L I E -16-

16 3 0
                                    

Layla dan Devan berjalan beriringan menuju lapangan futsal yang juga merangkap menjadi lapangan tenis. Di sana, sudah berkumpul beberapa anak yang berpakaian sama seperti Devan.

"Ini kameranya. Usahain capture pas gue lagi keren-kerennya. Jangan lecetin kamera gue. Awas lo."

Layla menerima kamera Devan dengan sangat hati-hati. Seolah kamera itu adalah benda rapuh yang harus dijaga dengan baik. "Sini sama Mama dulu, sayang. Udah lama nggak ketemu, ya, Nak." Layla mengusap lembut kamera yang dipegangnya.

Devan mencibir. "Kamera aja disayang-sayang. Giliran pacar sendiri aja enggak."

"Kalo iri bilang aja."

Memang dasarnya Layla saja yang tidak peka terhadap pacarnya. Devan pergi dengan decakan kesal. Namun, tak urung juga dia mengacak rambut Layla. Gadis itu mengambil posisi di sebelah barat lapangan. Mengutak-atik kamera Devan. Meyakinkan diri kalau yang dipencetnya nanti benar-benar tombol shutter.

Peluit panjang berbunyi. Bola di kaki Devan dioper ke teman yang berada di belakangnya. Dia sibuk. Begitu juga Layla yang mengambil gambar dari berbagai arah. Ketika Devan mencetak gol pun Layla tidak luput untuk menjepretnya. Lima belas menit pertandingan, Layla menghentikan kegiatannya. Sudah ada lebih dari dua puluh foto yang berhasil didapatnya.

Mata Layla mengamati pertandingan yang kian memanas. Dia menjepret lagi beberapa foto. Matanya tak sengaja melihat laki-laki dengan seragam yang sama seperti Devan. Layla berinisiatif untuk mendekat.

"Hai," sapa Layla.

Laki-laki itu tersenyum lalu mengangguk. Dia kembali mengamati pertandingan tadi.

"Layla." Tangan kanan Layla terulur. Lama tangan itu tidak disambut. "Ck, ayolah. Tinggal salaman terus ngasih tahu nama doang. Susahnya apa, sih?"

"Deeka."

Layla tersenyum lebar sampai matanya menyipit. Dia melepaskan tautan tangan dengan Deeka. "Dika? Kok aku nggak pernah lihat kamu?"

"Maaf, bukan Dika, tapi Deeka."

"Sama aja. 'E' dobel dalam bahasa Inggris juga dibaca 'i'," bantah Layla tanpa memandang Deeka.

Beberapa menit kemudian pertandingan usai. Devan mendekati Layla yang melambaikan tangannya semangat. Dia menerima minum dari gadis itu. Lalu pamit pada pelatihnya. Kegiatan selanjutnya adalah mengirim foto ke lomba.

-----

"Mi, jangan pergi, ya." Layla menarik lengan baju ibunya. Menahan agar wanita yang melahirkannya itu tidak pergi meninggalkannya berdua dengan sang adik.

"Nggak bisa. Mommi udah lama nggak liburan sama Papa kamu. Biarin Mommi bahagia bentar kek."

Mata sendu Layla menampakkan bahwa gadis itu ingin menangis. Oh, jangan berpikir Layla akan menangis. Kadang aktingnya lebih bagus dari artis FTV. Pernah dulu dia memasang wajah memelasnya agar mendapatkan barang yang diinginkannya. Dan, simsalabim ... dalam waktu dua hari, dia mendapatkan barang itu.

Sandra mengabaikan Layla dengan menarik kopernya keluar dari kamar. "Mi, nanti yang masakin Lala siapa? Tahu sendiri kalau Lala masuk dapur bisa jadi penyebab kebakaran nomor satu."

"Kayla ada. Dia jago masak daripada kamu. Makanya, sebagai cewek kamu harus belajar masak. Nggak malu sama cicak."

Bibir merah muda Layla manyun lebih dari sepuluh sentimeter. Tunggu, terlalu panjang. Dia merengek lagi pada Sandra agar wanita kesayangannya itu tidak jadi pergi. Namun, tekad Sandra sudah bulat. Dia menghempaskan tangan Layla dramatis. Untung mereka tidak ikut casting di sinetron Ind*siar. Bisa-bisa, anak dan ibu itu jadi terkenal karena akting yang tampak nyata.

Layla meraung-raung di depan pintu menatap kepergian mobil hitam milik papanya. Kalau boleh jujur, Layla menahan Sandra untuk tidak pergi supaya mobil itu tidak dibawa pergi juga. Jika begini jadinya, mau tak mau Layla harus naik sepeda motor.

"Jangan alay, deh, Kak. Kayak nggak pernah ditinggal Mama aja."

"Ditinggal Mommi mah hal biasa. Tapi mobilnya kenapa harus dibawa juga, sih, Kay?"

"Idih, mit-amit. Kok mau-maunya Kak Devan pacaran sama dedemit alay."

Layla menatap Kayla tajam. Seolah dia bisa mengeluarkan pedang dari kedua matanya. "Alay-alay gini aku kakakmu loh, Kay-"

"Kata siapa?" bantah Kayla telak, "emang aku nganggep?" Kayla pergi begitu saja. Layla megap-megap di tempat atas jawaban tak berperikemanusiaan dari adiknya. Layla termenung. Apa yang harus dilakukannya tanpa ada ibunya di rumah?

Layla menyambar ponselnya yang ditinggal di depan televisi. Mencari grup yang berisikan Hera dan Gitta. Biasanya hari Minggu seperti ini Gitta dapat jatah kerja sore. Makanya Layla berinisiatif mengajak kedua temannya ke rumah.

Cuma Layla yg Cecan (178)

SwaraLayla: Rumah gue kuy
SwaraLayla: Ditinggal Mommi
SwaraLayla: Laper banget dah

GittaPermata: Mager La

Hera: ^2

SwaraLayla: Nggak asik kalian
SwaraLayla: Ayolah
Read by 2

SwaraLayla: Nah, loh. Gue malah dikacangin
SwaraLayla: Ih, nyebelin kalian

Layla membanting ponselnya. Tidak di lantai, melainkan di sisi lain sofa. Layla masih menyayangi ponselnya meskipun kadang menyebalkan kalau tidak ada yang menguriminya chat. Sekarang Layla benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Kayla sendiri juga sedang tidak mau diganggu.

Ting ... Tong ...

Dengan kemalasan yang masih menggantung di badannya, Layla membukakan pintu. Mereka berdiri di sana. Iya, mereka. Dua teman laknat, pacar, dan mantan gebetannya berdiri di depan pintu rumahnya. Tersenyum tanpa dosa seakan tidak punya kesalahan besar pada Layla.

"Maaf, nggak menerima pengungsi," kata Layla. Sebelum gadis itu menutup pintu, Kayla turun dengan semangat.

"Akhirnya datang juga. Ayo kita party!"

Teman-teman Layla di pintu berhamburan masuk. Mengabaikan Layla yang sedang menampilkan wajah cengo-nya. Dia tersenyum kecil melihat perilaku teman-teman dan adiknya. Tunggu dulu. Berarti rumah akan kacau dong. Layla memijit pelipisnya kesal.

-----------------------------------------------------------

Tbc ;)

I'd LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang