L I E -4-

16 5 0
                                    

"Pengumuman, panggilan kepada Swara Layla Cantika kelas XI IPA 2 dan Alfino Yudhistira kelas XI IPS 2. Ditunggu Pak Eko Purnama di kantor. Terima kasih."

Layla menyembunyikan kepalanya. Ditatap oleh anak sekelas saat pelajaran Bahasa Indonesia. Tidak ada yang tahu kejadian kemarin. Hanya Devan. Itu berarti yang melaporkan adalah anak jurnalistik sendiri. Padahal untuk saat ini Layla belum mau berurusan dengan Fino.

"Udah sana. Siapa tahu Pak Eko mau ngasih komisi. Bagi-bagi ke gue jangan lupa," bisik Hera sambil cekikikan.

Layla menatap nyalang Hera lalu beranjak dari duduknya untuk pamit. Semoga saja Pak Eko tidak tahu kejadian kemarin. Semoga saja dia tidak diutus untuk mendampingi Fino mencari sponsor. Semoga ...

"Permisi, Pak." Layla berdiri di samping Pak Eko. Sudah ada Fino di sana. Tidak mau menatapnya. Satu-satunya pandangan Fino hanya tertuju pada vas bunga yang ada di meja Pak Eko.

Pak Eko memberi selebaran bertuliskan 'Seminar Menulis'. Layla membacanya sesaat. Diadakan di SMA Kencana, Sabtu besok. Setiap sekolah mewakilkan dua orang. Helaan nafas Layla tampak samar. Dia memandang Pak Eko meminta penjelasan.

"Apa? Bukankah sudah jelas? Tertulis di sana untuk mewakilkan dua orang. Ya, kalian yang saya utus." Pak Eko tersenyum lebar. Layla menahan nafas. Itu berarti Pak Eko tidak mengetahui kejadian kemarin. Dia bisa bernafas lega sekarang. Namun, dia masih sebal karena harus ke seminar bersama Fino.

"Kenapa harus saya, Pak? Tino ada. Dia sebagai wakil ketua seharusnya yang menemani KETUA. Bukan saya yang hanya seorang BENDAHARA," kata Layla sambil menekankan kata 'ketua' dan 'bendahara'.

Senyum lebar Pak Eko berubah menjadi senyum iblis. Layla meneguk ludah kasar. Begitu juga Fino yang sedari tadi mengalihkan perhatian dari Layla. Mereka saling melirik sesaat sebelum ringisan kecil keluar dari bibir mereka. Sepertinya Layla salah bicara.

"Kalian pikir saya tidak tahu apa yang kalian lakukan kemarin? Itu konsekuensi untuk kalian. Saya tidak mau bicara panjang lebar. Cepat kembali ke kelas."

Layla mengangguk lalu berbalik. Sebelum dia benar-benar pergi, Pak Eko memberitahu bahwa tidak ada transportasi ke SMA Kencana. Dan setiap sekolah hanya boleh membawa satu kendaraan. Hari Sabtu, berarti Layla membawa mobil. Dia menawarkan untuk memakai mobilnya saja dan disetujui oleh Fino.

---

"Boleh, ya, Mi, ya?" Layla menatap penuh harap ke arah ibunya, Sandra. "Hari ini Layla harus ke SMA Kencana. Ada seminar di sana. Biasanya juga hari Sabtu boleh pakai mobil. Boleh, ya, Mommi?"

Sandra berhenti di depan kulkas. Menatap anak sulungnya yang sekarang sudah kelas dua SMA. "Boleh. Asal anterin adik kamu dulu. Kasihan dia."

Layla mengambil sikap hormat lalu berjalan menuju kamar adiknya, Kayla. Terlihat Kayla sudah hampir memanggul tas. Layla memberi tahu kalau mereka akan berangkat bersama. Kayla hanya berdehem. Mengikuti langkah kakaknya menuju mobil berwarna hitam kepunyaan ayah mereka.

Layla dan Kayla berbeda sekolah. Layla di SMA Angkasa, sedangkan Kayla di SMA Kejora. Kakak-beradik itu hanya terpaut satu tahun. Kata orang-orang, Kayla lebih cantik daripada Layla. Dengan hidung kecil dan bibir tipis. Berbeda dengan Layla yang berpipi tembam. Jika dihitung-hitung sudah ada dua ratus orang lebih yang mengatakan kalau Kayla cantik.

"Hati-hati di jalan, ya, Dik. Kalo sempet nanti Kakak jemput," ujar Layla begitu mereka sampai di gerbang depan SMA Kejora.

Kayla menjawabnya dengan deheman. Gadis itu turun tanpa berkata apa-apa. Layla melajukan mobilnya menuju sekolah tercinta. Bukan, bukan sekolahnya yang ia cintai. Namun, kenangan yang ada di sekolah tersebut yang membuat Layla mencintai sekolahnya. Lahan parkir SMA Angkasa begitu luas. Sekolah mengizinkan siswanya memakai mobil. Asal memiliki SIM khusus mobil.

"Pagi, La." Layla terperanjat karena Devan berdiri di luar pintu mobilnya. Senyum laki-laki itu tidak terlepas dari paras tampannya.

"Jangan tatap gue seperti itu." Layla memang aneh. Disaat semua gadis ingin ditatap Devan dengan senyum manisnya, Layla malah membenci itu. Takutnya Layla khilaf lalu beralih menyukai Devan. Dia tidak bisa meninggalkan Kevan begitu saja. Tambatan hatinya masih beku sampai saat ini. Sama dengan permen mint yang selalu dimakannya setiap jam pelajaran.

"Kenapa? Gue ganteng, ya? Jelaslah. Kevan nggak ada apa-apanya dibandingkan gue. Secara gue anak kedua. Biasanya, kan, anak pertama itu anak hasil percobaan. Jadinya sedikit melenceng dari seharusnya," cerocos Devan panjang-lebar tanpa melihat Layla yang hampir menangis.

Anak pertama hasil percobaan? Sedikit melenceng dari seharusnya? Layla menarik nafas berat. Dia berpikir positif kalau Devan tidak tahu dia mempunyai adik. Dan adiknya lebih cantik dari Layla. Jika Devan tahu, apakah laki-laki itu akan merasa menyesal?

"Kok lo diem aja, La? Sadar kalo gue ganteng? Makasih, tapi elo nggak perlu sampai diem. Emang tingkat kegantengan gue melebihi Andrew Garfield. Maka–"

"Stop it, Devan," potong Layla, "jauh-jaub dari gue atau elo nanggung akibatnya."

"Tapi, La– Adududuh. Sakit, woy." Layla memelintir tangan Devan yang berusaha menghentikannya. Tidak sia-sia latihan taekwondo-nya selama ini kalau akhirnya berguna juga. Yah, walaupun gunanya buat memelintir tangan Devan.

Layla melepaskan tangan Devan kasar. "Pergi atau elo mau lagi?"

"Diem-diem elo agresif juga, La. Tapi gue nggak akan pergi. Meskipun elo gebukin tubuh gue juga gue nggak akan lepas dari elo."

Devan sialan, batinnya.

——————————————————

Selamat bertemu dengan Devan minggu depan

Tbc

I'd LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang