L I E -31-

13 4 0
                                    

Devan duduk tegak di sofa rumah Layla. Bulir keringat tampak muncul di sepanjang pelipisnya. Kata-kata yang sedari tadi dirangkainya di rumah hilang ketika melihat Haris duduk tenang sambil menyesap kopi.

"Berapa tahun, Devan?"

Devan tersentak. Kaget karena Haris tiba-tiba menanyakan sesuatu yang absurd. Seperti bayangannya di pecahan kaca.

"Apa, Om?"

"Berapa tahun kamu ninggalin Layla?"

Pertanyaan retoris yang Haris tahu sendiri jawabannya. Devan menelan ludah kasar. Keberaniannya seolah surut ketika melihat tatapan Haris. Antara jengah, marah, dan resah. Tenggorokan Devan tercekat. Seolah ada pengganjal yang membuatnya kesusahan mengeluarkan suara.

"Empat tahun, 'kan? Dan kenapa kamu kembali setelah Layla sudah bahagia? Untuk menghancurkan kebahagiannya lagi?"

"Bukan begitu, Om."

"Lalu bagaimana, Devan? Apa niat kamu mendekati Layla lagi?"

Kali ini, keringat dingin Devan benar-benar keluar. Tangannya basah oleh keringat. Ternyata Haris lebih menyeramkan dari empat tahun lalu. Juga garis-garis halus di dahinya yang mulai terlihat. Sepuluh detik mereka terdiam, tiba-tiba Haris menyemburkan tawa keras. Devan sampai butuh beberapa sekon untuk mencerna apa yang terjadi.

"Om sudah cocok jadi mertua galak belum, Dev? Ini baru pemanasan, tapi nanti kalau kamu beneran ninggalin Layla, Om nggak akan tertawa begini."

Devan menghembuskan nafas lega. Dikiranya Haris akan mengusirnya dari sana dan dia tidak akan bertemu Layla lagi. Mereka memulai pembicaraan tentang apa pun. Bagaimana keadaan Kanada, seperti apa remaja di sana, dan masih ada beberapa obrolan yang membuat waktu terasa cepat berlalu.

"Jadi gini, Om," ujar Devan di tengah pembicaraan santai itu, "saya mau mengutarakan niat buat milikin anak Om sehidup semati. Saya mau anak Om jadi wanita kedua setelah Mama yang akan saya buat bahagia sekarang, besok, sampai tahun-tahun ke depan. Hari ini saya ingin meminta restu dari Om. Besok saya akan datang lagi dengan keluarga saya."

Haris terdiam. Matanya menatap Devan serius. Mencari kegoyahan di mata pemuda itu. Namun, yang dilihat Haris hanya keteguhan. Ketulusan yang dipancarkan Devan ketika mengucapkan kalimat-kalimat tadi membuat hati Haris menghangat.

Bersamaan dengan itu, Layla turun dengan kaus santainya. Rambut hitam kusutnya dicepol tinggi. Beberapa anak rambut berjatuhan di sekitar dahinya. Dia tahu apa yang dikatakan Devan. Makanya dia segera mendekati ayahnya untuk mendengar jawaban secara langsung.

"It is a truth universally acknowledged, that a single man in possession of a good fortune, must be in want of a wife. Dari dulu Om yakin kamu akan mengatakan ini. Dan sekarang, saat kamu sudah sukses, kamu punya niat yang kuat untuk mendampingi Layla. Hanya saja, berat rasanya ketika harus berpisah dengan putri Om. Meski masih ada Kayla, keberadaan Layla tetap menjadi yang diharapkan di sini."

Devan menyunggingkan senyumnya pada Haris lalu berkata, "Saya paham, Om. Oleh karena itu, saya sudah membeli rumah kecil di sekitar kompleks sini. Biar Layla mudah menemui Om dan Tante."

Layla menoleh cepat kepada Devan. Antara ingin memercayai dan tidak. Bagaimana mungkin Devan bisa membeli rumah di sini padahal dia tidak pernah pulang sama sekali. Pertanyaan Layla menggantung begitu saja. Dilihatnya Devan sudah bersiap-siap untuk pergi. Haris mengantarkan Devan sampai pintu depan. Setelah itu, dia kembali lagi untuk menemui Layla.

"Bagaimana bahasa Inggris Papa? Cakep nggak?"

"Bagus. Tumben Papa mau pakai bahasa Inggris."

"Baru nyomot dari google kemarin."

***

Layla sibuk dengan laptopnya sejak sejam yang lalu. Tugas untuk mahasiswa akhir menyerangnya tiada henti. Belum lagi tagihan dari Bu Maria. Bisa cepat beruban kalau kelamaan seperti ini.

"Istirahat, La. Nggak baik lihat laptop terus menerus. Mending lihat gue aja." Devan muncul dengan segelas susu di tangannya. Layla mengambil susu itu tanpa bertanya untuk siapa.

"Kalau gue kelamaan lihatin lo, nggak baik juga buat kesehatan. Bisa copot jantung gue."

Setelah itu hening lama. Hanya terdengar suara jari Layla mengetik cepat di keyboard laptop. Sesekali berhenti untuk menyeruput minumannya.

"La," ucap Devan membuyarkan konsentrasi Layla, "aneh nggak, sih, kalau kita udah mau tunangan tapi masih pakai lo-gue?"

Baru sekali ini Layla memutar kepala pada Devan. Bersiap mendengarkan ide gilanya. Layla menyukai bagaimana Devan mengeluarkan ekspresi aneh ketika sedang berpikir keras.

"Gimana kalau kita bikin nama panggilan?"

"Boleh. Apa?"

"Ayah-Bunda?"

"Kita belum punya anak."

"Ay-beb?"

"Gue bukan ayam dan lo bukan bebek."

"Honey?"

"Bahkan gue lebih manis daripada madu."

"Terus apa, dong?"

"Terserah lo."

Sekarang Devan mengerti rasanya mendengar kata 'terserah' dari mulut Layla. Dia mengambil tempat di belakang Layla. Memijit pelan punggung Layla.

"Enak banget, Dev. Agak ke bawah sedikit. Iya, aduh. Mantap pijitan lo."

Senyum Devan terbit seiring rileksnya tubuh Layla. Dia menunduk, mencium cepat puncak kepala Layla. Dua sejoli itu tertawa pelan. Tak lama kemudian, suara langkah kaki memasuki ruang tamu. Hera, Kevan, Gitta, Aldo, dan Kayla berjalan santai bersama dari taman belakang.

"Wooo, yang mau tunangan mesra-mesraannya sekarang, ya. Bikin iri yang nggak punya pasangan aja," cibir Kayla bersamaan dengan tubuhnya terhempas di sofa.

"Makanya, buruan cari. Nggak malu sama kucing?"

Bantal sofa mendarat mulus di wajah Aldo. Kayla tertawa puas melihatnya. Kembali pandangannya tertumbuk pada Layla dan Devan. "Pokoknya, kalian berdua harus segera nikah setelah Kak Layla wisuda. Aku nggak sabar pengin punya keponakan."

Kini, gantian Kayla yang mendapat lemparan bantal dari kakaknya. Beberapa anak rambut jatuh di dahinya.

Sore itu, di rumah cicilan yang Devan beli sebulan lalu, tujuh orang remaja menghabiskan waktu sampai mentari tenggelam. Menceritakan hari esok yang hanya selangkah jauhnya.

(TAMAT)

-----------------------------------------------------------

*menitikan air mata*
Huwaaa ... Tamat, gaes. Gue bakal kangen sama buluknya Devan. Gue bakal kangen sama tengilnya Devan. Gue bakal kangen sama romantisnya Devan. Intinya, gue bakal kangen Devan. Anak gue yang satu ini emang ngangenin. Gue sebagai emaknya belum tega buat ngelepas dia.

Udahlah alay-alaynya. Cerita ketiga gue udah tamat. In syaa Allah gue akan apdet lagi kalau udah dapet jodoh, eh inspirasi maksudnya. Sebenarnya kalau inspirasi udah dapet, sih. Tinggal ngetiknya aja yang masih mager. Apa sekalian nungguin UN aja? Bagus, tuh. Ya udahlah, ya. Dipikir sambil gitaran aja.

Gue, calon istrinya Kim Rae Won, Gong Yoo, dan Lee Dong Wook *emang sukanya ahjussi rasa oppa* pamit undur diri. Sampai jumpa di cerita-cerita gue selanjutnya ... Bhak

P.S: jan lupa lihat ASIAN GAMES. Bela negara itu penting ;)

I'd LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang