L I E -20-

16 3 0
                                    

"La, selamat, ya. Akhirnya elo bisa ngeyakinin para orang tua. Gue was-was banget loh waktu itu." Reska jingkrak-jingkrak di depan kelas XI IPA 2. Beberapa orang yang lewat memandangnya aneh.

Layla menepuk dadanya bangga. "Gue gitu."

"Pacar gue gitu." Devan melingkarkan tangannya di bahu Layla. Mengabaikan pelototan yang diberikan gadis itu.

Jurnalistik selamat berkat ide Layla. Andaikan Layla tidak menantang Mr. Lucas, bisa dipastikan jurnalistik akan tutup selama-lamanya. Tanpa Layla sadari, rangkulan Devan berubah menjadi pelukan hangat. Layla tersenyum di sana.

"Ehm, udah peluk-pelukannya. Nggak malu sama yang lain?" Tino menginterupsi adegan itu.

Buru-buru Layla mendorong Devan menjauh. Semburat merah jambu muncul di wajahnya. Sebisa mungkin Layla menutupinya dengan rambut. Begitu juga Devan yang berpura-pura sibuk dengan kameranya.

Tino memutar bola mata. Dia terkekeh sebentar lalu meninggalkan kelas XI IPA 2. Dia memberi kode pada Reska untuk meninggalkan dua orang yang lagi dimabuk asmara itu. Reska pamit dengan senyum kecil di wajahnya. Melambai pada Layla.

Devan melirik Layla sedikit. Dia celingukan karena Layla sudah pergi meninggalkannya sendiri di depan kelas dengan wajah cengo. Devan mengedikkan bahu lalu masuk kelas. Ternyata Layla sudah duduk manis di tempatnya. Mengobrol seru dengan Hera tanpa peduli sekitar. Devan tersenyum kecil. Dia mengikuti kata hatinya untuk duduk di samping kembarannya.

-----

"Dik, numpang hotspot dong." Kepala Layla menyembul sedikit dari pintu.

Kayla mencibir kakaknya. "Cih, nggak modal. Buat apa?"

"Nyari tugas sejarah," kata Layla sambil berjalan menuju kasur adiknya. Menghirup aroma parfum Kayla yang tidak pernah ganti.

"Nih, pake handphone aku aja. Aku mau ke kamar mandi dulu. Mau mandi terus keluar sama temen."

Layla menerima ponsel adiknya. Dia mencari posisi terbaik di kasur. Alhasil, telentanglah posisi yang dipilihnya. Dia mulai mengutak-atik ponsel Kayla. Diam-diam membuka instagram dengan akunnya. Sebenarnya, tugas sejarah itu ada pada satu akun. Namun, kesempatan tidak datang dua kali. Layla menggunakan kesempatan emas itu untuk mencuri instagram.

Lima menit Layla menghabiskan kuota adiknya, ada sebuah pesan masuk. Dengan rasa bodo-amat-punya-adik-gue-juga, Layla membuka pesan itu. Nama yang sama dengan yang dibacanya dulu sewaktu bermain ludo. Layla mengenal nomor itu karena dia satu grup di WhatsApp. Layla melihat foto profilnya. Benar, orang itu yang berhubungan dengan adiknya. Dia membaca semua pesan yang dikirim orang itu. Layla benci ini.

"Udah, kan, Kak? Mana handphone aku?" Kayla kembali dengan handuk melingkar di lehernya. Layla mengacungkan pesan Kayla dan orang itu.

"Sejak kapan kamu chat sama dia?"

Kayla mengalihkan pandangan. Mencari alasan yang sekiranya bisa membalikkan kata-kata kakaknya.

"Mau cari alasan apa? Bukannya udah Kakak bilangin waktu di pasar malam, jangan deket-deket sama Fino? Kenapa kamu nggak dengerin Kakak? Kamu mau di–"

"Udah, deh, Kak," potong Kayla, "aku juga udah besar. Nggak usah sok-sok ngurusin hidup aku. Urusin tuh, pacar Kakak sendiri. Jangan ngatur aku mau suka sama siapa."

Layla tertegun. Jadi, dia di mata adiknya sendiri adalah seorang tukang ngatur. Dia tersenyum miring lalu pergi meninggalkan Kayla. Mungkin mulai sekarang dia tidak akan ikut campur urusan Kayla. Toh, adiknya juga sudah dewasa. Pasti bisa menjaga diri. Setetes air mata Layla jatuh. Diiringi tetes berikutnya. Dia berderap cepat ke kamar.

Ponsel Layla berdering tepat ketika dia menutup pintu. Ada video call masuk dari Devan. Buru-buru Layla menghapus air matanya. Dia mencari headset, menyambungkannya, kemudian mengangkat panggilan itu.

"Halo, Layla Cantik. Abang Devan yang Ganteng nelpon, nih. Eh, matamu kenapa? Kok sembap gitu?"

Layla tersenyum dipaksakan. "Berantem sama Kayla." Layla tidak mungkin menjawab 'tidak apa-apa' karena nyatanya dia ada apa-apa. Lagi pula, Devan sudah berstatus menjadi pacarnya. Wajar saja kalau dia menceritakan masalahnya.

"Mau cerita sama Abang, nggak? Abang siap dengerin."

"Jangan lebay, Dev. Jijik gue dengernya. To the point aja, mau ngapain?"

Devan tersenyum jahil di seberang. "Buru-buru amat, Neng. Gini, Abang mau ngajakin si Eneng nyanyi. Mau nggak?"

Dahi Layla berkerut. Antara jijik dan heran mendengar penuturan Devan. "Pertama, yang paling utama. Jangan panggil gue dengan panggilan alay anak-anak jaman now. Geli di telinga. Kedua, nyanyi dalan rangka apa? Jangan-jangan di club? Wah, gue nggak mau."

"Jangan berpikir yang iya-iya dulu dong. Kemarin, gue di-chat sama Daniel. Dia punya kafe di pusat kota. Nah, gue sebagai cowok yang suaranya sebanding sama Ed Sheeran langsung mengiakan. Masalahnya, nih, ya. Kalo orang ganteng ke sana sendiri, bisa berdampak diculik sama tante-tante. Gue nggak maulah. Makanya gue ajak elo."

Layla manggut-manggut. Bagus juga idenya. "Dibayar berapa?"

"Kalo itu, sih, belum didiskusiin. Gue tanya elo dulu. Misalnya elo mau, besok ke rumah gue. Kita video call sama Daniel buat bahas bayarannya."

"Boleh, deh. Besok pulang sekolah gue nebeng ke rumah elo. Jadi pagi-pagi elo harus jemput gue."

"Siap, Tuan Putri. Ngomong-ngomong, besok rumah gue sepi loh. Nggak mau anu gitu?"

"DASAR MESUM! JANGAN TELEPON GUE DUA PULUH EMPAT JAM KE DEPAN, SATRIYA DEVANKA YUDHA!"

-----------------------------------------------------------

Tbc ;)

I'd LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang