L I E -11-

16 4 0
                                    

"Setelah ini kelas berapa?" Devan bertanya sambil membenarkan letak kamera DSLR-nya. Siang itu terik sekali. Namun, Devan harus bersyukur karena dia tidak perlu menambah brightness di kameranya.

Layla mengecek kertas yang dia bawa. "X IPS 5. Kelas terakhir. Seharusnya Rio udah ke sini sama anak-anak," kata Layla, "nah, itu dia."

Dari kejauhan, Rio tampak bercakap-cakap dengan seseorang. Melemparkan candaan ringan ala laki-laki. Senyumnya mengembang begitu melihat Layla melihat ke arahnya. Layla memutar bola matanya.

"Ini anak-anak kelas X IPS 5. Adek-adek, silakan berjejer di bangku, ya. Yang cowok di depan, jongkok. Cewek yang tinggi di belakang. Ayo, laksanakan sekarang." Perintah-perintah Rio dilaksanakan adik kelasnya dengan baik.

Layla dan Devan berdiri berdampingan. Mata mereka sama-sama terfokus pada kamera. Menentukan angle yang baik untuk mengambil gambar. Tak jarang adu mulur terdengar di antara keduanya. Meski begitu, Devan menikmati semua. Saat dia dekat dengan Layla. Saat jantungnya mulai berdegup ketika bersentuhan dengan Layla.

"Udah bagus gambarnya?" Sampai seorang perusak suasana datang.

"Udah, tinggal jepret aja."

Devan menyuruh anak-anak kelas X IPS 5 untuk diam. Dalam hitungan ketiga, suara khas kamera memenuhi keadaan hening itu. Lalu mereka berganti gaya atas perintah Layla. Sekali lagi bunyi tutter terdengar.

"Adek-adek, makasih, ya. Kakak pastiin foto kalian nggak nge-blur di kalender nanti. Jangan lupa siapin uang buat beli kalender. Ah, juga beli spidol. Siapa tahu kalian mau melingkari wajah cogan buat dijadiin target PDKT," ucap Layla yang membuat adik-adik kelasnya tertawa.

Devan tersenyum. Layla sebenarnya ramah. Namun, kenapa saat bersamanya justru gadis itu sering marah-marah? Apa karena Devan terlalu tampan? Atau karena Devan tidak memenuhi syarat sebagai pacar Layla? Tidak mungkin.

"La, makan, yuk."

Devan menggeram rendah. Main nyolong start aja, batinnya.

"A-"

"Layla makan sama gue."

Rio berdecak. Menatap Devan malas. "Kenapa, sih, lo punya pacar kayak dia, La? Mending gue, ketua OSIS, yang pasti terkenal. Dia cuma ketua jurnalistik. Ekskul yang pasang-surut karena sekarang jarang ada yang masuk. Lo-"

"Cukup, Rio!" bentak Layla. Tangannya mengepal menahan amarah. Ekskul yang dijunjungnya tinggi tidak boleh dihina oleh ketua OSIS seperti dia.

"Lo pikir karena elo ketua OSIS, lo bisa ngomong semau lo? Jadi, omongan manis lo itu cuma pencitraan, iya? Gue nyesel elo yang jadi ketua OSIS. Pergi lo! Dasar mantan tengik!"

Devan terdiam. Kata-kata 'mantan' terngiang-ngiang di telinganya. Pantas saja Layla sering menolaknya. Mantan gadis itu saja setampan Rio. Jika tidak ada gen hidung mancung dari ayahnya, Devan tidak mungkin setampan ini.

"Ayo, Dev! Jangan urusin ketua OSIS sok bener ini," kata Layla lalu menarik tangan Devan. Meninggalkan Rio yang penuh perasaan bersalah. Yah, setidaknya itu cukup bagi Devan untuk tidak mengkhawatiran Layla kalau-kalau dia balikan dengan mantannya.

"Pesenin soto sama es teh, cepet!"

Devan meneguk ludah susah payah. Keganasan Layla meningkat dua kali lipat dibanding biasanya. Devan memesankannya ke ibu kantin. Sekalian beli es cokelat. Siapa tahu Layla bisa luluh lagi. Sepertu waktu itu.

"Kok lo beliin cokelat, sih?" Layla bersungut sebal.

"Kalo nggak mau, ya u-"

Layla menyambar minuman itu. Meneguknya sampai setengah. Devan terperangah. Layla terlalu kuat. Pikirannya sampai ke mana-mana. Membayangkan kalau mereka menikah lalu mereka-

Plak!

"Dipanggil Bu Kantin dari tadi tuh."

Devan mengusap pipinya. Setidaknya nada suara Layla tidak sejahat tadi. Devan beranjak mengambil pesanannya. Mata Layla berbinar melihat makanan yang dibawa Devan. Tak sampai sepuluh menit, makanan Layla sudah tandas licin.

"Balik sekarang, La?" tanya Devan setelah memastikan Layla selesai makan.

"Kita ke ruang jurnalistik dulu. Pindah foto-fotonya ke komputer. Biar nanti dipilihin Reska."

Devan tersenyum. Dia mulai berpikir kalau Layla lebih cocok menjadi ketua jurnalistik daripada dia. Layla begitu bijak. Jarang egois –kecuali pada Devan– ke orang lain. Kadang Devan berpikir, kenapa Layla dulu tidak menyalonkn diri menjadi ketua jurnalistik saja?

Ruang jurnalistik sepi. Karena jam belum menunjukkan waktu istirahat. Layla mengirim pesan pada Reska. Menyuruhnya untuk segera ke ruang jurnalistik selepas bel istirahat kedua berbunyi. Daripada menganggur nggak jelas, Layla menyalin foto dari kamera Devan –yang direbutnya secada paksa– ke komputer.

"Wuih, berdua aja, nih. Gue setannya dong." Tino muncul dengan EOS 70D yang menggantung di lehernya. Layla mengernyitkan dahi. EOS 70D tidaklah ringan. Sekitar dua kilogram dan Tino menggantungnya di leher. Layla berdecak sendiri.

"Siniin kamera lo. Gue pindah fotonya dulu." Sama halnya pada Devan, Layla meminta paksa kamera Tino. Alhasil, laki-laki tinggi kurus itu menyerahkannya.

"Maksa banget, sih. Lo cocok jadi ketua, La, daripada yang di pojok itu. Apalagi dibandingin sama ketua sebelumnya."

"Nah, akhirnya ada yang sepemikiran sama gue," kata Devan, "gue tadi juga mikirnya gitu waktu Layla berencana buat ke sini. Gue sebagai ketua malah kayak nggak ngapa-ngapain."

Bodo amat, batin Layla. Dia tetap terfokus pada komputer. Beberapa menit kemudian, bel istirahat berbunyi. Reska datang ke ruang jurnalistik dengan terengah-engah. Peluh sebesar bulir padi meluncur bebas di wajahnya.

"Nggak usah terburu-buru, Res. Nggak bakal dimarahin ketua juga kok. Nanti kalo elo sakit lagi, siapa yang repot? Gue." Layla memberikan segelas air untuk Reska.

Setelah Reska sedikit mendingan, Layla membawa gadis itu ke komputer. Memberi arahan sedikit sebelum Reska melakukan tugasnya. Dua laki-laki yang kameranya direbut paksa oleh Layla akhirnya mendapatkan kembali barang tersebut.

"By the way, liburan nanti kalian ikut kemah nggak?" tanya Reska. Matanya masih terpaku pada komputer, tapi telinganya siap mendengar jawaban teman-temannya.

"Kemah apaan?" Devan bingung. Sepulang sekolah nanti dia akan meminta Kevan untuk menjelaskan acara-acara tahunan di SMA itu.

"Kemah yang diadain OSIS. Yang diwajibkan kelas sebelas. Tapi kelas sepuluh sama dua belas kadang ada yang ikut. Kadang juga yang kelas sebelas malah ada yang nggak ikut." Reska menjelaskan sambil sesekali membenarkan letak kaca matanya.

"Gue jelas ikutlah. Mumpung acaranya minggu pertama. Minggu kedua gue mau ke rumah saudara di luar kota. Kemungkinan nggak bisa." Tino mengutak-atik kameranya. Menangkap gambar apa saja yang terlihat menarik. "Acaranya seru. Kayak kemah biasa. Tapi kemah yang ini buat seneng-seneng doang."

Devan terdiam. Sebuah ide melintas di kepalanya.

———————

Devan: Now I know I have met an angel in person. Layla look perfect tonight

Layla: *mukul lengan Devan sambil ketawa kenceng*

Dasar pasangan kasmaran. Next part y x g

Btw, Layla jijik sama cover barunya. Pink cabe, katanya.

I'd LieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang