Chapter 21. Kebolehan Sang Athena

265 31 0
                                    

Bacalah dengan posisi yang nyaman dan jangan membaca terlalu dekat, ingat 30 cm adalah jarak yang paling minimal untuk aman mata.

Sebelumnya

"Nanti saja kita berbagi cerita, sekarang nyawa Zia adalah prioritas kita. Dimana Zia berada?" Ucap Azka sambil terus berjalan belewati lorong bahkan tidak sedikitpun peduli dengan jasad yabg sudah terbujur kaku di sisi kanan lorong gelap itu.

"Dia berada di tengah gedung lantai 8. Selesaikkan dengan cepat karena kami penasaran." Ucap Alda menjelaskan posisi Zia.

------

Mata Azka menajam ketika menemukan ruangan yang tadinya sudah dikatakan Alda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mata Azka menajam ketika menemukan ruangan yang tadinya sudah dikatakan Alda. Amarah yang tadinya sudah berusaha di tekan untuk hilang kembali mengusik. Bisikan penuh dendam merau dalam jiwa Azka.

"Dengarkan aku, Nadia aku ingin kau berjaga diluar perhatikan sekitar karena dia pasti tidak akan berani sendiri seperti ini jika tidak dijamin keselamatannya maka dari itu kita harus menemukan siapa yang menjamin keselamatannya." Ucap Azka dan dibalas anggukan oleh Nadia.

Kini tatapan Azka tertuju pada Raka, "Aku tidak bisa menjamin kehidupan ayah mu itu, dan jika kau ingin dia selamat maka hadapi dia. Aku tidak akan menggangu apa pun karena dia bukan prioritasku saat ini."

"Baiklah." Ucap Raka.

■■■■

Malam itu kesunyian sungguh terasa aneh dan tidak nyaman. Durlan terusik dengan suasana malam yang tidak selaras dengan perasaan bahagia di hatinya.

"Dewi kecil ku, peri ku yang sempurna. Kau sungguh cantik, kulit putih mu, rambut hitam mu. Semuanya sama dengan yang dimilikinya." Ucap Durlan penuh penekanan akan rasa rindu yang mendalam.

Tapi tidak lama suara deringan telpon terdengar, sebuah nama yang tidak sekalipun dibayangkannya muncul hingga membuat tangannya gemetar bahkan hanya untuk menggeser layar telponnya.

"...."

"Aku akan menyerahkan semuanya tapi tidak dengan anak ini."

"..."

"Kau pikir kau siapa! Setelah semua ini terjadi kau merasa aku gagal dan kau lah yang benar. Sungguh Gila."

"Selamat tinggal."

Dan pembicaraan telpon itu berakhir. Durlan menggertakkan giginya dan melemparkan telponnya dengan marah.

"Dia menghinaku karena aku bodoh. Dia pikur aku masih peduli dengannya. Sungguh badebah gila." Ucapnya tidak karuan sambil berusaha merogoh chip yang berada dikantung bajunya.

✔️A Priori : With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang