L I E -29-

9 4 0
                                    

Pagi ini, pukul tujuh, Hera sudah siap dengan dress selutut floral warna hijau muda. Rambutnya digerai dan dihias dengan bandana putih. Menambah kesan feminim di tubuhnya. Aldrich tidak beda jauh. Ripped skinny jeans, kaus putih, dan jaket denim. Rambutnya tidak jauh beda dari kemarin. Sedangkan Layla, eh ... dia masih terkantuk-kantuk di sofa. Bergelung dengan bantal dan remote televisi yang masih ada dalam dekapannya.

Hera melempar bantal sofa tepat ke wajah Layla. Membangunkan dengan cara paling halus versi Hera.

"Lo nggak bangun sekarang, gue laporin ke Bu Maria baru tahu rasa lo!"

Layla terpaksa membuka matanya. Rambutnya berantakan seperti rambut singa padahal tadi sudah ditata rapi oleh Hera. Rompi hitam dan crop t-shirt birunya berantakan. Hera harus turun tangan lagi untuk mendandani sahabat-kacung-cinta-matinya ini.

Di mobil pun, Layla tidak melewatkan kesempatan untuk tidur. Mengingat jam tidurnya sedikit dan jadwalnya padat. Tujuan pertama mereka adalah CN Tower. Simbol Kanada. Aldrich telah memesan satu meja di restoran sekitar CN Tower untuk sarapan. Karena naik CN Tower memerlukan banyak tenaga.

Mereka sampai di pelataran parkir satu setengah jam kemudian. CN Tower buka pukul sembilan. Waktu setengah jam itu mereka gunakan sebaik mungkin untuk isi perut. Mendengar nama makanan, mata Layla terbuka lebar. Dia menyangklong tas berisi tripod dan beberapa lensa sedangkan kameranya digantung di leher.

"Kalian mau makan apa?" Adalah pertanyaan pertama yang terlontar dari mulut Aldrich begitu masing-masing dari mereka memegang buku menu. Untung saja buku menunya dilengkapi gambar dan bahasa Inggris. Tidak perlu repot bagi Layla dan Hera menanyakan makanan lagi.

Sekian lama memilih, pilihan Layla jatuh pada, "Samain kamu aja, Al."

Sumpah. Dia bener-bener pusing kalau disuruh memilih makanan yang banyak begini. Mana enak-enak lagi. Tugasnya hanya sebatas makan, tanpa perlu memilih.

Setelah makan, mereka segera menuju CN Tower. Antrean belum begitu panjang. Tiket sudah melingkar di tangan masing-masing. Tiga menit kemudian, mereka sampai di ujung tangga melingkar yang akan mengantarkan mereka ke SkyPod. Aldrich menjelaskan apa-apa saja yang diketahuinya tentang CN Tower. Hera mengeluarkan alat rekam dari tasnya. Dia juga menanyakan beberapa hal tentang CN Tower. Layla sendiri sibuk memotret bagian dalam menara.

"And then, welcome to the CN Tower. Menara tertinggi ketiga di dunia. Bagian yang kalian injak ini adalah SkyPod. Lihat ke bawah, kalian akan melihat pemandangan jalan raya."

Layla dan Hera menunduk. Ngeri merayap di sekujur pembuluh darah mereka. Gila saja. Bagaimana kalau sampai pecah. Bisa mati dari ketinggian lebih dari tiga ribu meter. 

"Jangan lihat bawah. Jangan lihat bawah," rapal Layla berkali-kali. Dia tidak takut ketinggian. Hanya saja ngeri ketika melihat langsung bagaimana padatnya Kota Toronto di bawah kakinya.

Layla mendirikan tripod lalu memasang lensa kameranya. Beberapa kali menjepret keramaian Kota Toronto. Beralih pada Hera dan Aldrich yang sedang mengamati pemandangan, beberapa orang yang sedang berfoto dengan tongsis, dan indahnya Danau Ontario. Yah, setidaknya harus pamer foto kalau dia dari luar negeri.

Mereka di atas CN Tower hanya beberapa menit. Aldrich mengajak Layla dan Hera menuju destinasi selanjutnya, Danau Ontario. Setelah naik bus selama lima belas menit, mereka sampai di Danau Ontario. Danau terbesar kelima di Amerika Utara.

Aldrich mengamati dua gadis yang sedang sibuk dengan kegiatan maaing-masing. Bagaimana dia harus menjalankan tugasnya dengan baik kalau salah satu dari mereka telah mencuri perhatiannya?

-----

"Gila, gue cantik banget, La. Yang ini mau gue upload di Instagram aja nanti." Hera memasukkan sepotong pancake ke mulutnya. Mereka sedang makan siang di salah satu restoran di sekitar CN Tower. Lalu lalang orang yang lewat menjadi pemandangan indah bagi mereka. CN Tower berdiri gagah di depan sana.

"Nanti malam kita akan berangkat ke Montreal. Kita akan check-in hotel pukul dua kalau perjalanan kita lancar. Lebih baik kalian tidak membawa banyak barang karena lusa kita akan ke Quebec," kata Aldrich panjang lebar.

"La, Quebec, La. Tempatnya Gong Yoo syuting film Goblin."

"Siapa Gong Yoo?" Aldrich bertanya dengan mata membulat lucu. Andai tangan Layla tidak kotor, bisa dipastikan pipi Aldrich memerah saat itu juga.

"Lo nggak bakal tahu," jawab Hera, "kamar mandi sebelah mana?"

Aldrich menunjuk arah kamar mandi. Hera bergegas pergi sebelum keluar di sana dan saat itu juga. Layla masih bergumul dengan makanannya. Menikmati enaknya masakan Kanada meski ia tidak tahu apa namanya.

"Setelah ini kita ke mana?"

"Kamu maunya ke mana?" Aldrich mengalihkan pandangan dari makanan ke Layla. Mengamati lekuk wajah gadis itu.

"Lah, kok tanya gue, sih? Kan lo yang ditunjuk Bu Maria buat jadi tour guide." Layla mengambil sehelas tisu lalu melemparnya. Merasa sebal dengan jawaban yang dilontarkan Aldrich.

"Iya, kata Bu Maria saya hanya perlu mengantarkan kalian ke CN dan Danau Ontario. Selebihnya kalian boleh jalan-jalan sampai puas di sini."

"Wah, boljug, tuh. Gue mau beliin oleh-oleh buat adik gue. Di sini Wi-fi lancar, 'kan?"

"Always."

Layla mengeluarkan ponselnya dan mencari tempat yang pas untuk berbelanja. Beberapa saat kemudian, Aldrich pamit ke kamar mandi. Layla hanya menggumam. Kini, dia sendiri di sana. Hera juga belum kembali, entah ke mana gadis itu pergi.

Kursi di depan Layla tertarik. Seseorang duduk di sana. Layla tidak akan mendongakkan kepala andai orang di depannya tidak memanggil. Kedua matanya membulat bersamaan. Di depannya ada laki-laki-sialan-tampan-yang-dulu-pernah-di-hidupnya. Siapa lagi kalau bukan Satriya Devanka Yudha.

"Hai, La. Apa kabar?"

Tolong tarik Layla dari sana sekarang juga.

-----------------------------------------------------------

Minggu kemarin gue apdet tapi kok notifnya nggak masuk, ya?

I'd LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang