L I E -27-

12 3 3
                                    

Empat tahun kemudian ...

Layla berjalan di lorong kampus seorang diri. Tujuannya hanya satu, kantin dengan segala kenikmatannya yang hakiki. Menghilangkan penat karena mata kuliah yang membuat kepalanya terbakar. Memesan minuman ala kadarnya, Layla duduk di bangku acak yang tidak ditempati orang. Belum sempat mulutnya menyentuh ujung sedotan, suara dering ponsel makin membuat kepalanya berputar.

Bu Maria, pemimpin redaksi majalah RED –tempatnya bekerja.

"Iya, Bu?" jawab Layla lunglai.

"Selesai kuliah ke sini, ya, La. Ada sesuatu yang mau saya bicarakan."

Itu saja. Layla menyedot minumannya yang sempat dikacangin. Ah ... Es jeruk selalu enak disaat kepalanya sedang dipenuhi beban hidup. Tak selang lama, kedua temannya muncul. Meila dan Sena.

"La ... Liburan nanti ikut kita ke Makassar yuk," ajak Meila sambil mengunyah permen karet.

"Lihat jadwal dulu, sih, Mei. Gue juga harus kerja. Mama-Papa sibuk tanya kapan pulang terus. Berasa Bang Toyib gue."

Meila tertawa renyah. Dia izin untuk memesan makanan. Tinggallah Layla dan Sena yang saling diam. Dari dulu Layla tidak terlalu mengenal Sena. Dia hanya tahu Sena dari Meila. Mereka juga tidak terlalu dekat. Meila sendiri punya dua orang teman juga yang sefakultas dengannya.

Sekembalinya Meila, gantian Layla yang pamit untuk bertemu Hera. Meila mengiakan saja. Layla buru-buru mencari Hera yang katanya sudah menunggu di gedung selatan, gedung yang berisi fakultas seni rupa dan desain. Dilihatnya Hera sedang bercakap dengan seorang lelaki. Baru ketika Layla mendekat, lelaki itu pergi.

"Di telepon Bu Maria juga nggak, La?" tanya Hera begitu mereka sampai di dalam mobil.

"Iya, nih. Apaan banget, deh. Bentar lagi UTS, masak iya mau dikasih kerjaan lagi?" gerutu Layla yang hanya dibalas kedikan bahu oleh Hera.

Gedung majalah RED tampak gagah seperti biasa. Layla dan Hera segera menuju lantai tiga untuk menemui Bu Maria di ruangannya. Sesekali menyapa orang-orang yang dikenal dari beberapa divisi. Untung saja lift tidak terlalu penuh siang itu. Jadi, hawa dingin AC masih bisa terasa sampai di kulitnya.

Ruangan Pemimpin Redaksi lebih sejuk dari lift yang hanya ada satu AC. Bu Maria sendiri sedang mengurus sesuatu di komputer. Mata berbingkai kacamata hitam itu baru mengalihkan pandangan setelah Layla berdehem.

"Kebetulan kalian datang bersama. Duduk dulu, saya carikan datanya. Kalian mau minum apa?"

"Nggak usah repot, Bu. Sirup leci aja nggak papa," kata Layla yang dihadiahi delikan Bu Maria.

"Layla dengan segala keusilannya dan Hera yang diam-diam menyumbang ide."

Layla dan Hera ber-high five ria. Dua bersahabat itu memang kadang membuat kepala Bu Maria pening. Pernah waktu itu dua bulan setelah mereka diterima menjadi fotografer dan reporter, Layla dan Hera membuat berita dengan tajuk 'Pelakor Bisa Jadi Teman Kita' yang membuat Bu Maria marah dan berakhir cuti dua hari karena pusing. Pernah juga mereka bermain pesawat kertas yang menyebabkan ruang rapat kotor oleh mainan itu.

"Kalian akan saya tugaskan untuk meliput di Kanada. Oleh sebab–"

Kalimat Bu Maria terpotong oleh jingkrak bahagia keduanya. Lagi-lagi wanita setengah baya itu memijit pangkal hidungnya. "Diam atau saya akan menyerahkan tugas ini pada Mas Pras."

Kedua orang gila itu duduk lagi, diam. Tidak mau meninggalkan kesempatan emas ini. Mereka mendengarkan apa saja yang dikatakan oleh Bu Maria. Semua kata yang diikuti imbuhan 'gratis' selalu membuat mata mereka membulat sempurna. Mari kita hitung apa saja yang gratis: tiket pesawat untuk pulang-pergi, hotel di Toronto, makan malam di salah satu restoran di Toronto, mobil untuk ke Quebec, hotel di Quebec, jalan-jalan mengelilingi Montreal, dan ... Layla tidak bisa menyebutkan lagi.

"Satu lagi, saya juga sudah menyewa seorang tour guide. Awas kalau kalian modusin tour guide-nya."

Sekali lagi mereka memekik riang karen pemandu wisatanya adalah seorang laki-laki. Setelah mengucapkan terima kasih, mereka pamit pulang. Di perjalanan pulang pun, mereka masih membahas perjalanan yang akan dihadapi beberapa minggu lagi.

Mobil Layla berhenti di garasi sebuah rumah besar bercat putih gading. Beberapa anak muda seusia mereka hilir mudik di ruangan besar yang digunakan sebagai tempat kumpul anak-anak kos. Iya, kos. Indekos. Layla dan Hera sengaja tinggal di kos-kosan karena jarak rumah mereka dengan kampus dan kantor RED sangat jauh. Tidak memungkinkan untuk bolak-balik.

Layla menutup pintu kamar yang berada di lantai dua. Meski tidak terlalu besar, Layla bersyukur bisa meletakkan beberapa peralatan pentingnya di sana. Tidak usah dibayangkan bagaimana perbedaan dengan kamarnya di rumah. Yang jelas, kedua kamar itu tidak berbeda sama sekali.

Ponsel Layla berdering nyaring. Gadis itu mendecak sebal karena belum sempat ganti baju. Dilihatnya nomor asing yang tertera di layar ponselnya. Bukan nomor Indonesia. Hei, bukannya mahal bertelepon dengan orang dari negara berbeda? Layla tidak peduli, toh bukan pulsanya. Dia mengangkat telepon itu.

"Halo, dengan Swara Layla Cantika yang membahana ulala kembarannya Ariana di sini."

Terdengar helaan nafas geli dari seberang lalu orang itu membalas, "Hai, La."

Layla membeku. Dia tidak sedang berhalusinasi, 'kan? Ini bukan efek euforia karena akan ke Kanada, 'kan? Jantung Layla seperti ingin melompat ke luar. Kenapa dia kembali setelah empat tahun lamanya?

"Apa kabar?"

Detik itu juga, ponsel Layla jatuh. Diikuti ponselnya yang menampilkan layar hitam.

---------------------------------------------------------

Akhirnya gue punya kuota juga ... Hah, hah, hah ...

I'd LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang