Prolog

13.6K 680 37
                                    

Naruto terdiam di balik pintu yang tertutup rapat. Gadis berambut pirang itu seolah bagaikan es yang membeku dibandingkan kehangatan di ruangan sana. Tangan yang sebelumnya tergantung di udara perlahan menurun hingga benar-benar terjatuh di sisi tubuhnya. Ia memejamkan mata dan mencoba menulikan indra pendengarannya.

Naruto menarik napas panjang, tapi mengapa masih terasa sesak? Lagi, geraman rendah penuh kepuasan terdengar di telinganya. Lagi, Naruto merasakan hatinya yang pecah semakin berantakkan. Tubuh si gadis gemetar penuh nyeri saat ia tak sanggup lagi melangkah. Bahkan meski hanya berbalik. Seperti dirinya bisa saja, batin gadis itu merendahkan dirinya sendiri.

Kenapa, Sasuke?

Kenapa harus Sakura? Naruto membatin nyeri.

Mata gadis periang itu memang tak berkabut, tapi tak juga bercahaya. Penuh dengan kekosongan tanpa tujuan hidup. Hanya ada tampilan  membeku dari sinar matanya yang kosong. Bersama dengan kebingungan yang meratapi hatinya, mata gadis itu tak lagi fokus. Sama seperti matanya, wajah cantik yang biasa diukiri senyum rubah nan menggemaskan kini pucat dan menggelap. Kelinglungan terlihat jelas dari raut wajahnya yang menahan sesak.

Naruto mengencangkan kepalan tangannya. Ingin sekali... ingin sekali ia berbalik dan berlari. Tapi, mengapa sangat sulit? Kakinya lemas tak terkendali, tapi Naruto ingin pergi. Dia ingin melarikan diri dan hanya menganggap ini mimpi. Tapi... lagi-lagi kata 'tapi' terucap dalam keheningan.

Meski dibarengi dengan banyak pertanyaan serta emosi dan keinginan, raut wajah Naruto tetap tak berubah. Dia hanya membeku karena terlalu bingung dengan apa yang harus ia lakukan.

Sesak bukan lagi main-main menggerogoti paru-parunya. Nyeri tak lagi  terasa dari kukunya yang menembus telapak tangan. Pada akhirnya, demi meredam emosi, Naruto mengepalkan tangan hingga berakhir dengan luka di telapak tangannya. Tak seberapa, memang, dibandingkan yang ada dalam hati.  Lebih sakit lagi karena dirinya harus berada di sini. Di tempat dimana dia pikir adalah rumahnya.

Kali ini desahan sang sahabat wanita yang terdengar. Nyaring penuh kepuasan. Di sana; di bawah tubuh kekasih hatinya terbaring sang sahabat. Di atas kasurnya; kasur kami. Tapi, masih bisakah disebut kami?

Tes...tes...tess....

Tak terasa, meski bola matanya redup dan hampa masih dapat memperlihatkan nyerinya. Air mata mulai menetes mengalir di pipinya. Hangat, tapi membakar hingga ke ujung ulu hatinya.

Naruto... gadis itu kembali mengambil napasnya, tapi hampir meloloskan isakan yang Naruto tahu betul akan menarik perhatian sepasang insan di sana.

Rubah dalam tubuhnya menghela napas dengan decihan hina di ujung bibirnya. Uchiha memang tak dapat dipercaya. Kesembilan ekornya melambai-lambai tepat saat Naruto hampir jatuh ke jurang kegelapan.

"Kuu...," bisik gadis itu pelan, memanggil si rubah yang terdiam, tetapi mengalirkan energi ke kakinya. Rubah itu menopangnya. Dia tak sendiri. Pemikiran itu agak membuatnya merasa dibutuhkan.

Naruto berkedip, melepaskan sejumput air mata yang terjatuh di udara. "Hiraishin," bibir si gadis terbuka tanpa suara dan kilatan orange terlihat bersamaan dengan hilangnya Naruto di rumah cintanya. Ya. Cintanya.

Di depan pintu sebuah rumah, kilatan orange muncul menampilkan Naruto yang menatap pintu rumah keluarganya. De ja vu. Pintu... Naruto mengusap wajahnya pelan. Ia menghela napas di atas raut wajahnya yang linglung. Masih dalam kondisi tersebut, Naruto membuka pintu rumah yang telah ia tempati selama empat tahun setelah berakhirnya perang dunia shinobi.

Melangkah masuk dan menutup pintu, Naruto melepaskan dirinya. Ia menyandarkan diri dan... merosot hingga terduduk di lantai. Mata birunya yang hampa langsung melihat foto besar kedua orang tuanya yang memang sengaja ia pasang di sana. Di tempat dimana dirinya bisa melihat langsung sang ayah dan ibunya begitu memasuki rumah.

Di sana, foto itu... sang ayah dengan sweater tersenyum bahagia bersama dengan ibunya yang tengah hamil tujuh bulan dirinya. Senyum mereka sangat tulus, bahagia, dan penuh kehangatan. Mata mereka....

Ayah... Ibu....

Napas Naruto tercekat dengan genangan air di matanya. Mata yang semula hampa dan kosong menemukan kembali sinarnya. Tapi, sinar itu seharusnya tak ada di sana. Sinar kekecawan dan kesakitan yang jelas memenuhi setiap sudut nadinya.

Ayah... Ibu....

Bibir Naruto bergetar. "Ayah... Ibu...." Naruto menangis. Ia tak kuasa lagi menahan tangisnya. Menahan dirinya yang... yang sakit.

"Ayah... hiks... ayah...."

"Ibu... ibu... hiks... aku" Naruto tercekat dalam kekacauan. "Ayah....."

Naruto hancur. Ingatan dan kilasan kenangan bersama kekasihnya semakin memberontak di kepalanya. Kesepian ini... rasa aman ini... bahagia ini... Sasuke....

"Ayahh....." tangis Naruto semakin kencang.

Ia tak bertanya kenapa Sasuke setega itu. Dia tak menanyakan kenapa Sakura harus diantara mereka. Ia tak bertanya kenapa dirinya dicampakkan. Dia tak menanyakan kenapa dirinya dikhianati.

Tidak ada sepatah kata pun selain kata ayah dan ibu yang keluar dari mulutnya. Lagi, ia memanggil mereka, mencoba meraih secercah kehangatan dari rumah kosong ini. Rumah yang menjadi saksi kisah orang tuanya dan kisah dirinya.

Kurama duduk dengan ekor melambai. Melihat Naruto menangis, lambaian kesembilan itu semakin liar. Si rubah kemudian memejamkan matanya, mengalirkan seluruh kehangatan dirinya pada aliran chakra si gadis. Kurama mencoba. Ia ingin Naruto tahu. Jhincuriikinya tak sendirian.

Setengah jam kemudian, Naruto memelankan isaknya dan perlahan berhenti menangis. Tubuhnya sangat lelah dengan nyeri di setiap incinya. Tak cukup dengan itu, sesak seolah membunuhnya berada tepat di dada.

Naruto menyeret dirinya sendiri yang masih dalam keadaan linglung. Memaksakan kedua kakinya untuk melepaskan sepatu ninja, ia melangkah ke kamarnya sendiri. Yang gadis pirang itu tahu, dia hanya ingin tidur untuk melupakannya. Tak peduli sebanyak apa dirinya menabrak barang saat ingin ke kamar, Naruto tetap berjalan. Naruto hampir terjatuh jika saja dirinya tak menopangkan tangan ke tembok.

Naruto perlahan tersenyum. Ia mengasihani dirinya sendiri. Gadis yang biasanya periang itu tersenyum, tapi senyumnya membawa keputusasaan. Sungguh mengenaskan  melihat kondisinya yang jauh dari kata baik.

Tanpa bercermin pun, Naruto tahu bagaimana rupanya saat ini. Mata membengkak dengan rambut yang mencuat ke sana-sini. Hidung gadis itu memerah akibat tangis. Ditambah bibirnya yang terluka akibat menahan isakan atau jerit sakitnya tadi.

Naruto menghela napas. Ia menepuk-nepuk pipinya sendiri. Bersikap seolah dirinya sedang dihukum.

Dalam kelemahannya, ia berbisik, "Aku ingin pergi...."

Sesuai dengan perkataan Naruto, mata Kurama dalam tubuhnya agak membulat. Ia langsung menyaksikan bagaimana cahaya menelan tubuh jhincuriiki-nya. Dan sebelum kesadaran si rubah menggelap, Kurama mengutuk.

"Sial, apa yang terjadi!?"

My Kunoichi [Re-Write]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang