L I E -6-

21 4 0
                                    

Hari Rabu tepat seminggu Devan satu kelas dengan Layla. Selama itu pula Layla diganggu oleh laki-laki itu. Bukan hanya di sekolah, di rumah pun Devan juga mengganggu Layla. Lewat pesan singkat. Bukankah itu menyebalkan? Jika Layla tidak menjawab, maka Devan akan memberondongnya dengan spam yang tidak bermanfaat.

"Hai, Layla. H-14, nih, gue jadi ketua jurnalistik," ucap Devan begitu melihat Layla duduk di tempatnya seperti biasa.

"Jangan mimpi. Masih ada pemilihan ketua seminggu lagi. Siapin aja janji-janji manis elo di depan anak-anak nanti." Layla menatap Devan sengit. Dia bersumpah tidak akan memberi suara pada Devan saat pemilihan ketua jurnalistik nanti. Kecuali kalau terpaksa. Apabila yang mencalonkan Devan dan Fino, Layla lebih memilih Devan meskipun wajahnya tidak menunjukkan kharisma seorang ketua.

"Hari ini ada kejutan. Jangan lupa temenin Hera, oke?"

Layla mengernyit. Apa hubungannya antara kejutan dan Hera? Belum sempat Layla bertanya, Devan sudah meninggalkannya dengan kedipan mata. Kalau Devan tidak pergi, mungkin tangan pemuda itu akan patah detik itu juga. Tak berapa lama, Hera datang. Tas birunya diletakkan di samping Layla. Dua gadis itu memulai hari dengan bertukar cerita.

---

"Ke tempat parkir barengan, ya, La," ajak Hera setelah memasukkan bukunya ke tas.

Layla berucap 'oke' tanpa suara. Dia bergegas menutup tasnya. Tidak mau membuat Hera menunggu lama. Beberapa detik kemudiam, Layla dan Hera sudah hampir sampai di tempat parkir. Saat melewati halaman, Kevan tahu-tahu memotong jalan mereka. Laki-laki itu menatap Hera tanpa menghiraukan Layla.

"Hera, boleh gue ngomong sama elo?" ucap Kevan.

Sebuah tangan tiba-tiba menarik lengan Layla. Hampir saja Layla mematahkan tangan itu kalau Devan tidak segera mengurungnya.

"Diem. Biarin mereka." Devan melepaskan tangan Layla. Khilaf karena dia telah menarik tangan Layla.

"Mau apa, sih?"

"Kevan mau nembak Hera."

Deg. Jantung Layla seperti diremas tangan tak kasat mata. Sakit melihat sahabat ditembak oleh gebetan sendiri. Di depan mata pula. Disaksikan anak kelas lain. Apa yang lebih buruk dari itu? Tidak ada. Pelupuk mata Layla sudah tergenang oleh air mata. Devan yang menyadarinya merasa bingung. Layla yang biasanya nyalak bisa menangis.

"Lo kenapa, La? Gue salah ngomong? Eh, jangan nangis. Gue bingung jadinya," kata Devan panik.

Layla menahan nafas. Di depan, Kevan sudah berlutut. Menyerahkan seikat bunga pada Hera. Gadis itu memandang berkeliling mencari seseorang. Ketika tatapannya tepat pada Layla, Hera seperti meminta pendapat. Layla mengangguk. Memperbolehkan Hera menerimanya. Karena Layla tahu, Hera dan Kevan saling mencintai. Hera mengambil bunga dari Kevan. Segenap anak yang melihat proses jadian itu bersorak gembira.

Layla meninggalkan tempat itu setelah memastikan Hera tidak lagi mencarinya. Devan mengikuti dari belakang tanpa sepengetahuan Layla. Layla berhenti tepat di samping mobilnya. Mengeluarkan kunci dari tas. Tak sengaja matanya menangkap sepatu hitam milik Devan.

"Nggak usah ngikutin gue!" bentak Layla.

"Ck, ayolah. Elo gebetan gue, wajarlah gue kepo sama apa yang elo lakuin. Siniin kunci elo." Devan merebut kunci dari tangan Layla. Memasuki mobil itu tanpa menghiraukam Layla.

"Masuk, elah. Lama banget."

Dengan berat hati Layla memasuki mobilnya. Membiarkan Devan menyetir dan membawanya ke mana saja. Layla diam. Malas berbicara karena kejadian tadi. Devan juga tidak mengatakan apa pun. Dia paham kalau Layla butuh sendiri.

Mobil hitam itu berhenti di taman kompleks. Siang yang cukup panas. Tidak ada orang sama sekali di taman. Biasanya pedagang es ataupun makanan ringan berjejeran di sepanjang tempat yang disediakan untuk berjualan. Namun, hari ini lain.

"Eum ... Elo mau cerita?"

Layla menghela nafas. Kebiasaannya setiap akan memulai cerita yang menurutnya tidak patut diceritakan. "Gue suka sama Kevan. Dari sejak MOS. Dia yang bantuin gue bikin tugas MOS. Dia baik banget sama gue. Gue jadinya baper, kan. Tapi hari ini dia malah nembak sahabat gue. Di depan mata gue lagi. Iya, gue tahu gue terlalu berharap. Kevan yang dingin-dingin seperti permen mint yang dimakannya setiap pelajaran mana mungkin suka sama cewek yang suka debat macam gue."

Layla menangis sesenggukan. Sungguh, di dalam hati Devan, dia ingin tertawa terbahak-bahak. Namun, melihat Layla yang menangis, Devan mengurungkan niatnya. Dia justru menarik gadis itu ke pelukannya. Menenangkan Layla dengan menepuk-nepuk punggungnya.

"Jangan nangis. Masih ada gue kok. Bayangin aja kalau gue itu Kevan," ucap Devan enteng. Menahan gejolak di hatinya untuk cemburu. Melihat gebetan curhat tentang orang yang disukai gebetan itu sakit.

"Elo beda sama Kevan," kata Layla yang masih berada di pelukan Devan, "Kevan dingin-dingin penguin. Elo terlalu banyak senyum. Kevan nggak suka tebar pesona. Elo sering nongkrong di depan kelas cuma buat godain cewek yang lewat. Intinya elo beda banget sama dia."

Devan melepaskan pelukannya pada Layla. Menangkup pipi Layla dan membersihkan sisa air mata yang mengalir di sana. Devan menatap Layla lembut. Dia sekarang jadi berani memegang Layla karena kejadian tempo hari. Saat Layla menariknya menuju kelas barunya. Sekarang, Devan menahan diri mati-matian agar tidak mencium bibir Layla. Takut khilaf lalu kebablasan.

"Izini gue gantiin Kevan di hati lo. Nggak usah move on kalau elo emang nggak bisa. Cukup jangan ngusir gue kalau lagi di dekat lo. Gue yakin cinta itu bakal datang dengan sendirinya."

Layla manyun, membuat Devan semakin mendekatkan wajahnya. "Jangan manyun gitu. Gue juga cowok normal yang takut khilaf nyium elo pas lagi seperti itu," kata Devan pelan.

Layla langsung menjauhkan diri dari Devan lalu menutup mulutnya. Tidak mungkin mereka ciuman di taman. Kalau ketahuan Satpol PP, bisa dinikahkan di tempat mereka. Layla geleng-geleng. "Ciumannya nanti aja kalau udah sah."

"Jadi, elo mau sah sama gue? Sekarang aja ayo. Lo punya KTP, gue juga."

Layla menjitak Devan keras. Membuat laki-laki itu meraung kesakitan.

——————————————————

Have you meet Layla? She is in mulmed

Tbc (:

I'd LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang