25. Arya

166 6 0
                                    

Aku memarkirkan mobil di depan rumah besar dengan pagar tinggi, ukurannya mungkin sebesar rumahku di jakarta ( yang sekarang sudah disita). Aku membawa mobil milik Fina, dia ingin aku yang nyetir, tidak mau diantar sopir.
"Ini rumahnya?"

Fina mengangguk, lantas mengajakku untuk turun.

Rumah megah mentereng itu nampak sepi, kami mencoba menekan bel. Kupikir tak akan ada yang membukanya, tapi tak berapa lama seseorang membuka pintu gerbang setelah kami menekan bel tiga kali, dia seorang tukang kebun.
"Mau cari siapa, mas, mbak?"

"Saya mau bertemu Arya," Jawab Fina.

"Mm... den Arya nya sedang tidak di rumah, mbak."

"Itu mobilnya ada."
Fina mengedikan dagu ke arah mobil berwarna hitam yang terparkir disana, yang memang milik Arya.

"Tapi den Arya keluarnya gak bawa mobil, mbak."

"Gak pa-pa saya mau nunggu aja. Kapan dia pulang?"

"Pasti lama, mbak."

"Oh oke, saya gak keberatan buat nunggu."

"Sebaiknya mbak, mas, pulang aja dulu, nanti kalau den Arya sudah pulang baru kesini lagi."

"Pak, bapak tahu saya kan? Saya pacarnya Arya. Saya kan pernah kesini. Dia pasti gak bakalan marah kalau saya menunggunya di dalam."

"Tapi-"

"Cukup, pak. Kalau bapak takut dimarahi, saya yang tanggung  jawab. Sekarang buka gerbangnya."
Fina menatapku, mengedikkan dagu kearah mobilnya yang masih terparkir diluar.
"Masukin, Ar." Rasanya aku seperti sopirnya saja.

Baru saja kami menapaki teras rumahnya, terdengar suara gaduh dari dalam. Aku bertatapan dengan Fina, sama-sama menunjukkan ekspresi heran.

"Keluar lo anjing! Gue gak gila!"
Itu suara Arya.

Fina langsung mengetuk pintu berkali-kali, dan tak berapa lama pintu pun dibuka. aku mendengar benda-benda pecah yang mungkin dilemparkan oleh orang itu. Ada apa dengan Arya? Apakah dia mengamuk? Apa yang membuatnya mengamuk seperti itu? Bertengkar?

"Siapa ya?" Seorang wanita paruh baya berpakaian seperti kaum sosialita membukakan pintu.

"Kami mau bertemu Arya, tante."

"Arya sedang tidak ada di rumah."

"Berhenti lo ceramahin gue, udah gue bilang lo gak usah datang kesini lagi! Atau lo mau mati?" Aku mendengar teriakan itu lagi dari dalam. Aku merasa gemetaran mendengar teriakan semacam itu, emosi Arya sudah seperti bukan manusia saja.

"Itu Arya kan, tante?"
Ujar Fina begitu sangat mengenal suara itu.

"Sebaiknya kalian pergi."

"Itu Arya tante, itu suara Arya."

"Itu bukan Arya. Pergilah!"

"Tante saya mohon, saya pacarnya Arya, ada suatu hal yang sangat penting untuk saya sampaikan." Dengan suara bergetar, Fina mencoba membujuk, dia menangis.

"Keadaannya sedang tidak baik. Lebih baik kalian pergi!"

"Memangnya Arya kenapa, tante? Apa yang terjadi dengan Arya?"

"Hey, kamu gak perlu tahu."

"Saya pacarnya."

"Iya, tapi Arya sedang tidak bisa ditemui. Mengertilah, tante mohon. Lain kali saja."

"Arya kenapa?"

"Kamu tidak perlu tahu."

"Saya harus tahu, saya pacarnya. Dan asal tante tahu, saya hamil."
Pintu yang hendak ditutupnya tiba-tiba tertahan. Wanita paruh baya itu mendadak menatap lemas, seolah terkejut dengan pernyataan Fina.
"Kamu... hamil sama Arya?"

Mengejar BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang