15. Flamboyan

241 8 0
                                    

Bagas menatapku dalam kebisuan, aku semakin rikuh dibuatnya. Berkali-kali aku mengalihkan pandangan pada jendela mencoba menghindari kontak mata dengannya. Tak berapa lama keheningan pun akhirnya terpecahkan oleh kedatangan seorang pelayan yang menghidangkan pesanan kami.

Aku menyedot strawberry milkshake didepanku untuk membasahi tenggorokan yang rasanya sangat kering, Kemudian menatap Bagas yang masih setia memandangiku tanpa kata juga tanpa ekspresi.
"Kamu kenapa sih?"
Akhirnya aku sendiri yang memulai pembicaraan sambil mengaduk-aduk minumanku dengan sedotan.

Dia tidak menjawab, menyesep espresonya perlahan, lantas meletakan tangannya diatas meja.
"Aku mau dengar jawaban kamu."

Aku mengernyit sambil mengaitkan rambut kebelakang telinga.
"Jawaban?"

"Tentang pertanyaanku tadi siang."
Tuh kan, pasti dia mengajakku pergi dari rumah hanya untuk membahas hal ini. Aku sungguh malas membicarakannya. Lagi pula aku heran, tidak biasanya bapak memberiku izin keluar malam dengan seorang cowok. Atau mungkin karena yang ngajak itu Bagas (satu-satunya teman cowok yang sering datang ke rumah)? Ya... Sebelumnya Bagas  memang tidak pernah mengajakku jalan malam-malam, tapi malam ini dia justru datang tiba-tiba dan meminta izin pada bapak untuk mengajakku pergi.

"Aku mau kita jadian."
Kata-kata itu kudengar bersamaan kurasakan tangannya yang dingin menggenggam tanganku erat. Sementara aku dibuat terbelalak dengan jantung yang rasanya ingin melompat keluar.
"Aku mau kamu jadi pacar aku."

Sedikit pun bibirku tak bisa terbuka, aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa. Bisa kurasakan keringat mengalir disekitar pelipisku. Buru-buru aku menarik tanganku dari genggamannya, lantas saking rikuhnya aku menyedot minumanku sampai tandas tak tersisa.
Kuangkat wajah menatap Bagas yang kini tersenyum mengamati gelagatku yang mungkin terlihat aneh.

"Mau pesen minum lagi? Atau kamu mau makan?"
Tanyanya tanpa menghapus senyumnya yang hanya kubalas dengan gelengan kepala. Bagas menghela napas,
"Kamu belum jawab pertanyaanku."
Sambungnya kembali meluruskan pembicaraan.

Menghela napas, aku mengetuk-ngetukan jemari diatas meja. Aku harus jawab apa?
"Aku takut." ucapku asal dengan nada pelan.

Spontan Bagas mengernyitkan dahi.
"Takut?"

"Iya, kan banyak tuh cewek-cewek disekolah yang suka sama kamu. Nanti kalau kita jadian mereka pasti akan benci sama aku." ah, sebenarnya itu bukan alasan yang tepat. Setiap hari aku memang selalu mendapatkan pandangan tak menyenangkan dari cewek-cewek disekolah karena setiap hari mereka melihat aku selalu datang dan pulang berdua dengan Bagas. Sebenarnya ada alasan lain mengapa aku ragu menerimanya. Bukan ragu akan sosok dan kepribadiannya, bukan. justru Bagas adalah cowok yang hampir mendekati titik kesempurnaan menurutku. Mungkin menurut sebagian orang aku terlalu bodoh jika menolak cowok seperti Bagas, namun ini soal perasaan, perasaanku pada Bagas tak lagi utuh seperti dulu. Ada orang lain yang juga menempati posisi yang sama dilubuk hatiku, dan kupikir itu Arkan.

"Aku akan selalu ada didekat kamu, kamu tenang aja kamu gak usah takut. Justru kalau mereka tau kita jadian, mereka pasti tidak akan berani gangguin kamu karena mereka tau kalau kamu milik aku."
Dia kembali menggenggam tanganku erat, lebih erat dari sebelumnya. Sampai-sampai bisa kulihat tanganku memucat. Aku semakin dibuat bingung, aku harus bagaimana?

"Bukankah ini adalah waktu yang selama ini kita tunggu-tunggu untuk membuat ikatan?"
Sambungnya menatapku dengan sorot mata yang menyimpan banyak harapan.

Aku menelan ludah susah payah lantas dengan sedikit keberanian akhirnya aku hanya memberikan respon dengan gelengan kepala, menyunggingkan senyuman samar yang membuatnya termangu dan mengendorkan gengaman tangannya.
"Aku minta maaf."
Mendengar ucapanku yang itu ia melepaskan genggamannya dengan perlahan, namun segera aku menggenggam tangannya balik.
"Gas, aku sudah sangat nyaman dengan hubungan kita yang seperti ini."

_

Waktu istirahat aku habiskan dengan duduk santai di kantin seorang diri sambil menikmati jus guava, pikiranku sembrawut karena Bagas. Setelah tadi malam aku menolaknya, sikapnya berubah, sepertinya dia sangat kecewa dengan keputusanku. Tadi pagi dia tidak menjemputku, bahkan waktu berpapasan pun kami saling tidak bertegur sapa. Sebegitu besarkah ambisinya untuk membuat ikatan denganku? Aku jadi merasa tidak enak. Tapi tak apa, aku sudah menduga kalau ini pasti terjadi.

"Satu mangkuk bakso spesial buat nona cantik."

Pikiranku yang melalang buana dibuyarkan dengan Arkan yang tiba-tiba datang menyodorkan satu mangkuk bakso didepanku.
"Aku sendiri loh yang bikin."

Aku tidak bersuara, kualihkan pandangan pada kedai bakso mang Asep yang dipenuhi antrian panjang. Huh, itu pasti karena ulah Arkan yang kelamaan membuat bakso untukku.

"Dimakan dong, aku susah payah banget tau bikinnya."
Dia menopang dagu dengan kedua tangannya, menatapku lekat. Sementara aku semakin mengernyitkan dahi melihat sikapnya.

"Kamu sendiri gak makan?" akhirnya aku bersuara menanyakan dirinya yang tidak membawa makanan atau minuman untuknya sendiri.

Tanpa mengalihkan pandangannya dariku dia menjawab:
"Ngeliatin wajah kamu aja aku udah kenyang kok."

Mulai lagi deh, aku memutarkan bola mata malas mendengar gombalan picisannya.
"Oke, aku makan deh." aku mulai mengaduk-ngaduk bakso didepanku karena bumbunya yang belum sempurna menyatu.
"Gak diracun kan?"

"Buset!" ucap Arkan kontan menepuk meja satu kali, sementara aku terkejut dibuatnya. Raut wajahnya yang semula cengengesan menjadi serius.
"Nay... Nay, kamu pikir aja sendiri. Masa aku ngeracunin cewek yang aku suka."

Aku terkekeh melihat air mukanya yang menganggap pertanyaanku serius.
"Nyantai aja kali, orang aku cuma becanda kok."

Dia tidak menanggapi, dan lebih memilih terus memfokuskan pandangannya padaku. Aku tersenyum dan menggeleng-geleng pelan melihat sikap anehnya.
"Gitu banget ngeliatinnya."

"Senyum kamu itu kayak susu bendera, nikmatnya sampai tetes terakhir." dia mengucapkan itu sambil tersenyum lebar sedikit mendekatkan wajahnya kepadaku.

Sontak aku merasakan panas disekitar pipi, sebisa mungkin aku berusaha agar tidak tersenyum dan lebih memilih fokus makan bakso.
Plis Arkan, berhentilah memujiku! Tak tau kah kamu, saat ini aku sudah tak bisa lagi merasakan adanya gaya gravitasi.

Setelah itu hening yang cukup lama merambat diantara kami, hiruk piruk kantin sama sekali tidak merobohkan tembok keheningan di meja ini.
Sampai-sampai aku salah tingkah karena terus-menurus dilempari tatapan seperti itu olehnya.

"Kok diem?" ucapnya kembali membuka pembicaraan.

"Aku kan lagi makan."

"Ya kamu sambil cerita ke, curhat gitu. Soalnya tadi aku lihat kamu kayak lagi mikirin sesuatu."

Menceritakan perasaanku tentang orang yang aku suka pada orangnya sendiri? Yang benar saja. Lagi pula aku tidak pernah curhat kepada siapa pun. Yaa pada dasarnya orang-orang yang mendengarkan masalah kita bukan bermaksud untuk peduli, mereka hanya kepo. Dan menurutku itu sangatlah tidak ada gunanya.
"Aku gak mikirin apa-apa."

"Pasti mikirin Bagas ya?"

Aku diam.

"Atau mikirin aku?" sambungnya sambil cengengesan.

Dua-duanya. jawabku dalam hati.
"Ke geer-an banget sih."

Arkan hanya menyerengeh sambil menggaruk tengkuknya, lantas kembali menggantinya dengan raut serius,
"Kamu udah jadian ya sama Bagas?"

Mendengarnya terus menjuruskan pembicaraan pada hal itu,
Aku menghela napas, menatapnya dengan tatapan jengah. Aku sungguh muak membicarakannya.
"Enggak."

Sontak cowok didepanku ini langsung terperanjat memasang wajah serius.
"Serius?"

Aku hanya mengangguk.

"Aku pikir kalian pacaran."

"Gak jadi." ucapan itu meloncat begitu saja tanpa intruksi dari otak, sontak aku membulatkan mata dan menutup mulut.

Sementara Arkan mengernyit menatapku penuh tanya.
"Gak jadi? Maksudnya? Kenapa?"

Karena ada kamu. Alih-alih mengatakannya, aku memilih diam.

Mengejar BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang