Suatu pagi yang kala itu sedang mendung, sepasang sejoli dan seorang anak kecil laki-laki tengah duduk santai di halaman belakang rumah mereka ditemani secangkir teh masing-masing. Pembicaraan ringan mereka terus mengalir sebelum sebuah surat datang di berikan oleh asisten rumah tangga di rumah tersebut.
Sang istri, Metta membuka amplop besar berwarna cokelat tersebut karena si pengirim memberikan untuknya. Di lihatnya beberapa lembar foto yang di cetak sebesar pigura berukuran sedang dan secarik kertas yang sudah agak lusuh di dalamnya.
Mata Metta berkaca-kaca begitu melihat wajah familiar suaminya yang sedang merangkul pundak seorang wanita untuk masuk ke dalam rumah besar tersebut. Rudiyanto memperlihatkan senyuman bahagia di dalam foto itu walaupun foto tersebut hasil dari foto candid. Dan tangan prianya yang satu lagi sedang menggenggam jemari seorang anak perempuan berkepang dua tengah membawa sebuah boneka beruang. Kira-kira sebesar dan seumuran dengan anak mereka.
"Maksud ini semua apa, Rud? Kamu ngapain aja di belakang saya?" Tangis Metta pecah dan tangannya melempar semua foto itu di atas meja tepat di hadapan Rudiyanto. Bio kecil masih terdiam di tempat duduknya tak tahu-menahu soal pertengkaran kedua orang tuanya.
Laki-laki paruh baya tersebut memungut foto-foto dirinya di atas meja dengan rahang mengeras. Pernikahan keduanya memang tidak didasarkan oleh cinta, walaupun hingga saat ini hubungan komunikasi Rudiyanto dan sang istri terbilang baik-baik saja, tetapi ada kalanya pria tersebut tidak memperhatikan Metta dan Bio kecil seperti layaknya seorang ayah terhadap istri dan anak.
"Dia istri kedua saya." Jawabnya masih berusaha bersikap tenang tanpa melihat ke arah Metta. "Dan itu anak saya dengan dia."
Tangan Metta meremat kertas lusuh yang di genggamnya kuat-kuat. "Siapa dia? Sahabatmu, hah? Apa dengan saya kamu masih belum cukup puas?" Sengit Metta masih menangis.
"Ingat ya, saya menikahi kamu karena perjodohan itu." Jawab Rudiyanto tak kalah sengitnya. "Saya mencintai dia sejak dulu saya kecil."
"Kenapa kamu tidak menolak saat di nikahkan dengan saya? Kamu punya Bio sekarang! Kenapa tidak kamu ceraikan sebelum kita punya anak? Kamu nggak mikir apa?! Di kemanakan anakmu ini, Rudy?!"
"DIAM!!" Rudiyanto bangkit berdiri menghadap ke istrinya dengan sorot mata marah. "Kamu terima atau nggak terima, itu urusanmu. Kalau kamu nggak terima, silahkan tanda tangani surat cerai." Setelah itu ia pergi meninggalkan dua orang tersebut di bangku taman. Di bawah rintik-rintik hujan yang siap mengguyur bumi.
Bio kecil hanya memperhatikan kedua orang tuanya sedang bertengkar sambil mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Papa dan Mamanya dan menyimpannya dalam-dalam otaknya. Metta memeluk Bio erat, menggendongnya masuk ke dalam rumah, menuju kamar pribadi Metta sendiri.
Sejak Bio masih kecil, kedua orang tuanya memang tidak pernah satu kamar. Selalu Papanya masuk ke dalam kamar pribadinya sendiri yang setiap hari di kuncinya rapat-rapat tidak memperbolehkan siapapun itu masuk, termasuk anak biologisnya sendiri.
Mama Bio mendudukannya di atas ranjang sambil menangis tersedu di dalam selimutnya. Dengan inisiatif sendiri, Bio menuangkan air putih ke dalam gelas kemudian memberikannya kepada Metta.
"Ma, sabar ya, Ma. Bio ada disini." Hanya itu yang Bio ucapkan sambil memberikan gelas tersebut.
"Nak, simpan ini ya." Beliau memberikan rematan kertas kecil itu kepada Bio. "Kalau kamu udah besar, cari dia ya."
Ia membuka kertas itu perlahan dan membaca dalam hati tulisan tersebut. "Sahabat Papa, Niken, dua orang anak, perempuan dan laki-laki, orang Bandung."
Sahabat Papa, Niken, dua orang anak, perempuan dan laki-laki, orang Bandung.
Sahabat Papa, Niken, dua orang anak, perempuan dan laki-laki, orang Bandung.
Sahabat Papa, Niken, dua orang anak, perempuan dan laki-laki, orang Bandung.
Bio terbangun dari tidurnya dengan nafas tersenggal-senggal. Meraih gelasnya di nakas dan menenggak sampai habis minumnya. Tangan Bio mengusap wajahnya gusar. Masalahnya terbawa sampai ke mimpi. Gue harus ngapain sekarang?
×××
Selama belasan jam berlalu Bio menyembunyikan dirinya di balik tembok kamarnya. Tepat pukul sebelas siang, cowok itu memutuskan untuk menghampiri Mamanya yang terbaring sakit sejak lama.
Dilihatnya beliau sedang memejamkan matanya seperti sedang tertidur pulas. "Ada apa, Nak?" Bio hendak ingin mengurungkan niatnya untuk memberitahu Mamanya soal Kylie namun tiba-tiba Metta mengetahui kehadiran Bio walaupun masih berdiri di depan pintu.
"Ma, udah bangun?" Tanyanya berbasa-basi. Ia berjalan mendekat ke ranjang dan duduk di tepian.
Metta tersenyum tenang menampakkan garis halus di sekitar matanya. "Udah dari tadi. Kamu tumben ke kamar Mama? Mau cerita apa?"
"Mama tau dari mana Bio mau cerita?"
"Kamu nggak keluar kamar sejak kemaren sore dan telat makan. Terus kamu tiba-tiba ke kamar Mama."
Pernyataan itu mau tak mau membuat Bio harus mengatakan yang sebenarnya saat itu juga. Tangan Bio merogoh kantung celana jinsnya dalam-dalam mengeluarkan sebuah kertas rematan kecil. "Mama inget kertas yang di kasih ke Bio waktu kecil?" Laki-laki tersebut menyerahkan kertas itu kepada Metta. "Bio... udah tau siapa orangnya, Ma." Mamanya masih terdiam memilih untuk mendengarkan perkataan anaknya kali ini. "Mama inget ada cewek yang ngejar-ngejar Bio di sekolahan? Yang waktu itu Bio cerita malem-malem ke Mama."
Beliau manggut-manggut. "Kenapa?"
Bio menundukkan kepalanya dalam-dalam sebelum menjawab. "Dia anak Papa, Ma." Jawab Bio lirih. "Kylie Lee." Sambungnya.
Otak Metta seakan diputar balik ke kejadian dimana Bio menceritakan seorang cewek yang dengan gigih mengejar anaknya tanpa kenal gengsi. Dan saat itu ia juga di tunjukkan seperti apa wajah Kylie itu. Ternyata putri tersebut adalah putri tirinya yang selama ini di cari-cari mereka berdua.
Mata Mamanya berkaca-kaca sambil mengelus tangan Bio lembut. "Bio, kamu suka sama dia?" Bio membungkam. "Kamu suka sama Kylie, Nak?" Ulang beliau di susul anggukan kecilnya. Setelahnya, Metta menangis dan juga Bio ikut menangis. "Maafin Mama, Bio. Gara-gara Mama kamu jadi kaya gini. Maafin Papa juga ya, Nak. Maaf." Katanya saat memeluk anaknya rapat. Keduanya kemudian menangis bersamaan.
"Nggak, Ma. Mama nggak salah. Ini semua salah Papa! Semuanya salah Papa! Andai Papa nggak mau nikah sama Mama, mungkin Bio akan ada di rahim wanita lain, bukan Mama. Seharusnya Papa nikah sama Niken aja. Harusnya Kylie nanti sama aku sebagai pasangan bukan sebagai adik kakak tiri, Ma. BUKAN!" Geramnya di sela tangisan.
"Maafin Papamu, Nak. Maaf." Mereka berdua pun menangis bersamaan. Bio menilai dirinya sejak dari kecil memang orang yang sangat menyedihkan. Bahkan ia pun gagal dalam percintaan, bukan hanya dalam keluarga kecilnya.
×××
Tbc.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mine.
Romance[COMPLETE] "Kenapa sih harus cewek duluan yang ngejar cowok?" -Kylie Lee, cewek hyperactive yang lagi jatuh cinta. "Gue nggak minta lo ngejar gue." -Bio Niagarawan. Kylie yang sedang jatuh cinta dengan Bio, teman seangkatannya di SMA, dengan begitu...