Layla dan Devan. Wajahnya menyiratkan pengharapan. Sejenak, dua sejoli itu saling melirik lalu mengangguk bersamaan.

"Makasih. Aku panggil temen dulu, ya," kata gadis itu, "Daniel, sini!"

Layla menghabiskan kue plumnya sedikit cepat. Tersenyum pada dua orang yang duduk di kursi kosong. Gadis tadi menyahut cepat setelah duduk. "Aku Oktaviana Celyn. Panggil Celyn aja. Aku penggemarnya Gong Yoo Ahjussi. Kadang masih suka lihatin dramanya kalo kehabisan tontonan. Kadang aku-mmphh."

Ucapan Celyn terpotong oleh bekapan tangan temannya. "Maaf. Ana kalo ketemu orang baru suka gitu. Saya Daniel."

"Gue Layla. Dan dia Devan. Kita dari SMA Angkasa. Dari wajah kalian, kayaknya kalian masih sekolah juga."

Celyn melepas paksa tangan Daniel. "Iya, aku di SMA Bima Sakti."

"Cuma elo? Dia?" tanya Devan sambil menunjuk Daniel dengan telunjuk.

"Saya guru matematika Ana."

Devan dan Layla terdiam seketika. Merasa curiga kalau laki-laki tampan itu adalah guru. Dia terlalu muda. "Jangan sungkan sama saya. Umur saya nggak beda jauh dari kalian."

Layla tersenyum dibuat-buat. Kakinya sudah berulang kali memberi kode pada Devan yang bisa diartikan 'guru muda, ganteng, Dev'. Tak berapa lama, Celyn dipanggil untuk menampilkan permainan pianonya. Layla kagum. Dikiranya Celyn hanya datang. Tak tahunya dia adalah tamu istimewa.

"Jadi, saya harus panggil apa?" Devan bertanya kepada Daniel. Membuyarkan kekaguman Layla pada Celyn.

"Daniel aja. Saya juga malas terlalu formal," jawab Daniel. Matanya terpaku pada Celyn yang berada di panggung.

"Lo ... suka Celyn?" tanya Layla pelan. Melihat bagaimana Daniel menatap Celyn. Tatapan yang sama yang diberikan Devan untuknya.

"Nggak ada yang nggak suka dia. Dia gadis baik. Meskipun selalu bolos di jam matematika, tapi dia pintar. Saya kagum sama dia. Yah ... kecuali sifat fangirl-nya."

Setelah mengucapkan kalimat itu, Celyn datang dengan senyum lebar. Dia menjauhkan kursi dari Daniel untuk mendekati Layla. Alasannya karena dia ingin tahu banyak tentang cogan SMA Angkasa. Sesekali dia menyambungkan percakapan dengan drama Korea. Layla tidak paham. Namun, gadis itu tersenyum menghargai.

"Lo tadi mainin lagu apa?"

Celyn menoleh ke arah Layla bersemangat. "Itu Nocture Op. 9 No. 2 karyanya Chopin. Aku suka lagu itu karena Mama dulu sering mainin. Jadi keterusan, deh."

"Sstt, La. Bentar lagi pengumuman pemenang." Devan fokus pada acara di panggung. Dua orang fotografer yang Devan tahu naik sambil membawa daftar pemenang. Jantungnya berdetak seirama jarum jam. Menunggu momen mendebarkan ini.

"Juara tiga lomba fotografi tingkat SMA diraih oleh Irene Luvitha Putri dari SMA Kencana dengan judul 'Terlampau Manis'."

Suara tepuk tangan menggema. Seorang gadis bermata sipit menaiki panggung dengan senyum melengkung. Matanya hampir hilang ditutupi kelopaknya.

"Lanjut, juara dua diraih oleh Keandro Wiraga dari SMA Kejora dengan judul 'Kembali Pulang."

Laki-laki berambut klimis tampak tersenyum sumringah. Dia menuju panggung dengan percaya diri. Wajahnya terlalu tampan kalau dibandingkan dengan Devan, tapi masih kalah tampan dari Daniel.

"Dan juara pertamanya adalah ... Satriya Devanka Yudha dari SMA Angkasa dengan judul 'Peredam Amarah'."

Devan memeluk Layla spontan membuat wajah gadis itu sedikit memerah. Tangan Layla menggeplak kepala Devan sedikit keras. Isyarat agar melepaskan pelukan. Devan hanya terkekeh kecil lalu menuju panggung untuk menerima hadiah. Devan bukan hanya sebagai juara pertama, dia juga menjadi fotografer favorit.

"Ih, Layla sama Devan cocok banget. Kalo mereka menikah, kira-kira anaknya seganteng apa, ya?" Celyn berkata sambil sedikit menerawang.

Layla memutar mata. "Jangan mikirin masa depan gue. Gue aja yang punya masih ngerasa blur."

"Betul. Siapa tahu Layla nanti nikah sama saya," ucap Daniel ikut nimbrung percakapan kedua gadis di depannya.

"Nggak lucu," kata Layla dan Celyn bersamaan.

Daniel menutup mulut rapat-rapat. Dia kalah oleh dua gadis di depannya. Helaan nafas keluar begitu saja dari mulutnya membuat Layla dan Celyn tertawa bersamaan. Devan kembali dengan senyum cerah di wajah. Kalau seperti ini, Layla yakin dia bisa mengambil hati para orang tua.

----------------------------------------------------------

Dengerin mulmed, deh. Beneran enak suara pianonya.

I'd LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang