Chapter 4

8.2K 622 70
                                    


"Bagaimana dengan kekasih?" sela Emmett tiba-tiba. Ada seulas senyum di bibirnya yang menandakan pertanyaan ini bentuk kejailannya.

Naruto reflek ingin menjawab pertanyaan Emmett dengan lontaran candaan. Ia punya, tapi... tiba-tiba ingatan mengenai gambar Sasuke dan Sakura di kamar saat itu mampu membungkamnya.

Segera rasa sakit itu menghantam hatinya. Naruto menelan salivanya yang terasa tersangkut. Pada akhirnya gadis pirang itu tersenyum lebar dan menggeleng. "Aku tidak punya! Tapi, banyak yang ngantri," katanya dengan kedipan percaya diri.

"Cih, narsis," decak Emmett yang dibalas lemparan bantal sofa oleh si pirang.

Akhirnya malam itu Naruto habiskan dengan makan malam dan pembicaraan hangat bersama orang-orang di rumah ini

Rasanya sudah lama sekali ia  berkumpul dengan banyak orang. Di Konoha, Naruto belakangan ini tak ikut berkumpul dengan teman-temannya. Merasakan suasana hangat ini, Naruto jadi merindukan Konoha.

Ah... kampung halamannya memang yang terbaik.

Urusan Kurama, Naruto masih belum bisa menghubunginya. Telepati antara dirinya dan rubah itu terputus dan Naruto juga tidak dapat memasuki alam bawah sadarnya.

Naruto sungguh lupa kalau Edward dapat membaca pikirannya. Jelaslah gadis itu terlalu tenggelam dalam kenyamanan bersama keluarga barunya. Ia bersenang-senang sehingga lupa kalau apapun pikirannya dapat Edward dengar.

Sepanjang malam sebelum dini hari itu, Edward habiskan dalam diam sedangkan keluarganya terlibat dalam pembicaraan kejailan masa kecil Naruto dulu. Ia meneliti senyum dan tawa Naruto yang benar-benar tulus meski saat dalam ceritanya nama sang kekasih dan sahabat yang menusuknya sering terucap.

Edward heran dan tak mengerti. Mengapa Naruto tampak baik-baik saja dan tertawa walau dapat Edward rasakan betapa sakitnya itu.

Rasa-rasanya Edward cukup beruntung dia hanya diberitahukan mengenai peng-imprint-nan Bella dan Jacob. Tapi, Naruto? Gadis itu melihat langsung kekasihnya dan sang sahabat bercinta. Betapa sakitnya itu....

Lewat jam satu malam, Naruto telah tidur dengan nyenyak di atas sofa. Selimut tebal telah terpasang di tubuhnya oleh Esme. Selepas memakan cemilan, Naruto tertidur dengan perut yang puas.

Untuk pertama kalinya rumah keluarga Cullen itu penuh kehangatan yang lengkap. Biasanya rumah ini seringkali sepi. Terutama kesuraman yang ada sejak Edward putus dengan Bella. Tawa yang biasanya terdengar sesekali, malam tadi terdengar begitu sering. Itu menandakan betapa hangatnya pembincangan Naruto dan Cullen.

Wajar saja, yang diceritakan Naruto ialah kejailan masa kecilnya. Kejailan yang sungguh mengocok perut mereka dan tak dapat dibayangkan dapat dilakukan oleh anak kecil. Cullens dan Hale sangat menikmatinya. Tawa yang ringan dan sikap tulus si pirang dapat membuat mereka merasa dekat.

Itu hebat.

Esme tersenyum lembut dan mengusap kening Naruto. "Dia benar-benar gadis yang baik," ujar Esme selepas menyelimuti gadis itu. "Sudah lama sekali rumah kita tak sehangat ini."

"Kau benar, Sayang," ujar Carlisle merangkul istrinya. Ia tersenyum dan memandang anak-anaknya. "Naruto seperti membawa energi positif dalam sikapnya. Kau juga merasakannya, Jas?"

Jasper tersenyum tipis dan meluruskan tangannya yang bersidekap. "Dia sangat ceria dan selalu dapat mencairkan suasana. Sebelum aku mengangkatnya, kita sudah tertawa terlebih dahulu."

"Aku juga dapat teman baru yang tidak membosankan!" seru Alice dengan antusias. Sama seperti Naruto, sepertinya gadis berambut pendek ini tak kenal lelah.

"Juga dapat teman berdebat," sela Emmett yang tersenyum jail.

Rose terkekeh dan mengetuk kepala kekasihnya. "Astaga, kalian terus saja berdebat tak berguna," katanya geli mengingat perdebatan lucu Naruto dan kekasihnya.

"Hahaha, benar, benar!" Alice langsung berseru lalu tertawa terbahak meski suaranya ia kecilkan. "Rasanya seperti pertengkaran anak-anak!"

Emmett berdecak, tapi kemudian pria itu ikut terkekeh juga. "Dia tak mau kalah," katanya, "tapi, Naruto benar-benar gadis yang hebat, ya?" Pertanyaanya membuat seluruh anggota keluarga langsung tersenyum lembut.

"Heum," gumam Rose. "Rasanya dia punya pesona unik yang spesial."

"Nai'f dan sangat polos," lanjut Esme dengan mengingat sosok Naruto yang selalu tertawa. "Padahal dia pasti kesepian ditinggal orang tuanya sedari lahir."

"Mungkin karena itu dia tumbuh menjadi anak yang jail," terus Carlisle dengan helaan napas.

"Ada yang aneh dengan cerita Naruto." Tiba-tiba Edward berkata aneh. Ia yang semula bersandar menegakkan dirinya.

"Apa maksudmu?" tanya Rose yang menatap tajam Edward. "Apa kita salah mengira tentangnya?"

Edward menggeleng. "Bukan itu."

"Lalu apa maksudmu?" tanya Emmett yang langsung melingkarkan tangan di bahu sang kekasih.

"Dia selalu menceritakan kejailannya sebelum menjadi kunoichi. Dia tak pernah menceritakan kejailan bersama temannya dan hanya ia lakukan sendiri. Tidakkah itu aneh jika anak semenyenangkan Naruto tak memiliki kenangan bersama temannya sebelum ia berumur sebelas tahun?

"Lalu cerita tentang marahnya penduduk desa itu... mengapa mereka semarah itu pada Naruto yang hanya anak kecil? Mungkin wajar jika hanya satu atau dua orang yang mengejarnya, tapi aku dapat melihat kalau yang mengejar gadis kecil berumur tujuh tahun itu lebih dari lima orang."

"Apa? Lebih dari lima orang!?"

"Itu aneh. Mengapa hanya karena kejailan seorang anak kecil harus disikapi dengan serius? Dari ceritanya menurutku itu kejailan yang masih dianggap wajar," ujar Alice tak percaya. Ia mengernyit dan tampak tak mengerti mengapa kemarahan penduduk desa sebesar itu pada gadis berumur tujuh tahun?

"Naruto masih sangat kecil saat itu," kata Rose yang juga tak mengerti tabiat penduduk desa.

"Aku baru menyadari kalau di setiap ceritanya hanya sering menyebutkan Sasuke dan pemimpin desa yang sudah Naruto anggap kakek sendiri," lanjut Emmett yang secara tak sadar menegakkan tubuhnya dan melepaskan rangkulannya.

"Apa maksudmu Naruto diasingkan oleh penduduk desanya?" tanya Carlisle yang menatap sadar pada Edward.

Edward membuka mulutnya dengan gamang. "Aku pikir begitu."

"Naruto menjaili penduduk desa karena dia ingin diperhatikan. Dia bukan anak yang buruk, tapi Naruto kesepian," ujar Esme yang baru menyadari apa yang terjadi. Ucapan Esme rasanya menjadi pengingat bagi anggota keluarga lainnya. Mereka seperti tersadar dan merasakan perasaan rumit pada Naruto.

"Astaga, sekecil itu sudah merasakan hal yang seperti ini?!" tanya Esme tak percaya. Ia yang tak dapat memiliki anak sendiri merasakan perasaan tak percaya pada masa kecil Naruto. Esme tak mengerti mengapa seorang anak diperlakukan seperti itu? Diasingkan dan dijauhi? Naruto tak tahu apa-apa!

"Tapi, mengapa Naruto diasingkan?" tanya pelan Rose seraya melirik pada wajah tidur Naruto.

"Apapun alasannya, itu tak berperikemanusiaan mengasingkan seorang anak kecil!" seru Esme pelan.

"Kamu benar, Esme." Rose menutup matanya membayangkan keceriaan Naruto dengan perasaan rumit.

"Naruto pasti memiliki masa kecil yang sangat sulit." Alice mendesah. "Bagaimana dia bisa melewatinya dan bahkan tetap ceria?"

Keheningan menjawab Alice. Tak ada yang dapat menjawab pertanyaan vampir terceria mereka. Karena, mereka sendiri tak mengetahui jawabannya.

Jika mereka yang berada di posisi Naruto: diasingkan oleh seluruh penduduk desa, seperti apa mereka?

Mungkin kalau mereka yang telah dewasa mengalaminya, rasanya tak akan terlalu mengerikan. Tapi, diumur sekecil itu? Sendirian dan tak mengerti apa-apa, tapi menerima pengasingan.

Pasti... mengerikan.

"Naruto bahkan merindukan desanya," ujar Edward pelan.

"Kalau aku jadi dirinya, aku pasti akan membenci desa itu," ujar Rose yang berdecih sinis.

"Gadis yang kuat," puji Jasper menatap Naruto yang terbaring nyenyak.

My Kunoichi [Re-Write]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang