L I E -13-

7 3 0
                                    

"Akhirnya balik lagi ke sekolah! Gue udah kangen berat sama Bu Kantin. Gue juga kangen sama Pak Setyo. Ah, pasti tambah ganteng." Hera terlalu bersemangat di hari pertama sekolah. Berbanding terbalik dengan Layla yang berjalan lunglai di sampingnya.

"Biasa aja kali. Pak Setyo udah tunangan Rabu kemarin. Emang elo nggak diundang?"

"Demi apa?! Gue kalah dong kalau gitu." Hera melipat tangan sambil cemberut. Jika hatinya bisa berbunyi, mungkin sudah terdengar bunyi retak sedari tadi.

"Sebelum janur kuning melengkung, masih sah kok buat ditikung."

Dua gadis itu tertawa. Kelas mereka semakin dekat. Pintu bertuliskan 'Tap 2x to open' terlihat jelas. Kelas masih amat-sangat-sepi-sekali. Kalau bukan karena Hera, Layla tidak mungkin mau berangkat jam segitu.

Berangsur-angsur, anak-anak lain sampai di sana. Kelas yang tadinya sunyi senyap layaknya ponsel milik jomblo sekarang sudah ramai bak emak-emak nawar harga di pasar. Menceritakan liburan yang segitu singkat. Pagi pertama masuk sekolah memang indah.

---

Malam minggu itu seru. Buktinya sekarang Layla, Kayla, dan Devan sedang asik jalan-jalan di pasar malam. Ralat, kecuali Devan. Rencana kencannya dengan Layla harus gagal lagi karena ada Kayla. Sebagai kakak ipar yang baik, Devan mengikuti saja ke mana kakak-beradik itu pergi.

"Kak, beliin boneka yang itu dong," pinta Kayla memelas pada kakaknya.

"Kok minta beliin? Beli sendirilah. Enak aja."

"Bercanda kali, Kak. Tapi lucu juga loh bonekanya. Warnanya pink gitu."

Layla memutar bola mata. Namun, tak urung juga dia tertawa. Adiknya sering seperti itu. Manja padanya, tapi Layla tetap sayang pada Kayla. Di depan wahana bianglala, Kayla merengek seperti bayi agar diperbolehkan naik. Wahana kesukaan Kayla setiap berada di pasar malam. Di tengah perdebatan kecil itu, Fino datang dengan seorang gadis.

"Hai, Fin. Sama siapa?" tanya Devan sambil bersalaman dengan Fino ala laki-laki.

"Yo, kepo lo." Pandangan Fino jatuh pada kakak-beradik yang menatapnya dengan tatapan yang berbeda. Layla dengan tatapan jijiknya dan Kayla dengan tatapan datarnya. "Yang sama Layla itu siapa, Dev?"

"Adik gue, kenapa?" Layla bersungut mengetahui Fino yang sepertinya tertarik dengan adiknya.

"Sayang, tolong beliin minum dong. Nih, uangnya. Terserah kamu, deh, mau beli apa. Aku ngikut."

Sekali lagi Layla memandang Fino jijik. "Pinokio pantesnya sama CABE. Nggak pantes sama orang baik-baik kayak adik gue."

Darah Fino naik. Akan tetapi, dia harus bisa meredam amarahnya karena ini di tempat umum. Juga karena ada pacar dari Layla di sini. Dia tidak bisa melakukan apa-apa selain diam.

"Tumben lo diem. Mikir karena perkataan gue bener? Hah! Nyari cewek yang bener dikit kek. Baju kurang bahan gitu dipacarin. Kayak nggak ada cewek lain aja."

Kayla menarik pelan lengan kakaknya. Berusaha menenangkan sisi lain Layla yang jarang ditunjukkan padanya. Devan juga melakukan hal yang sama pada Fino. Menyuruh laki-laki itu untuk segera meninggalkan tempat sebelum ramai memancing orang-orang untuk datang.

"Cewek bangsat!" Amarah Fino tak dapat terelakkan. Dia mendekati Layla. Tangannya hampir saja menyentuh pipi gadis itu seandainya Layla tidak dengan sigap menangkap lalu memelintir tangan Fino. Fino melupakan satu hal, Layla adalah seorang taekwondoin sejati.

"Languange, please. Di sini ada adik gue yang masih di bawah umur. Sadar diri dong kalo mau ngelawan. Cemen banget beraninya sama cewek."

Wajah Fino memerah. Menahan sakit dan amarah yang masih meletup di dadanya. Layla menarik paksa lengan Kayla untuk segera pergi. Devan pun pamit pada Fino. Di tempatnya, Fino menyusun rencana. Rencana jahat untuk menghancurkan Layla.

---

"Mau mampir, Dev?" tanya Layla saat ketiganya sampai di depan rumah. Semenjak Layla ditembak Devan diam-diam di acara kemah waktu itu, sifat ketus Layla perlahan-lahan memudar saat bersamanya. Devan mendesah lega.

"Om Haris sama Tante Ratna di rumah?"

"Iya, Kak. Tadi Papa katanya mau lihat sepak bola. Siapa yang tanding, Kak La?"

"Barcelona sama Chelsea."

Dahi Devan berkerut. "Jam segini? Bukannya jam dua nanti malem?"

"Streaming," jawab Layla sambil tersenyum.

Kalau Layla senyum begini, Devan mau-mau saja mampir. Akhirnya Devan turun menyambangi rumah pacarnya. Menyapa Sandra yang baru saja membuatkan kopi untuk Haris. Kayla pamit ke kamar. Sedangkan Layla ikut Haris menonton sepak bola.

Pertandingan usai tepat pukul sembilan. Devan pamit setelah ngobrol sedikit tentang pertandingan tadi. Layla sebagai tuan rumah sekaligus pacar yang baik mengantarkan sampai di pintu. Akan tetapi, ketika Layla beranjak pergi, Devan menahan tangan gadis itu lalu memeluknya. Memberi kehangatan yang sudah lama ingin Devan salurkan.

"Hangat, 'kan?"

Pelukan Devan dibalas lebih erat meskipun tinggi mereka hampir sama. Rasa sebal yang dulu diberikan pada Devan lambat laun sirna. Diganti rasa nyaman yang didapatnya.

"Mi, Pa, Kay. Keluar aja. Jangan ngintip kayak penguntit gitu." Ucapan Layla diiringi bunyi gedebuk dari balik pintu rumahnya. Tiga orang yang berada di balik pintu bergegas pergi. Tidak ingin kena marah Layla.

"La," panggila Devan, "elo udah suka sama gue, ya?"

Pelukan Layla terlepas. "Nggak tuh. Mimpi lo doang kali."

Devan gemas melihat kelakuan Layla yang sok jual mahal. Dia tertawa lalu pamit untuk benar-benar pulang.

--------------------------------------------------------

Ouwouwo ... Ouwouwo ... Gue kepikiran mau bikin cerita baru. Doain aja ini cepet selesai ...

I'd LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang