11

20.8K 3.4K 866
                                    

(VOTE sebelum membaca, tq)




































Gue sedang berjalan-jalan disebuah mall. Hanya sendirian. Karena kedua sahabat gue sedang pergi berkencan dengan pacarnya.

Bukannya tidak ingin punya pacar. Tapi untuk saat ini, gue belum memiliki niat untuk memiliki pacar. Ditambah kesibukan gue dikampus. Saat gue mulai kuliah semester baru, gue akan menjadi sangat sibuk.

"Rina!"

Sebuah suara yang gue benci memanggil nama gue. Gue segera bergegas dan mempercepat langkah gue. Demi apapun gue tidak ingin menemui orang yang memanggil nama gue itu.

Namun langkah gue terhenti karena tangan gue ditahan. Sekarang orang yang memanggil nama gue itu berdiri dihadapan gue dengan senyum bodohnya itu. Rasanya gue ingin melemparkan kotoran ke wajahnya itu.

Hanya saja gue tidak mau mengotori tangan gue.

"Aku gak nyangka bakal ketemu kamu disini," ujar Cindy dengan antusias.

Apa perempuan itu bodoh atau terlalu bodoh? Kenapa dia harus menyapa gue? Gue orang yang selalu mengerjainya dimanapun dan kapanpun. Bahkan didepan ayah sekalipun.

"Kenapa lu ad-"

Ucapan gue terpotong tatkala melihat seorang cowok menghampiri Cindy dan berdiri dibelakangnya. Cowok itu menatap tajam kearah gue seolah-olah sedang bersiaga takut gue macam-macam pada Cindy.

Rupanya si bodoh ini sedangkan kencan dengan si pintar tapi bodoh, Donghan. Sangat tidak disangka gue bertemu dengan mereka berdua. Sangat bukan kehormatan untuk bisa bertemu dengan mereka.

Melihat wajah mereka saja, membuat gue kehilangan mood gue.

"Jadi kerjaan lu cuma pacaran makanya nilai lu gak bisa berkembang?" Sindir gue.

Gue sama sekali tidak memperdulikan tatapan mematikan dari Donghan. Gue sama sekali tidak takut dengan cowok itu.

"Inilah kenapa gue memilih Cindy dibanding lu. Karena dia pasti akan mementingkan gue dibanding nilai ipk-nya." Kini giliran Donghan yang menyindir gue.

"Lu pikir cinta bisa menjamin masa depan yang bagus?" Tanya gue dengan tajam ke Donghan.

Alasannya sangat konyol. Benar-benar konyol. Betapa menyesalnya gue pernah memacari orang seperti Donghan. Pintar tapi bodoh.

Cinta tidak bisa menjamin masa depan yang bagus. Tidak ada gunanya membuang masalah pelajaran demi cinta yang tidak jelas itu.

"Eh udah dong jangan pada berantem. Gak enak diliatin orang banyak." Kata Cindy dengan gaya sok manisnya itu.

"Kenapa kita gak makan siang bareng aja?" Tanya Cindy.

Gue memutar mata gue dengan malas. "Jangan bercanda. Gue gak mau makan sama orang menjijikan seperti itu."

Cindy langsung tertunduk. Sepertinya, dia sakit hati dengan apa yang ucapan. Toh, gue sama sekali tidak memperdulikannya.

"Rina! Jaga ucapan lu!" Bentak Donghan.

Donghan menarik Cindy agar mendekatnya dan sekarang Donghan berdiri dihadapan gue. Gue mendongak untuk menatap Donghan dengan berani. Perbedaan tinggi badan gue dan Donghan cukup jauh. Donghan tinggi dan gue pendek.

Tapi Cindy jauh lebih pendek dari gue. Bahkan Cindy memiliki tumpukan lemak dibagian pinggangnya. Tentu saja. Cindy memiliki berat 52 kg dengan tinggi 158 cm. Sedangkan gue memiliki berat 47 kg dengan tinggi 161 cm. Gue tau karena gue pernah melihat catatan medis Cindy sewaktu gue menyelinap ke kamarnya.

Hush, BangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang