L I E -28-

11 3 0
                                    

Layla dan Hera berjalan tergesa-gesa dari Terminal 2. Mencari sosok laki-laki berhidung mancung bak dewa Romawi yang membawa nama mereka. Ah, laki-laki itu di sana. Layla langsung mengenalinya dari rambut jambul yang tidak jauh berbeda dengan di foto.

"Aldrich?" sapa Hera lebih dulu. Kalau sudah menyangkut cogan, Hera nggak pernah main-main.

"Layla and Hera?" tanya laki-laki berambut cinnamon yang sialnya tampan itu.

Kedua sahabat berbeda otak mengangguk. Hera masih memandang takjub pada Aldrich. Bagaimana hidung kecil nan tinggi laki-laki itu terpahat sempurna di wajah ovalnya.

"Langsung ke hotel atau jalan-jalan dulu?"

"Wah, bisa bahasa Indo."

"Ya, iyalah. Dia, kan, tour guide." Layla menarik kopernya dan berjalan mendekati Hera. "Hotel, please. Gila aja malem begini jalan-jalan."

Aldrich menggerakkan tangan agar Layla dan Hera mengikutinya. Mereka berjalan menuju mobil. Layla ber-'wow' saat melihat mobil yang dituju Aldrich. "Audi A4, eh? Yang apa?"

"FSI PI A/T," jawab Aldrich dengan senyum miring.

Hera segera mendekati Layla begitu Aldrich berjalan menuju jok kemudi. "Dari mana lo tahu?"

"Gue penggemar Audi kali, Her. Bahkan gue punya harapan buat bisa beli. Meskipun yang paling murah. Tapi ini ... wow. Audi A4 FSI PI A/T yang harganya Rp750.000.000,- di Indonesia."

Hera mumet dengan kalimat yang diucapkan Layla. Gadis itu segera berjalan menuju jok depan. Membiarkan Layla sendirian di jok belakang. Layla mendumel sendiri karena Hera seenaknya meninggalkan dirinya sendiri.

"Kamu tidak tidur?" tanya Aldrich ketika berhenti di lampu merah.

"Gue kena jet lag," ucap Layla kesal. Jangan tanya Hera ke mana. Gadis itu sudah terlelap dengan guling di pelukannya. Sedangkan Layla masih mengagumi interior mobil impiannya.

"Jadi, siapa yang bernama Layla?"

Layla menoleh pada Aldrich yang menatapnya dari mirror view. "Gue. Kebo satu ini yang Hera."

"Kebo?" Aldrich mengerutkan kening. Seolah baru menemukan sesuatu yang baru pada ucapan Layla.

"Iya, kebo. Eum ... Kerbau?"

Aldrich tertawa sampai giginya terlihat. Layla memandangi kesunyian Kanada. Ada beberapa toko yang masih buka, tapi kebanyakan klub malam. Layla sudah diberi tahu kalau mereka akan menginap di apartemen Aldrich. Demi penghematan uang karena Bu Maria tahu Layla dan Hera akan macam-macam jika ditinggal di hotel berdua.

Setengah jam kemudian, Audi A4 itu berhenti di basement sebuah apartemen. Layla yang belum terlelap langsung memukul kepala Hera agar gadis itu bangun. Hera keluar dengan wajah ngantuknya. Membiarkan Layla bersusah payah dengan dua koper dan dua tas. Aldrich tertawa pelan sambil membantu. Sebelah tangan Layla menarik baju Hera agar mengikutinya.

Hera dituntun menuju salah satu kamar. Apartemen itu punya tiga kamar. Setidaknya Layla senang karena tidak harus berbagi kamar dengan Hera. Dia menuju dapur untuk mencari cemilan. Sialnya tidak ada satu pun cemilan selain beberapa bir dan anggur.

"Al, nggak ada makanan?" tanya Layla yang menyambangi kamar Aldrich.

"Maaf, saya lupa kalau kalian tidak bisa minum bir. Saya akan ke luar sebentar."

"Ikut!"

Layla bergegas mencari sandal di kopernya lalu menyusul Aldrich yang menunggu di ambang pintu. Mereka berjalan beriringan di lorong apartemen yang sepi. Di lobi pun hanya ada dua orang yang tampak mengobrol di sofa tunggu. Perjalanan tak memakan waktu lama karena supermarket itu terletak di ujung jalan.

"Silakan pilih. Kamu maunya apa?" suara lembut Aldrich menyusup indera pendengaran Layla. Layla mencari beberapa cemilan yang tersampel BPOM. Sayangnya, tidak ada. Yang ada hanyalah makanan ringan berbahasa Perancis.

"Al, lo aja yang pilih. Gue nggak tahu makanan apa ini. Nggak ada simbol BPOM-nya."

Aldrich terkekeh kecil mendengar penuturan Layla. Dia mengambil beberapa makanan berbungkus besar. Menaruhnya pada troli. Sepuluh menit kemudian, Layla sudah nyemil salah satu makanan di perjalanan pulang. Sampai di apartemen, makanan itu habis. Aldrich menawarinya minuman dingin.

"Nggak beralkohol, 'kan?" tanya Layla penasaran.

"Ini aman, Layla. Saya tadi membelinya bersama makanan ini."

Layla nyengir mendengar penuturan Aldrich. Ternyata jus jeruk. Layla mengamati sekeliling selagi Aldrich menata makanan di kulkas. Apartemen Aldrich 'cowok' banget. Tidak ada dekorasi neko-neko. Televisi 16', meja kecil, dan sofa putih berbentuk U terletak di ruang depan yang berhadapan langsung dengan tiga kamar. Dapurnya sederhana. Rapi dan teratur. Dua kamar mandi dan balkon di pintu lain dekat dapur.

"Kenapa belum tidur, Layla?" tanya Aldrich. Tangannya sudah menggenggam kaleng bir dari kulkas.

"Di Indo baru jam dua siang. Dan gue jam-jam segitu biasanya masih di kampus atau ketemu Bu Maria yang Terhormat." Layla memutar bola matanya ketika menyebutkan nama pimpinan redaksi.

"Jangan sembarangan memutar mata di sini. Tidak sopan."

Layla tersenyum minta maaf. Dia meneguk jusnya sebelum bertanya, "Audi lo keren. Kapan-kapan gue mau beli juga."

"Oh, ya? Audi itu hasil kerja saya selama beberapa bulan ini. Beruntungnya Papa punya teman seorang penjual mobil. Saya ditawari harga murah. Saya ambil bulan kemarin."

"Tunggu," kata Layla sambil mengetukkan jari di dagu, "kalau lo bisa beli Audi A4, nggak mungkin kerja lo cuma tour guide, 'kan?"

"Iya, saya ada beberapa toko di Quebec dan Montreal. Dari sana saya mendapat uang untuk membeli mobil."

Percakapan itu terputus karena Layla merasa kantuk menyerangnya. Dia pamit pada Aldrich yang masih setia meminum birnya. Layla menjatuhkan diri ke kasur dan tertidur lelap sesudahnya.

-----------------------------------------------------------

Sorry, minggu kemarin gue (sengaja) nggak update. Lagi Susah Sinyal. Maklumlah, wi-fi colongan.

#gerakanmenolaklupa

I'd LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang