L I E -2-

22 5 0
                                    

"Elo dispen sekarang, Ra?" Layla bertanya sambil membuka buku catatan fisika. Pencitraan karena jam pertama adalah mata pelajaran itu.

"Iya, nih. Seminggu lagi ada lomba di SMA Kencana. Gue sebagai wakil ketua harus ikut menyiapkan dong."

"Enak banget hidup lo, ya. Dispen bertaburan di mana-mana. Nah, gue? Pinokio aja jarang ngasih. Kadang gue fikir gue salah masuk ekskul."

"Tapi jurnalistik, kan, sesuai sama bakat dan minat elo terhadap menulis."

"Iya kalau posisi gue ikutan nulis. Bayangin aja, gue jadi bendahara. Jauh dari ekspektasi gue selama ini."

"Yang sabar aja, ya. Gue mau kumpul di aula dulu. Bye, Layla."

Hera meninggalkan Layla dengan gaya seperti model-model di atas catwalk. Ingin sekali tangan Layla melayang. Menimpuk punggung Hera dengan tangannya. Lumayanlah, bisa jadi latihan. Ngomong-ngomong soal latihan, Layla mengikuti taekwondo. Dia sedang berada di sabuk biru strip merah. Rencananya, bulan depan ada kenaikan sabuk. Jadi, sabuknya merah. Tidak sia-sia latihannya sejak SMP.

Buku fisika yang tadi dikeluarkannya diabaikan begitu saja. Dia membuka feed instagramnya. Memberi love pada foto-foto menarik dan disukainya. Tidak terkecuali pada foto yang di-upload Kevan dua hari yang lalu. Seharusnya Layla tahu, ketika Hera mengatakan kalau dia bertemu dengan kembaran Kevan lewat instagram, Layla harus langsung men-stalk-nya.

Hawa dingan dari AC membuatnya ingin ke kamar mandi. Layla pergi seorang diri. Dia masuk ke kamar mandi bertepatan dengan bel. Masa bodoh dengan bel. Yang penting dia harus membuang hajat terlebih dahulu.

Selepas membuang hajat, Layla mengaca sebentar. Tipikal seorang gadis pada umumnya. Selalu melihat kaca setelah dari kamar mandi. Meneliti penampilan yang pasti berbeda seperti kemarin saat pulang dari rapat jurnalistik.

Layla berjalan meninggalkan tempatnya berpijak. Suasana koridor mulai sepi. Terdengar lagu Indonesia Raya dinyanyikan di tiap kelas. Sampai pandangan Layla berhenti pada sosok jangkung yang mirip Kevan. Memakai seragam dengan logo yang sama dengan sekolahnya. Lagi-lagi yang dibicarakan Hera benar. Kembaran Kevan pindah ke sini.

"Devan?" Salahkan mulut Layla yang tidak bisa mengontrol ucapannya. Devan menoleh lalu tersenyum lebar. Biasanya para gadis akan berpekik girang, tetapi berbeda dengan Layla. Menurutnya senyum termanis adalah senyum milik Kevan. Walaupun Devan juga memiliki senyum serupa.

"Lo yang ada di swalayan itu, 'kan?" tanya Devan sambil berjalan mendekat. Aroma cokelat dari tubuhnya menguar. Layla mengernyit sebentar. Jelas Devan itu pribadi hangat. Terbukti dari parfum cokelatnya. Berbeda dengan Kevan yang punya aroma mint. Lebih dingin.

"Iya. Cari kelas apa?"

"Kelasnya Kevan, please."

Layla menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Hera benar lagi. Layla tertinggal jauh di belakang kalau seperti ini. Bertukar chat dengan Kevan saja jarang. Kecuali ada yang penting.

"Ya udah, ayo!" Layla menarik lengan Devan. Tidak kasar, tapi bertenaga. Devan terperanjat sesaat. Dia tidak biasa disentuh oleh wanita lain selain ibunya. Minimal penjaga swalayan tempatnya dan Layla bertemu. Itu pun tidak sengaja. Namun Layla ... Devan berkesimpulan jika Layla adalah gadis yang kuat dan berani.

"Permisi, selamat pagi, Pak," ucap Layla setelah membuka pintu kelas.

Guru setengah baya yang sedang menuliskan rumus di papan tulis berhenti sejenak. Menatap Layla datar. Guru itu mencoba mengingat siapa gadis di depannya.

"Oh, bendahara jurnalistik," ucap beliau setelah ingat, "kenapa terlambat?"

Layla tersenyum kikuk dipanggil bendahara jurnalistik. "Nggak sengaja ketemu murid baru nyasar, terus saat saya tanya ternyata sekelas sama kembarannya. Jadilah saya bawa dia ke sini."

Pak Eko memutar pandangan ke penjuru kelas. Berhentilah tatapan beliau pada Kevan. Lalu menatap Devan yang berada di belakang Layla. Mirip. Bagaimana cara menghafalkan dua orang itu?

"Silakan duduk. Kamu, murid baru. Perkenalan dulu."

Pak Eko duduk di kursi guru. Devan tersenyum lagi. Sama seperti senyum yang diberikannya kepada Layla. Hanya tidak selebar itu. Dia mengerling kepada Kevan lalu mulai bersuara.

"Nama saya Satriya Devanka Yudha. Panggil aja Devan. Jangan panggil Sat, kalo ditambahin kata 'Bang' jadi nggak enak didengar," ucap Devan tanpa melepas senyum dari wajahnya. Benar dugaannya. Barisan depan, yaitu para gadis, memekik bersama. Pesona cogan membuat mereka melupakan sejenak rumus-rumus fisika.

Pak Eko berdiri di sebelah Devan. Mengamati satu per satu bangku. Hanya tersisa bangku di sebelah Layla yang kosong. "Devan, kamu duduk sama Layla, ya."

Mata Layla melebar. "Nggak bisa gitu dong, Pak. Ini tempat sohib saya. Nggak boleh ada yang dudukin. Saya menolak."

"Swara Layla Cantika, kamu mau Bapak lengserin kamu dari jurnalistik?"

"Yah, Pak. Kalo nggak ada saya, keuangan jurnalistik nggak mungkin berjalan. Seharusnya, Bapak lengseri Pinokio. Dia ketua yang nggak bertanggung jawab. Pengurus yang lain udah marah-marah karena Pinokio."

"Kamu curhat sama saya, Layla?"

"Bukan curhat, Pak. Bapak sebagai pembina jurnalistik tahun lalu dan tahun ini seharusnya mencari ketua yang berkualitas. Jangan cuma numpang nama sama gambar doang di majalah sama mading. Pokoknya saya nggak mau kalau pemilihan ketua bulan depan wajah Pinokio ada di jejeran calon ketua. Saya lebih milih mengundurkan diri dari jurnalistik mulai sekarang. Pinokio memang ganteng, Pak. Dia bisa mengikat sponsor dengan itu. Tapi otak sama kewibawaannya jarang digunain."

Hening sejenak. Lalu kelas itu riuh dengan tepuk tangan. Devan menatap Layla kagum. Gadis itu blak-blakan. Akan tetapi, semua itu demi kepentingan orang banyak. Tidak hanya untuk dirinya. Devan sepertinya harus membandingkan keberaniannya dengan keberanian Layla.

Pak Eko terdiam. Beliau melanjutkan pelajaran tanpa menanggapi perkataan Layla. Jika tidak ada peraturan untuk menghormati guru, Layla mungkin sudah mengeluarkan nama hewan di kebun binatang. Dia menatap Kevan yang menahan senyum. Ah, kalau dipikir-pikir, Kevan jarang tersenyum padanya.

------------------

Pokoknya Layla kembaran gue. Devan and Kevan di mulmed

Salam dari emaknya Devan,

Bhai

I'd LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang