32. Ending

505 17 1
                                    

Fina tertawa mendengar penuturanku. Hey, apanya yang lucu? Aku sungguh-sungguh.
"Lo sayang sama gue? Terus kenapa lo nyuruh gue nikah sama Arya?"

"Gue cuma takut lo kenapa-kenapa kalau lo gugurin kandungan lo, dan gue juga gak mau lo pergi jauh-jauh dari gue." Aku menggenggam tangannya,
"Please gak usah pergi ya."

Fina tertegun, air matanya jatuh. Apakah dia punya perasaan yang sama? Katakan, Fin!
"Terus kalau seandainya gue bisa menikah sama Arya, lo rela?"

Rasanya ada sesuatu yang menikam dadaku. Entahlah, sebagian besar hatiku jelas saja tidak rela, tapi ini demi kebaikannya.
Aku mengangguk.
"Yang penting gue masih bisa lihat lo, masih bisa lindungin lo kalau seandainya Arya berbuat macem-macem lagi, dan yang penting gue masih bisa lihat lo baik-baik aja. Jadi please jangan pergi."

Fina terdiam.

"Apa lo punya perasaan yang sama?" Kataku menatapnya harap-harap cemas. Aku tidak tahu apakah ini benar atau salah. Kuharap ini adalah keputusan yang benar karena telah menyatakan perasaanku sebelum Fina benar-benar pergi. Aku tak mengharapkan balasannya, cukup dia tahu perasaanku yang sebenarnya saja sudah cukup.

Fina masih terdiam.

"Oke gue emang goblok, Fin. Sejujurnya gue sayang sama Kanaya, tapi gue juga sayang sama lo, dan gue gak bisa milih."

"Lo tahu gak sih Ar kalau lo itu bego? Bisa-bisanya lo sayang sama cewek kayak gue?"

"Kalau emang gue gak sayang sama lo, buat apa gue rela bantuin lo, dengerin lo curhat berjam-jam, nemenin lo buat ketemu si Arya, bahkan gue hampir putus sama Kanaya gara-gara waktu itu."

"Lo hampir putus sama Kanaya? Kenapa lo gak pernah bilang?"

"Ya karena gue gak mau lo nyuruh gue buat gak ngehubungin lo lagi, gue gak mau lo ngerasa bersalah."

"Sorry, Ar. Gue gak punya perasaan apa-apa sama lo. Gue emang sayang sama lo, sebagai sahabat." Dia melepaskan genggaman tanganku, rasanya menyakitkan, tapi tak apa, mau dia meyukaiku atau tidak toh kita tetap tak bisa bersatu.
"Cinta gue masih buat Arya. Ada Kanaya yang lebih pantes buat lo, buat lo cintai, buat lo jaga. Sorry kalau selama ini gue cuma nyusahin lo. Sorry kalau selama ini gue udah bikin kalian bertengkar." Dia menghela napas menjeda kalimatnya.
"Dan thank's untuk semuanya, Ar. Lo adalah satu-satunya orang yang selalu ada buat gue." Fina melangkahkan kakinya menuju ruang kepala sekolah dimana ibunya sudah ada disana. Aku masih menatapnya, menatap punggungnya yang tak akan pernah berbalik lagi untuk membalas tatapanku ini.
'Good bye, Fin, semoga hidup lo selalu diberi kebahagiaan.'

Aku mengusap wajahku kasar, koridor sudah benar-benar lengang, aku berbalik untuk memasuki kelas, tapi jantungku berdegup hebat ketika kudapati Kanaya tengah berdiri tepat berhadapan denganku disertai air mata yang mengalir di pipinya. Jadi dia sedari tadi ada disini? Dia mendengar semuanya? Tangannya menyodorkan kotak makan transparan berisi nasi goreng.
"Kamu belum sarapan kan?" Katanya dengan nada bergetar sambil mengusap kasar air matanya sendiri dengan punggung tangannya.

Aku masih terbengong, jantungku tidak bisa berdegup normal. Bagaimana ini? Dengan hati-hati aku mengambil kotak makanan itu. Aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun, mulutku terkunci, benar-benar terkunci, lagi pula tak ada yang bisa kukatakan lagi. Bolehkah aku mengatakan minta maaf? Tapi itu terlalu basi, sudah sering aku berkata maaf yang nyatanya cuma omong kosong itu.

Aku mencoba menatap matanya, ya Tuhan aku sungguh tidak tahan melihatnya menangis seperti itu yang lagi-lagi disebabkan olehku.
"Maaf aku ingkar janji." Kataku sembari menunduk.

"Kita putus."

Kalimat itu.

Aku memejamkan mataku rapat-rapat berharap ini cuma mimpi, kuharap aku segera terbangun dalam keadaan masih di kamar dan berharap waktu masih tertunjuk pada angka lima pagi.

Aku membuka mata dan Kanaya sudah tidak ada di depanku, dia lari menjauh menyusuri koridor, dan aku hanya bisa menatapnya tanpa bisa mengejarnya. Perlahan air mataku luruh ketika menatap kotak makan nasi goreng yang masih di tangan. Peduli setan kau mau menganggapku cemen atau banci atau apalah terserah. Aku benar-benar tidak bisa menahannya.

Aku menyayangi dua orang sekaligus dan kini mereka juga meninggalkanku secara bersamaan. Ya Tuhan, laki-laki macam apa aku ini? Laki-laki brengsek, tolol, banci, goblok, yang bahkan menjaga perasaan satu orang perempuan pun tidak mampu. Oke mungkin aku perlu istirahat dari masalah asmara. Dari sini aku belajar agar aku bisa menjadi laki-laki yang lebih baik. Benar apa kata kakek, aku tidak boleh menjadi seperti papa yang serakah terhadap perempuan sampai meniadakan orang yang benar-benar tulus menyayanginya.

Kanaya, perasaanku tidak akan luntur, mengingat betapa besar aku berjuang untuk mendapatkan hatimu, itu semua tidak mudah, dan tololnya aku menghancurkannya, menyia-nyiakan hasil perjuangan yang sudah ku miliki.

Kanaya memang pantas untuk mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik. Semoga dia belajar dari masalah ini untuk lebih bisa memilih laki-laki yang baik, tidak seperti diriku yang brengsek. Semoga dia bisa mendapatkan sosok laki-laki yang lebih bisa menjaga perasaannya, laki-laki yang akan selalu membuat indah hari-harinya.

Kita tidak pernah tahu rencana Tuhan, mungkin saja beberapa tahun kedepan kita bisa dipersatukan kembali dalam sebuah ikatan sakral dan serius. Bukankah kita pernah bermimpi untuk membuat rumah di bukit itu, Nay?

Seandainya Tuhan mempertemukan kita kembali dalam keadaan dimana kita sudah bersama pasangan masing-masing, kuharap kita masih bisa bertegur sapa. Siapa yang tahu jika nanti kita dipertemukan dalam sebuah acara rapat orang tua dimana anak kita sekolah di tempat yang sama, siapa yang tahu, kan? Dan kuharap dalam siatuasi seperti itu pun kau masih mau menyapaku, walau hanya berkata "Hai" itu sangat berarti.

Aku selalu memikirkan tentang mimpi-mimpi indah masa depan bersama Kanaya, tapi manusia hanya bisa bermimpi, Tuhan yang akan berkehendak, bukan?

Bidadariku sudah lepas, sesungguhnya tak ada bidadari yang perlu dikejar, kita akan bertemu di lain waktu. Di waktu yang tepat kita akan dipertemukan sebagai takdir, entah dia dalam wujud perempuan yang kucintai sekarang, atau wujud perempuan lain yang mungkin selama ini belum pernah kuketahui sosoknya, seorang perempuan yang lebih berhak untuk aku berikan cinta yang lebih besar, perempuan yang akan melahirkan anak-anakku dan menemaniku sampai akhir hidup.

"Alfariel Sandy Arkan! Sudah hampir satu jam kami tidak masuk kelas! Ngapain aja kamu disini?!" Bu Asri menjewer telingaku membuatku meringis kesakitan. Dia menyeretku ke tengah lapangan, menyuruhku berdiri di dekat tiang bendera selama dua jam sebagai hukuman.

Hah, aku terlalu larut dalam mimpi-mimpi itu. Tapi aku memang senang memikirkannya.

Good bye, Nay. Walaupun hubungan kita tidak berumur panjang, tapi ini akan benar-benar menjadi sejarah dalam hidup, dimana kita tidak boleh menyia-nyiakan sesuatu yang sudah kita dapatkan dengan penuh perjuangan. Do'aku untukmu, Nay, semoga tak ada lagi satu pun lelaki yang membuatmu menangis, cukup aku saja.

Selesai.

A/N:
Akhirnya finish juga...
Eh kasih kesan dong menurut kalian bagaimana ceritanya? Setuju gak Kanaya sama Arkan putus? Tapi itu sudah takdir mereka ya... (sesuai kehendak yang nulis haha..) semoga ada pembelajaran yang bisa kalian petik dari cerita ini (Eh ada gak sih?), terima kasih dan sampai jumpa :)

Mengejar BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang