L I E -8-

18 4 0
                                    

"Waduh, Pak. Emang nggak ada yang lain selain Devan? Dia murid baru, Pak. Belum tentu di sekolah lamanya juga ikut jurnalistik," bantah Layla dengan suara serendah mungkin. Takut-takut suaranya meninggi dan membuat Pak Eko memberinya tatapan singa.

"Suka-suka sayalah. Yang jadi pembina saya, 'kan? Saya mengizinkan Devan mencalonkan diri," kata Pak Eko sarkas.

Andai Pak Eko seumuran dengan Layla, bukan tidak mungkin gadis itu akan mengeluarkan jurus tae kwon do andalannya. Menghajar habis-habisan guru muda berumur tiga puluh lima tahun itu.

"Tolong kamu bilang ke pengurus jurnalistik, hari ini ada technical meeting pulang sekolah. Untuk membahas pemilihan ketua. Sudah, kamu boleh pergi." Pak Eko mengibaskan tangan kanannya. Layla pamit lalu keluar dari ruangan ber-AC yang tiba-tiba terasa panas tersebut.

Layla berjalan sendiri menuju kelasnya di lantai dua. Beberapa kali ia menyapa kakak kelas maupun adik kelas yang dijumpainya. Oh, tidak beberapa, tapi hampir semua yang berpapasan dengannya. Layla tidak tergolong gadis famous. Dia hanya gadis biasa yang kebetulan mudah bergaul dengan siapa saja.

Sesampainya di kelas, Layla tidak menemukan Hera di tempatnya. Hanya secarik kertas bertuliskan 'AKU DISPEN DULU YAAA!' dengan tinta merah. Bukan, bukan tinta spidol atau bolpoint. Namun, board marker milik kelas yang dipinjam paksa Hera dari sekretaris kelas. Layla meremas kertas putih itu menjadi gumpalan. Mengumpat berulang kali dalan hati.

"Jangan diremes-remes. Kasihan kertasnya. Itu buatnya dari pohon loh," kata Devan sambil duduk di tempat Layla. Layla sendiri duduk di kursi Hera. Memindahkan tas Hera ke lantai.

"Udah tahu kalau kertas buatnya dari pohon. Seharusnya kita nggak usah belajar pakai buku. Balik ke zaman dulu yang pakai daun lontar. Kata Bu Tini kita harus menyayangi lingkungan, tapi kenapa kita harus nebangin pohon buat kepentingan kita sendiri?"

Devan tak dapat berkutik. Bibirnya terbuka, bersiap untuk mengaluarkan sanggahan. Akan tetapi, kata-katanya menguap begitu saja. Berdebat dengan Layla mirip dengan mengurusi perempuan yang sedang PMS. Atau mungkin Layla PMS sepanjang hari? Mengingat gadis itu yang selalu ketus padanya.

---

Sepeda motor Layla berhenti di sebuah gedung putih setinggi sepuluh meter. Dia menggendong tas hitam berisi dobok yang sudah dicucinya minggu lalu. Biasanya dia akan mengajak Gitta untuk menemaninya latihan. Berhubung hari ini dia ada kenaikan sabuk, Layla berangkat sendiri. Kasihan Gitta kalau dia harus menunggu lama.

"Pagi, Tin. Sabuk hijau sama kuning belum ada yang datang?" tanya Layla kepada Tino setelah menaruh tas di tempatnya.

"Belum. Kenaikan mereka masih setengah jam lagi. Sepuluh menit lagi Sabeum bakal ngetes kita. Buruan ganti."

Layla buru-buru menuju ruang ganti. Tak butuh waktu lama untuk mengubah penampilannya. Dia mengikat rambut hitamnya menjadi satu. Segera berlari menuju ruang latihan berukuran seratus meter persegi lalu melakukan pemanasan. Tak lama, seorang laki-laki berusia sekitar dua puluh tahunan bersabuk hitam memasuki ruangan.

"Pagi semuanya. Hari ini adalah hari Minggu. Seharusnya kalian kenaikan di luar. Berhubung terbatasnya waktu dan tenaga, kalian kenaikan sabuk di sini saja. Seperti tahun-tahun lalu. Bagi yang tidak melakukan tes akan berada di luar. Dua orang yang dites akan tetap berada di sini. Untuk yang pertama, Keken dan Putra."

Layla berjalan ke luar bersama teman-teman satu sabuknya. Sebenarnya dia tidak terlalu serius mengikuti ujian kenaikan hari itu. Dia tidak latihan sama sekali. Boro-boro latihan, ingat kalau ada ujian kenaikan saja tidak.

"La, elo sama Tino disuruh masuk," kata Keken sambil menyerahkan pelindungnya kepada Layla. Keken dan Putra keluar lima belas menit setelah Layla dan teman-temannya keluar.

Layla menerimanya. Dia berharap semoga gerakannya tidak ada yang lupa. Gila saja kalau tiba-tiba dia disuruh melakukan gerakan dasar seperti slending step atau china step. Dia sungguh-sungguh melupakan gerakan dasar, kecuali ap chagi. Dia berniat mempraktekkan tendangan itu pada Devan.

Layla menghadap Sabeum Hendra. Memberikan sikap hormat pada gurunya lalu melakukan neolpyo seogi. Siap menerima tes dari seniornya.

"Taegeuk V," teriak Sabeum Hendra.

Layla melakukan gerakan-gerakan yang dikatakan oleh gurunya. Tidak ada yang meleset. Semua dilaluinya dengan lancar. Badannya meliuk sesuai dengan apa yang ada di kepalanya. Dia tidak terlalu banyak berfikir.

"Bagus, Layla. Silakan keluar," kata Sabeum Hendra sambil menulis sesuatu di kertas yang ada di hadapannya.

Nafas Layla terhela setelah sampai di luar. Ini lebih mendebarkan dari pada pengumuman ketua baru jurnalistik. Layla menyerahkan alat pelindung kepada temannya yang akan masuk. Layla duduk di lantai. Jantungnya masih berdegup kencang. Menunggu hasilnya kurang lebih satu setengah jam.

"Baiklah. Sesi pertama ujian sudah selesai. Minggu depan ada sesi kedua, yaitu kalian akan diberi lawan. Baiklah, terina kasih. Selamat siang," ucap Sabeum Hendra lalu pergi.

Layla menghela nafas. Dia lupa kalau masih ada sesi kedua. Mau bagaimana lagi?

–––––

I love Devan <3

I'd LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang