L I E -7-

22 3 0
                                    

SwaraLayla: Keluar yok, Git
SwaraLayla: Gue patah hati
Swara Layla: ):

GittaPermata: Elo ngajak gue dijam kerja?
GittaPermata: Nggak salah?

SwaraLayla: Otw ke sana

"Mi, Lala mau keluar. Titip sesuatu?" tanya Layla setelah memakai sneakers-nya.

"Enggak ada. Tanya sama Kayla. Siapa tahu adikmu nyidam."

Layla menuju kamar adiknya. Kayla sedang menyumpali telinganya dengan earphone. Layla jadi malas menanyai Kayla. Dia berinisiatif memberinya pesan saja nanti. Layla kembali pamit lalu mengendarai motor scoopy merahnya. Jalanan siang itu tidak padat. Bisa dikatakan lebih sengang dari biasanya.Dari kejauhan, Layla sudah melihat Gitta dengan kemeja putihnya. Rambut hitam dikuncir tinggi. Ciri khas seorang Gitta.

"Selain tukang pukul elo hobi maksa juga," kata Gitta sambil memakai helm.

"Makasih. Gue lagi pengin muter-muter mal. Mampir ke starbucks atau KFC. Elo nggak usah bingung, gue yang bayarin."

Gitta terpekik girang. Sebenarnya dia tidak ingin merepotkan Layla. Mengingat gadis itu selalu menjajakannya di restoran-restoran. Itu yang membuat Gitta tidak bisa menolak permintaan Layla. Layla terlalu baik.

"Tanggal merah begini tumben jalanan kosong. Biasanya mirip arena balap, rame banget," kata Gitta sedikit berteriak karena kecepatan mengendara Layla tidak bisa dikatakan pelan.

Setelah mengurangi laju kendaraan, Layla baru menjawab, "Pada liburan kali. Di sini, kan, nggak ada hiburan. Paling cuma mal sama taman."

Sampailah mereka di mal. Berbanding terbalik dengan jalanan yang sepi, mal justru ramai. Area parkir juga hampir penuh. Sepertinya ajakan Layla ke mal merupakan hal buruk. Gitta menghela nafas kasar. Pilihan Layla selalu salah. Dulu, gadis itu berniat ke pantai. Sampai di tengah jalan, mereka tersesat. Alhasil, putar baliklah satu-satunya jalan yang ditempuh.

"Temenin gue muter-muter dulu. Nanti kalo udah capek baru makan," ajak Layla yang menarik tangan Gitta ke tengah keramaian.

Sebenarnya, isi mal hanya begitu-begitu saja. Namun, entah kenapa Layla begitu ingin ke sana. Mungkin dia ingin melupakan sejenak kisah cinta picisannya yang berakhir tragis. Kalau Kevan sudah berpacaran dengan Hera, Layla tidak bisa berbuat apa-apa. Niatnya mau menikung, tapi mengingat Hera adalah temannya sendiri, Layla mengurungkan keinginannya.

"Elo mau es krim, Git?" tanya Layla ketika melihat toko es krim bernuansa biru dan putih tak jauh dari tempatnya.

Gitta menggeleng pelan. "Nggak, gue nggak bawa uang."

"Oke, satu es krim rasa vanila."

Pertanyaan menjerumus Layla yang selalu dijawab sendiri sesuka hati. Gitta menyesal menjawab pertanyaan Layla. Sudah sering begitu. Di mana Layla tidak memedulikan ucapan Gitta ketika ditanya sesuatu.

Lima menit lebih empat puluh detik waktu yang diperlukan Layla untuk mengantri. Itu pun dia hampir berada di barisan paling belakang. Satu es krim cokelat dan satu es krim vanila sudah berada di dua tangan berbeda. Layla dan Gitta seperti dua saudara. Begitu akur dan akrab.

"Ayo ke starbucks!" ajak Layla dengan semangatnya. Dia sampai menarik lengan Gitta. Starbucks tidak terlalu ramai. Masih ada beberapa bangku kosong di beberapa tempat. Sampai di depan pintu, Layla berhenti. Gitta mengernyit bingung.

"Lo kenapa, La?" tanya Gitta sambil mengerutkan kening.

"Tahan gue, Git," lirih Layla.

"Hah?"

"Tahan gue biar nggak pergi dari sini."

Gitta masih bingung. Dia memandang apa yang dipandang Layla. Pantas saja tadi Layla mengatakan kalau sedang patah hati. Di depan sana, Kevan tertawa ria bersama Hera. Seakan dunia milik berdua. Mereka tidak menghiraukan orang lain yang berlalu lalang.

"Balik aja kalo gitu," ucap Gitta enteng.

"Kok gitu? Gue, kan, minta elo buat nahan gue."

"Kenapa nggak masuk?" Entah dari mana datangnya, Devan tiba-tiba sudah berada di antara Layla dan Gitta. Jaket denimnya dibiarkan terbuka, menyebabkan kaus putih polosnya terlihat.

"La, kok dia mirip Kevan?" Pertanyaan konyol Gitta yang tiba-tiba terlontar membuat tawa keluar dari bibir Layla.

"Gitta pinter, kalo ada orang mirip itu ada dua kemungkinan. Pertama, mereka adik-kakak. Kedua, mereka ..." ucapan Layla sengaja menggantung. Menunggu Gitta untuk menjawabnya.

"Kembar," jawab Gitta spontan.

Layla tersenyum lalu menepuk puncak kepala Gitta. "Wah, adik pinter. Sini, aku beliin green tea latte kesukaan kamu."

Layla menarik tangan Gitta yang masih linglung. Sebentar-sebentar Gitta melihat Devan. Sebentar-sebentar melihat Kevan. Sepertinya dia masih menimbang. Opsi mana yang cocok untuk dua laki-laki yang -terlalu- mirip tersebut. Dan dugaan Gitta jatuh pada opsi kedua.

Setelah menerima pesanan, Layla dan Gitta dikejutkan kembali oleh kedatangan Devan. Laki-laki itu mengajak Layla dan Gitta untuk duduk bersama. Gitta menerima tawaran itu dengan cepat. Tidak memedulikan delikan tajam Layla.

"Hai, gue bawa tamu," ucap Devan ketika mereka telah sampai di meja bernomor empat belas.

"Layla!" pekik Hera senang. Mata gadis itu tidak sengaja menangkap sosok asing di samping Layla yang sekarang sedang meminum white frappe-nya. Hera menatap Layla meminta penjelasan.

"Hera, ini Gitta. Gitta, ini Hera." Layla seperti ogah-ogahan mengenalkan dua temannya satu sama lain.

"Bianca Hera Yumana. Panggil aja Hera," kata Hera sambil mengulurkan tangan.

Gitta menerima uluran tangan Hera. "Gitta Permata. Layla panggil gue Gitta."

"Gitta cantik, ya, La," kata Hera setelah sesi perkenalan itu selesai. Gitta tersipu malu. Seakan dia sedang berada di antara awan-awan. Sebelum Layla menjatuhkannya ke jurang yang paling dalam dengan berkata, "Biasa aja mukanya. Hera sering bilang gitu ke semua cewek yang baru dia temui."

Hera tertawa sedikit nyaring. Sedangkan Layla menunjukkan wajah tanpa dosanya. Tiba-tiba Hera berhenti tertawa. Dia teringat sesuatu. "Gue tadi lihat ada gelang ucul banget di toko sebelah. Warnanya kuning. Aaaa ... Gue pengin. Ke sana, yuk."

Gitta tentu saja semangat mendengarnya. Dia menarik paksa lengan Layla, menyebabkan white frappe Layla tumpah mengenai meja.

"Gue juga mau beli gelang. La, ayo ke sana."

Tinggallah Devan dan Kevan yang masih setia melihat bagaimana ketiga gadis tadi pergi tanpa pamit. Devan menyesal karena telah menyeret Layla kemari. Kembar identik itu saling melirik dan memberi kode untuk mengikuti gadis-gadis itu.

-----

Guwa syedih lihat Kevan bahagia ;)

I'd LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang