L I E -5-

17 4 0
                                    

"Di sini kita akan belajar tentang-"

Suara MC itu tidak sepenuhnya didengarkan oleh Fino. Dia sibuk mendengus sejak dia duduk di sana. Seminar bukanlah hal yang disukainya. Berbanding terbalik dengan Layla yang menatap serius pada pembicara. Walupun dia tidak suka Fino, seminar ini harus diikutinya.

"La, selesai jam berapa?" tanya Fino yang menatap Layla dari samping. Laki-laki itu tersentak sesaat. Layla cantik dan Fino baru menyadari itu.

"Lo bisa diem nggak, sih? Acaranya juga baru mulai."

Fino menarik pemikirannya yang mengatakan bahwa Layla cantik. Sifat macan gadis itu benar-benar membuatnya gondok. Di jurnalistik, hanya Layla yang berani menentangnya. Sepertinya Layla gadis yang berani menentang atasan kalau tidak sesuai dengan keinginannya.

Fino kembali menyandarkan tubuhnya. Memejamkan mata sejenak. Tidak. Tidak mungkin Fino hanya memejamkan mata sejenak. Tahu-tahu Layla sudah membangunkannya. Apakah Fino tertidur selama itu? Hanya dua jam dan itu cukup bagi seorang Alfino Yudhistira memulihkan kebosanannya.

"Heran gue. Selain hobi nyalak elo tukang tidur juga," kata Layla setelah mereka keluar dari aula.

"Terima kasih. Pujian lo nggak berarti buat gue."

Layla tiba-tiba berhenti berjalan. Fino mengernyit melihat tingkah laku gadis itu. "Kenapa?"

"Kita balik ke sekolah?"

"Ya enggaklah. Males banget gue harus ke sana lagi. Mending pulanglah."

"Ya udah, elo pulang sendiri aja."

Fino membelalakkan mata. "Enak aja. Dikira gembel gue nanti. Ganteng-ganteng kok jalan kaki."

"I don't care. I really really don't care. That's not my bussiness. Just keep away from my car." Layla mendekati pintu mobilnya. Bersiap untuk membuka, tetapi tertahan oleh tangan besar Fino.

"But you bring me with your car. Lo harusnya tanggung jawab. Seenaknya aja ninggalin gue. Cewek nggak punya hati banget lo."

"Lo cuma punya waktu lima detik buat masuk mobil gue," kata Layla sambil masuk mobil. Fino tentu saja kelabakan. Secepat yang dia bisa, dia memasuki mobil Layla. Fino merutuk dalam hati. Dia tidak akan memohon seperti ini kalau dia memakai mobil sendiri. Dia menyesal kenapa kemarin tidak mengusulkan menggunakan mobilnya.

"Thanks," ucap Fino setelah sampai di depan rumahnya.

Layla bergumam lalu menyuruh Fino segera turun. Tanpa menghiraukan gerutuan Fino. Yang penting Layla sudah mengantarkan laki-laki itu dengan selamat. Dia segera melajukan mobilnya menuju Kafe Pesona. Ini hari Sabtu dan ini adalah jadwalnya mengunjungi kafe itu.

Suara lonceng terdengar begitu Layla membuka pintu. Tidak banyak yang datang siang itu. Hanya sepasang muda-mudi dan sekelompok anak yang duduk di pojok. Layla langsung berjalan menuju kasir. Belum sempat dia berucap, penjaga kasir itu sudah tahu pesanannya.

"Ini, La. Cappucino with chocolate ice cream. Ditambah taburan meses warna-warni. Dan ini waffle with blueberry syrup dengan tambahan madu yang nggak boleh dicampur," ucap Gitta yang bertugas sebagai penjaga kasir.

"Yah, kok udah dibuatin. Padahal gue mau pesan yang lain." Layla menampilkan ekspresi cemberut. Namun, tak urung juga dia tersenyum saat melihat waffle-nya.

"Itu pesanan lo setiap hari Sabtu. Salahin elo sendiri yang nggak pernah ganti pesanan."

Gitta menarik kursi di depan Layla. Menatap temannya memakan pesanan yang tidak pernah berubah sejak dia menginjakkan kaki di Pesona. Layla makan dengan lahap. Tidak ada lima menit dia sudah menghabiskan semua pesanannya. Kini, dia memegang ponsel yang menyala karena sebuah pesan. Dari adiknya yang meminta agar dibelikan seblak di depan SMP mereka bersekolah dulu.

"Yee, kok gue dikacangin. Mending gue tadi nggak usah ke sini," gerutu Gitta. Dia memanyunkan bibirnya.

"Nggak ada juga yang nyuruh elo ke sini? Emang gue minta?"

"Kok elo nyolot, sih? Untung gue nggak lagi PMS hari ini. Kalo iya, bisa habis muka lo karena gue cakar."

"Berani nantang sabuk biru taekwondo?"

Gitta membungkam mulutnya. Dia tidak bisa berkutik ataupun membantah. Andai saja dia sepintar pengacara, dia akan memutar balik perkataan Layla. Sayangnya dia tidak bisa melakukannya.

"Ck, percaya kalo situ udah sabuk biru. Dan minggu depan ada kenaikan sabuk." Gitta akhirnya mengalah. Dia sedang kehabisan ide untuk menentang Layla.

Tangan Layla menepuk puncak kepala Gitta. "Good girl. Gue mau pulang. Kayla minta dibeliin seblak. Nih, uangnya. Sisanya buat lo aja."

Gitta melihat uang biru di atas meja. Ini yang tidak disukainya dari Layla. Layla terlalu baik, walaupun hobinya nyablak perkataan orang. Gitta mengambil uang itu. Memandang Layla yang memasuki mobil.

Mobil Layla berhenti tepat di depan penjual seblak langganannya. Seperti yang diminta adiknya, Layla membeli seblak level tiga dengan isi ceker ayam dan sosis. Tidak perlu menunggu lama, pesanan Layla sudah datang. Dia menyerahkan selembar uang bergambar Sultan Mahmud Badarudin II dan mengucapkan terima kasih. Belum sempat Layla membuka pintu, seorang laki-laki memasuki mobilnya tanpa permisi.

"Siapa lo? Seenaknya aja naik mobil gue!" bentak Layla pada laki-laki itu.

"Nanti aja gue jelasinnya. Mending elo selamatin gue dulu dari lima preman di belakang."

Layla menoleh. Benar saja. Lima orang berbadan kekar berjalan cepat ke arahnya. Bisa saja Layla menghajar mereka, tapi tidak dengan batang kayu yang mengayun di tangan preman-preman itu. Layla buru-buru memasuki mobil lalu menjalankannya. Persetan dengan batas kecepatan yang ia tetapkan. Yang paling penting, dia bisa selamat dari orang-orang tadi.

Layla menghentikan mobilnya di depan pertokoan. Sengaja memilih tempat yang ramai agar nanti jika laki-laki di sebelahnya macam-macam, ia bisa berteriak lantang. Ngomong-ngomong, jurus taekwondo-nya juga bisa berguna nanti.

"Nama gue Revaldo Adhit Pradana. Panggil gue 'ganteng' aja. Jangan panggil 'sayang' atau 'cinta'. Nanti banyak yang marah," kata laki-laki itu -Aldo.

Jika boleh, Layla ingin berterik dan menendang wajah Aldo yang sok ganteng dan kegeeran itu dengan tendangan ap chagi.

------------------

Unch, sayang Layla

I'd LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang