L I E -9-

17 4 0
                                    

Layla mematut dirinya di cermin sekali lagi. Membenarkan ikatan rambutnya yang sedikit miring. Hari ini jadwalnya memakai sepeda motor. Layla takut rambutnya akan berantakan ditimpa helm. Oleh sebab itu, dia memasukkan sisir ungu bergambar Barbie ke tasnya. Berharap semoga ibunya tidak curiga.

"Mommi, Lala berangkat dulu," ucap Layla sambil mencomot ayam goreng di meja makan.

"Ya ampun, Layla! Itu buat Kayla. Kakak macam apa kamu. Hei!"

"Makasih, Mi. Tapi Layla lagi nggak butuh pujian. Layla mau berangkat pagi sebelum ketemu iblis laknat!"

Teriakan dibalas teriakan. Layla segera menaiki motornya tanpa menoleh lagi ke arah ibunya. Enaknya berangkat pagi, jalanan masih sengang. Dan tempat parkir masih longgar. Layla bisa parkir di mana pun. Namun, kesenangannya hari itu harus berakhir karena sesosok makhluk yang tidak seharusnya Layla lihat muncul di hadapannya.

"Hai, pacar," sapa Devan sambil cengengesan.

Layla mendengus. Andai saja Devan tidak ingat janjinya untuk memacari Layla saat laki-laki itu menjadi ketua jurnalistik. Harapan semu Layla harus menguap begitu mendengar nama Devan diumumkan Pak Eko sebagai ketua baru kemarin. Dan lagi, kenapa anak-anak harus memilih Devan?

"Jangan panggil gue 'pacar'." Layla memandang Devan sengit. Menahan diri mati-matian agar tidak menghajar wajah Devan sekarang juga.

"Ye, gue emang pacar lo. Lupa sama apa kata gue dulu? Kalo lupa, gue masih ada bukti chat-nya kok."

"Nggak, nggak perlu. Udah sana pergi," usir Layla yang dibuat sehalus mungkin.

Sebelum Layla pergi, Devan sudah mengaitkan tangannya ke tangan Layla. Gadis itu terkejut. Memandangi tangannya yang sudah tertaut pada tangan Devan.

"Kita udah pacaran. Nggak peduli elo terima atau enggak, yang penting elo pacar gue."

Layla mencoba melepaskan genggaman itu. Namun, Devan terlalu erat menggenggam. Laki-laki berparas rupawan itu tersenyum polos seolah berontakan Layla bukan apa-apa.

"Lepasin atau–" ucapan Layla terpotong oleh perkataan Devan.

"Atau elo bakalan hajar gue pake salah satu jurus taekwondo. Mentang-mentang minggu kemarin udah kenaikan sabuk aja pake punya pemikiran buat pukulin pacarnya sendiri."

Layla tercengang. Devan tahu tentang taekwondo dan kenaikan sabuk. Layla memutar otak, mencari satu nama terbaik yang akan dijadikannya kandidat untuk dipukuli. Terlintaslah wajah Tino, mantan wakil ketua jurnalistik itu. Kalau Tino, Layla tidak mau memukulinya. Kasihan, katanya. Tino terlalu polos.

Devan menarik Layla menuju kelas. Layla sedikit terhuyung karena tidak siap menerima tarikan. Hanya pasrah yang bisa Layla lakukan. Melawan pun tidak mungkin. Sudah banyak anak yang datang. Bisa jadi tontonan nanti.

"Layla!" teriakan Hera membuat langkah Devan dan Layla terhenti. Layla memejamkan mata. Kesialan apa lagi yang akan dilaluinya. Mungkin ini karena dia mengambil ayam goreng untuk adiknya tadi. Jika memang itu penyebabnya, Layla akan meminta maaf nanti.

Tatapan Hera jatuh pada tautan tangan Devan dan Layla. Senyum mengejek terpatri di wajah manisnya. Hera berkata, "Akhirnya sahabat jones gue punya pacar! Gue bakal traktir elo bakso dua mangkok, La! Beneran!"

Layla menutupi wajahnya dengan tangan. Akan tetapi itu percuma. Orang-orang yang berlalu lalang mengenal Layla. Perhatian mereka terpusat pada Devan. Mereka kira yang bersama Layla adalah Kevan. Namun, melihat Kevan dengan auranya dari arah kiri, mereka yakin kalau yang bersama Layla itu Devan.

Layla melepas pegangan itu ketika Devan mulai lengah. Memasuki kelas sambil menutup wajah dengan telapak tangan. Ah, keputusannya untuk berangkat pagi sia-sia jika ternyata dia bertemu dengan Devan. Atau dia minta untuk pindah kelas saja? Lumayan dari pada harus sama Devan.

---

"Hera! Si Cantik dari Kahyangan datang! Layla di sini. Yuhuu ..." teriakan Layla menggema di rumah bernuansa mediterania itu. Rumah Hera lebih tepatnya. Mereka berencana untuk Girls Time. Mumpung orang tua Hera tidak ada di rumah.

"La, please, deh. Rumah gue bukan hutan. Nggak usah teriak-teriak kali," ucap Hera kesal.

"Langsung aja ke kamar. Tolong buatin minum sekalian, ya. Dedek haus."

Hera berhenti di tempatnya. "Oi, tuan rumahnya gue. Enak aja nyuruh-nyuruh gue."

"Tamu adalah ratu dan tuan rumah adalah pembantu. Hahaha ...."

Hera merinding sendiri. Suara tawa Layla mirip seperti tokoh antagonis di cerita Disney. Atau mirip nenek lampir di sinetron Indosiar. Mau tak mau, Hera membuatkan minuman untuk Layla. Ah, dia merasa benar-benar seperti pembantu.

Layla merebahkan diri di kasur king size Hera. Layla suka di kamar Hera karena lebih rapi dari kamarnya. Tahu kapal pecah? Kamar Layla hampir mirip dengan itu.

Hera datang dengan nampan berisi dua gelas sirup dan beberapa camilan. Sahabat yang baik, batin Layla. Pasalnya, Hera jarang sekali berkunjung ke rumah Layla. Bahkan tidak pernah. Obrolan mereka dimulai dari gosip tentang kakak kelas yang katanya ganteng. Dilanjut dengan boyband Korea yang hanya Hera yang tahu. Layla menyambung tentang taekwondo. Sampai percakapan mereka terhenti oleh kehadiran makhluk berspesies laki-laki.

"Hera! Hera! Abang Tampan kesayangan elo dateng, nih! Halo, sepupu. Elo di mana?"

Hera terbelalak kaget. Tumbenan sekali sepupunya datang. Kalau tidak ada acara, sepupunya itu tidak bakal sudi untuk datang. Mampir saja tidak. Hera kadang pusing sendiri menghadapi sepupunya. Mencari kalau ada maunya doang. Sepupu Hera membuka pintu tanpa mengetuknya dahulu. Tipikal lelaki rese yang jauh dari sopan santun.

"Hera, tahu nggak? Beberapa hari yang lalu gue ketemu cewek dari sekolah elo. Mukanya songong banget," ucapan laki-laki itu berhenti ketika menatap Layla, "nah, ini orangnya."

Sekarang Layla ingat, siapa laki-laki di depannya. Revaldo Adhit Pradana. Yang minta dipanggil 'sayang'. Layla bergidik ngeri mengingat pertemuan mereka yang jauh dari kata 'bagus'. Kesan pertama Layla pada Aldo juga buruk. Kalau tidak ada Hera –yang ternyata adalah sepupu Aldo– di sana, Layla pasti sudah menendang Aldo sampai keluar jendela. Pasti.

–––––––

Hae, pepsos habis nelurin lagu baru. Judulnya 'Want You Back'. Jan lupa donlot di Spotify.

I'd LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang