24-Indifferent

3K 106 0
                                    

Kylie duduk di kursi dekat jendela kamarnya sambil menopang dagunya di atas sebelah lututnya. Sinar matahari siang menyinari Jakarta yang pasti sangat menyengat kulit di luar sana. Selama beberapa hari ini dirinya berusaha menyibukan diri dengan aktivitas di kampus, mengerjakan tugasnya yang di kejar deadline, membersihkan dan merapikan seluruh isi apartemennya. Setelah semua itu selesai, ia menjadi nganggur bertepatan dengan hari ini Kylie tidak ada jadwal kelas. Sedihnya kembali menyerang benteng pertahanan yang ia buat beberapa hari ini.

Sarah dan Stefy sedang di luar kota sejak kemarin, tak tahu apa yang sedang mereka lakukan. Oh ya, Sarah sudah keluar dari rumah sakit beberapa hari yang lalu. Dan permasalahannya dengan gadis itu, juga sudah selesai dengan akhir Sarah mengaku jika memang menyukai Dave sejak pertama kali kenal. Ia berkata akan mundur dan mungkin merelakan lelaki tersebut kepada sahabatnya dengan ikhlas. Dengan janji bahwa Kylie tak akan membuat Dave sedih atau terlihat putus asa karenanya. Kemudian semuanya kembali seperti semula.

Sedangkan Dave, cowok itu sedang ada di Bandung sejak empat hari yang lalu dan baru pulang siang ini. Tunggu. Siang ini? Kylie meraih ponselnya di atas nakas lalu menghubunginya.

"Dave," panggilnya setelah tersambung. "Kamu dimana?... Oh?..." Ia berlari keluar kamar menuju pintu dan membukanya segera. Cowok berpostur lebih tinggi dari Kylie berdiri di hadapannya sambil terus membiarkan telepon mereka tersambung. "Aku disini, Kay." Ia tersenyum tampan padanya.

"Lo ngapain sih lama-lama di Bandung?" Tanya Kylie setelah mematikan pesawat komunikasi keduanya dan mempersilahkan Dave masuk. "Mau minum apa?" Tanyanya lagi sambil membuka lemari pendinginnya.

"Kangen ya?" Goda Dave mendekat ke arah Kylie. Ia menengok ke dalam kulkasnya. "Terserah deh minum apa. Haus nih."

"Geer lo." Kylie menyerahkan segelas sirup kepada Dave dan duduk disampingnya. "Gue gabut banget nggak ada lo kemaren-kemaren."

Dave melebarkan tangannya tiba-tiba. "Sini peluk. Aku kangen kamu."

Tanpa pikir panjang lagi, Kylie menghambur dengan cepat ke pelukan Dave. Iseng menempelkan telinganya ke dadanya. Jantung laki-laki itu berdegub cukup cepat dan kencang. Seperti deguban jantungnya dulu saat dirinya senang karena Bio. "Aku lagi sedih, Dave." Ujar Kylie setelah itu. Tanpa sepengetahuannya, wajah cowok itu berubah. Masih diam di posisi mereka, mendengarkan kelanjutan ceritanya. "Kemarin aku udah klarifikasi sama keluargaku soal Bio." Dave memang sudah pernah di ceritakan kelengkapannya oleh Kylie.

"Terus?"

Cewek berambut sebahu itu menggeleng lemah. "Gak pa-pa. Hasilnya sama aja gue nggak bisa bareng Bio. Hehehe," ia melepas pelukannya kemudian berjalan menuju balkon apartemennya, berdiri di sandaran dahan pintunya. Sengaja dirinya tidak berdiri di tepian balkon karena terkena sinar matahari siang. Kylie alergi panas. Hehehe.

Dave mengikutinya berdiri bersampingan dengan Kylie. "Aku selalu nunggu kamu buat ngelupain dia, Kay. Sampe kapanpun kamu butuh waktu, aku akan tunggu." Katanya bersungguh-sungguh menatap cewek itu intens. Sedangkan perempuan pendek tersebut masih enggan menoleh kepada Dave. "Aku berharap kamu bisa ngerelain dia, Kay. Saranku sebagai sahabat kamu." Lanjut Dave mengacak rambut Kylie dan mengulas senyum disana. Ia tahu itu adalah senyum palsu. "Aku nggak mau sahabatku sedih-sedih terus. Aku ikut sedih nanti." Kata Dave lagi masih tersenyum.

Kylie mengamati wajah cowok itu yang berdiri di hadapannya. Ia balik menatap Kylie intens. Cewek itu merasa tahu apa yang dipikirkan olehnya. Hingga Kylie tersenyum kecil. "Aku tau kamu sakit."

"Kalo aku sakit gak mungkin kan aku kesini?" Dalihnya menambahkan nada bercanda disana.

Kylie memutar bola matanya. "Sakit hati." Telapaknya di tempelkan di dada bidang Dave yang kemudian tangannya di genggam. "Dave, maaf. Aku masih belum bisa lupain Bio." Lanjutnya.

Mine.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang