14. Persimpangan jalan

311 12 0
                                    

"Eeh biar gue aja yang obatin Arkan." Fina merebut kapas dan alkohol dari tanganku.
"Lo obatin dia aja." ditunjuknya Bagas dengan dagunya.

Aku menatap Arkan yang menunjukan ekspresi ketidak enakan kepadaku atas sikap Fina. Tak ingin bergelut dengan pikiranku saat ini, kualihkan perhatian pada Bagas yang saat ini tengah meringis-ringis kesakitan.

"Ini pasti perih, lo tahan ya." Ucap Fina pada Arkan, aku berusaha untuk tidak menoleh melihat cewek itu mengobati luka Arkan dengan penuh perhatian. Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang hilang mengingat beberapa hari ini Arkan tidak ada disekitarku, biasanya setiap hari dia selalu mengikutiku kemanapun, menggodaku dengan kata-kata gombal recehannya, mengajakku berangkat dan pulang sekolah bareng meskipun selalu kutolak, dan terakhir aku merasa kehilangan ketika tidak ada lagi kata 'aku suka sama kamu' yang nyaris setiap hari keluar dari mulut manisnya.
Aku rindu dengan semua itu? Mungkin iya. Dia cowok yang manis.
Dan disaat secercah perasaan aneh tiba-tiba muncul dihatiku, sekarang dia justru seperti dekat dengan Fina. Sangat langka aku melihat Fina dekat dengan cowok lain selain Arya. Yaa lagi pula siapa juga yang berani deketin pacar pentolan bengis seperti Arya? Namun sepertinya hal itu tidak berpihak pada Arkan, Buktinya saja kemarin aku sempat mereka tengah berduaan disebuah halte. Asumsiku mengatakan kalau Fina menyukai Arkan, dia pasti terkesima dengan gombalan dan kata-kata manisnya yang selalu sukses melelehkan hati cewek manapun. Termasuk aku.

"Kamu kenapa bisa babak belur gini sih?"

"Mereka berdua abis berantem sama cowok gue."
pertanyaan yang kutujukan pada Bagas itu justru dijawab Fina dengan santai.

Dahiku mengernyit, bagaimana mereka bisa sampai berantem?
Melihat raut tanya di wajahku, Fina menambahkan
"Elaah lo kayak gak tahu aja, setiap hari cowok gue kan selalu bikin masalah, Sama siapapun."

Aku tak lagi penasaran dengan apa yang terjadi. Benar kata Fina, Arya memang selalu membuat masalah. Kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan orang-orang disekitarnya pun selalu dia jadikan masalah besar, dan hari ini dia membuat masalah dengan Arkan dan Bagas.

"Ssh.. Pelan-pelan dong." desis Bagas kesakitan.

"Ini juga pelan kok, tahan ya."

_

Aku berjalan menuju gerbang sambil membuang napas lega, karena kebetulan hari ini jam terakhir diisi oleh Pak Anton, guru ekonomi yang sangat membosankan.

"Kanaya."
Seseorang tiba-tiba memanggilku dari belakang bersamaan dengan kurasakan tangan hangat mencekal pergelangan tanganku.
Segera aku menoleh dan mendapati Arkan tengah menyengir. Dan hari ini dia kembali melakukan aktifitasnya yang selalu membuntutiku, bahkan dalam keadaan babak belur seperti itu.

"Kenapa?"

"Mau pulang?"

Sudut-sudut bibirku tertarik perlahan membentuk senyuman samar, yang langsung kusembunyikan dengan memalingkan muka. Entah kenapa ekspresi cowok yang satu ini selalu membuatku ingin tersenyum, terlebih ketika dia akan mengajakku pulang, air mukanya selalu terlihat seperti harap-harap cemas.
"Iy-"

"Arkan."
Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, tiba-tiba saja Fina datang dengan memar disalah satu sudut bibirnya. Dia menangis terisak didepan Arkan mengambil posisiku yang sedari tadi berhadapan dengan Arkan, terpaksa aku pun melangkah mundur membiarkannya berbicara dengan Arkan tanpa aku yang menghalangi.

"Lo kenapa lagi?"
Tanya Arkan dengan nada khawatir, tangannya terangkat menyingkirkan helaian rambut yang menutupi luka di sudut bibirnya. Keningnya mengernyit dalam, menelisik luka tersebut.

Alih-alih menjawab pertanyaan Arkan, Fina malah menenggelamkan wajahnya di bahu Arkan. Seolah tak menganggap lagi aku ada disini, Arkan pun mengelus-elus punggung Fina. Melihat sikap mereka yang seperti itu, entah kenapa dadaku terasa sesak. Menghembuskan napas berat, aku membalikan badan untuk pulang saja.

Mengejar BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang