Kanaya berpamitan kepada Fatmawati, juga entah keberapa kalinya ia mengucapkan kata terima kasih karena sudah memijat kakinya, mengajaknya makan bersama dan mengobrol tentang banyak hal yang membuat Kanaya larut dalam kegembiraan.
"Yaudah, aku pamit ya nek. Assalamualaikum." Kanaya mencium punggung tangan Fatmawati, lantas menaiki vespa yang sudah dihidupkan Arkan beberapa menit yang lalu.
Deru Vespa Arkan mengisi kekosongan jalan raya yang hanya dilewati beberapa kendaraan karena hujan deras baru saja berhenti, menyisakan rintik-rintik gerimis yang membasahi jaket denim Arkan di tubuh Kanaya. Untuk kedua kalinya Arkan memberikan jaketnya pada Kanaya agar gadis yang dicintainya itu tidak kedinginan, udara dingin setelah hujan di waktu petang memang bukan main, bagi Arkan itu cukup menyiksa.
Napas Arkan tercekat ketika sebuah tangan hangat melingkar di pinggangnya, menetralisir rasa dingin yang sedari tadi menggerayangi tubuhnya, dan sekarang alih-alih dingin justru dia merasa ada pemantik yang membuatnya serasa terbakar. dia memalingkan wajah pada kaca spion melihat Kanaya disana yang tengah tersenyum, menyadari diperhatikan Arkan, langsung saja Kanaya menyembunyikan wajahnya di punggung kokoh Arkan. Cowok itu enggan berkomentar dan tetap menjalankan motornya dalam kecepatan stabil. Sementara pikirannya menjarah pada jawaban Kanaya tadi di depan neneknya. Entah Kanaya sungguh atau tidak mengatakannya, Arkan tidak mau ambil pusing. Langkah demi langkah untuk mendapatkan hati Kanaya sudah dilaluinya dan kini dia hanya perlu memastikan.
_
"Gusti nu agung... Neng, kamu teh habis dari mana aja? Jam segini baru pulang. Gak tahu mama disini khawatir banget?"
Lengkingan suara itu menyambut Arkan dan Kanaya yang baru saja sampai di halaman rumah Kanaya.Arum berkecak pinggang, disampingnya ada Ratna yang turut menampakan wajah khawatir. Ditambah Kanaya yang berjalan pincang semakin menambah kekhawatiran mereka.
"Itu, itu kaki kamu kenapa?"
Dengan hebohnya Arum memeriksa kaki Kanaya, menimbulkan suara pekikan Kanaya karena nyeri tak terhindarkan."Ma, ini sakit." Kanaya menyingkirkan tangan ibunya yang sontak saja membuat Arum ikut menampakan mimik ngilu.
"Nya kunaon atuh make bisa kieu..." (ya kenapa bisa begini...)
"Tadi Kanaya keseleo di sekolah, tante."
Sahut Arkan mewakili jawaban Kanaya yang masih meringis-ringis tanpa menjawab pertanyaan ibunya."Ck, cuma keseleo..." Arum mendengus lega lantas memukul pelan pundak Kanaya
"Meni lebay kamu mah. Kirain mamah, kamu teh kecelakaan gitu. Keseleo mah gak seberapa atuh neng sakitnya juga.""Keseleo juga kecelakaan ma... mama kan gak ngerasain siih apa yang Kanaya rasain. Ini beneran sakit banget tau..."
"Ya udah, mending sekarang kita masuk."
Arum melirik Arkan yang masih berdiri mematung di samping vespanya.
"Ayo ikut masuk! Kita makam malam bareng.""Oh sebelumnya makasih, tante, saya tadi sudah makan."
"Gak usah malu-malu... kamu teh Arkan kan? Yang suka ngejar-ngejar si neng?"
Arkan menaikan sebelah alisnya sambil memasukan kedua tangan kedalam saku celananya.
"Kok tante tau?" Tangannya berpindah menggaruk tengkuk sambil menyengir kuda."Eeeh si neng Naya suka cerita sama tante." Bisik Arum mendekati Arkan, matanya melirik Kanaya yang sudah memasuki rumah dengan pandangan awas. Pasalnya anak gadisnya itu menyuruh Arum- ibu sekaligus tempat penampung curahan hatinya untuk tidak membocorkan segala apa yang diceritakannya kepada siapa pun.
"Oh ya? Terus Kanaya suka cerita apa aja tentang saya, tan?"
"Banyak." Jawab Arum singkat, tangannya menangkup kedua pipi Arkan sambil tersenyum lebar, sementara kedua matanya menatap Arkan dengan sorot yang tak bisa dimengerti.
"dasar anak muda." Tangannya menepuk pelan pipi lembab yang masih dalam rengkuhannya itu dua kali, lantas menarik tangan Arkan memasuki rumah.
"Kamu harus seneng dong diajak makan malam sama Kanaya.""Bukan gitu, tan. Masalahnya saya sudah makan sama Kanaya tadi di rumah nenek saya."
"Nenek?"
Kening Arum berkerut
"Kamu pindah dari jakarta dan tinggal sama nenek kamu?"Arkan menjawab dengan anggukan.
"Orang tua kamu?"
Arkan terpaku sesaat sebelum akhirnya menjawab dengan gelengan pelan. Kedua sorot matanya seolah menampung kesedihan yang bisa Arum tangkap.
"Oh, sudahlah. Sekarang duduk nak, duduk." Ujar Arum menyudahi percakapan kaku itu. Mengerti dengan keadaan Arkan yang bisa dilihat dari raut wajahnya yang berubah.
Kanaya datang bergabung ke meja makan setelah berganti pakaian.
"Arkan ini cucuknya nenek Fatma, ma.""Oh gitu? Kenapa gak bilang... nenek Fatma mah langganan warung kita atuh."
"Iya, Kanaya awalnya juga gak nyangka."
"Jadi, tadi kamu habis dari rumah nenek Fatma?"
"Iya, nenek Fatma juga yang tadi ngurut kaki Kanaya. Nenek Fatma juga ngajak Kanaya buat makan malam bareng."
"Terus sekarang mau makan lagi?"
Ratna yang sedari tadi diam saja langsung menyahut ketika melihat adiknya itu menyendok nasi dan menuangkannya pada piring. Kanaya pun hanya menanggapinya dengan cengiran.
"Ya ampun Nay... kamu ini rakus banget sih. Gak malu tuh diliatin cowok?"Arkan hanya tersenyum melihatnya.
"Tadi waktu di rumah nenek, Kanaya makannya dikit banget, kak. Jadi pantes aja kalau dia masih lapar. Iya kan?"
Sahut Arkan memberi pembelaan.Lagi-lagi Kanaya menyengir dan mengangguk sambil menggigit kerupuk.
"Kok kamu tau aku masih laper?""Kenapa? Kamu malu makan banyak di depan nenek sama kakek?"
"Ya iyalah, nanti aku terkesan buruk di mata nenek Fatma sama kakek Ramlan."
Lagi-lagi Ratna menggeleng.
"Kamu ini, harusnya kamu jaga sikap juga dong di depan cowok.""Biarin, biar cowok ini tau kalau ini memang aku yang sebenarnya."
Gadis itu melirik Arkan yang sedari tadi bersendang dagu memerhatikannya, seolah Kanaya adalah objek yang tidak bisa lepas dari pandangannya._
"Asal kamu tau ya, Ar. Aku ini doyan makan, benar kata kak Ratna aku memang rakus." Perbincangan kembali berlanjut di ruang keluarga. Hanya ada Arkan dan Kanaya disana, ditemani suara televisi yang menyala namun tak benar-benar menjadi tontonan mereka.
"Gak pa-pa. Aku gak akan pernah mempedulikan hal itu. Kamu tetep Kanaya yang cantik di mata aku."
"Apaan sih." Wajah Kanaya merona malu.
"Tapi kamu juga gak munafik kan, kalau kamu gak mau melihat aku gendut.""Gak pa-pa kok, justru kalau cewek montok itu bohay aduhai gitu loh."
Tangan Arkan memberi gestur bentuk badan yang dimaksudnya, membuat dia mendapat lemparan bantal sofa dari Kanaya."Ih, jijik banget sih. Biasa aja kali mulut sama tangannya."
"Kalo mau yang bohai seperti yang kamu maksud itu, ada tuh Nengsih."
"Iya juga sih. Tapi aku lebih suka kamu."
"Plis deeh." Kanaya memutarkan bola mata malas.
"Lama-lama aku bisa muak loh sama gombalan-gombalan kamu yang lebay itu.""Emang kedengerannya lebay ya?"
"Pikir aja sendiri."
"Kalau kamu gak suka, kenapa pipi kamu merah?"
Arkan menelisik wajah Kanaya dari samping, sementara gadis itu enggan menoleh kearahnya mencoba menyembunyikan mimik malu dengan pura-pura menonton tv.Arkan terkekeh, menghela napas, lantas bersendang dagu dan kembali menatap Kanaya yang masih setia berpura-pura nonton tv.
"Kita ini udah jadian belum sih?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Bidadari
Teen FictionKupikir kau adalah satu-satunya yang nyata diantara perempuan- perempuan yang mendiami dunia khayalku, namun ternyata kau juga salah satu bagian dari mereka. Baiklah, kubiarkan kau hidup bahagia bersama orang lain, tapi bukan berarti aku menyerah. A...