Warung makan pinggir jalan yang tengah diramaikan para pengunjung itu menjadi tujuanku saat ini. Kupercepat langkahku sebelum aku kehabisan lauk pesanan nenek. jika itu terjadi, aku tak yakin malam ini akan tidur nyenyak tanpa mendengar omelan tak berkesudahan dari mulut cerewetnya.
Kupesan ayam dan beberapa lauk lainnya sesuai pesanan nenek pada ibu penjual untuk dibungkus.
"Keheula nya jang, Ayam na seep, nuju di goreng. Antosan nya"
Ucapnya dengan logat Sunda yang begitu kental sembari melayani pembeli yang lain. Aku sempat dibuat bingung dengan kata-katanya, karena jujur aku tidak begitu paham bahasa Sunda.
"Tunggu sebentar ya! ayamnya habis, masih di goreng" ucapnya lagi menekankan seolah mengerti dengan raut wajahku yang kebingungan seperti orang tolol.Aku mengangguk samar sebagai jawaban, lantas memilih menunggunya dengan mendudukan badan pada bangku panjang disamping tiga pria paruh baya yang tengah makan dengan lahapnya.
Pria disampingku menoleh dan tersenyum.
"Tuang jang?"
Lagi. Aku tidak mengerti apa maksud ucapannya."Ha? Mm... Bagaimana pak?" tanyaku kikuk meminta penjelasan.
Pria tersebut hanya terkekeh sambil mengaduk-aduk makanannya lantas menjejalkannya kedalam mulut.
"Maksudnya, mau makan?"
Ucapnya ditengah-tengah kunyahan."Oh, enggak pak terima kasih"
"Pasti bukan orang Bandung ya?"
"Saya baru pindah dari Jakarta pak"
Bibirnya tercebik sambil mengangguk-ngangguk paham sebelum akhirnya perhatianku teralihkan oleh seseorang yang baru saja datsng membawa senampan ayam goreng. Kau tahu siapa dia? Kanaya. Kuulangi 'Kanaya'. Aku langsung terperanjat melihatnya, sementara dia menataplu heran sembari meletakan nampan yang dibawanya.
"Kamu ngapain disini?""Aku mau beli lauk buat makan"
Dia hanya berkata 'Oh', kemudian membantu si ibu penjual yang ku asumsikan kalau ibu tersebut adalah ibunya.
Tidak butuh waktu lama, Kanaya menyodorkan sebuah kantong plastik berisi lauk pesananku yang langsung kubayar dengan segera.
"Boleh sekalian minta nomor handphone nya gak?""Gak boleh" jawabnya jelas dan spontan hendak melangkah pergi menghentakan rambut panjang yang tergerai dipunggungnya.
"Buat mengorder makanan kok" mendengar ucapnku yang itu, dia berbalik dan kembali menghampiriku.
"Kalau buat order makanan, kamu bisa catat nomor yang disana" telunjuknya terarah pada nomor telepon yang terpampang jelas di spanduk warung makannya.
"Itu nomor mamaku. Masih aktif kok. Jadi kalau kamu mau pesan Cathering kamu bisa menghubungi nomor itu"
Sambungnya sebelum melimbai pergi meninggalkanku yang masih menatap kosong spanduk tersebut.
Kambing! Rupanya gue salah ngomong._
Kau tahu apa yang kulakukan saat ini? Mencuci piring, catat! 'Mencuci piring'- hal yang sama sekali tidak pernah kulakukan sebelumnya. Yaa katakanlah aku ini anak manja yang hanya mengandalkan jasa pembantu untu mengerjakan pekerjaan rumah sehari-hari. Tapi itu dulu, tidak dengan sekarang. Disini aku benar-benar seperti kacung yang dipekerjakan tanpa gaji. Bukankah itu terdengar menyedihkan?
Saat ini dibelakangku ada nenek yang sedang melipat tangan di dada, mengawasiku. Aku berdecak kesal melihatnya sedari tadi berdiri seperti itu sambil tiada henti-hentinya bercerocos ngalor-ngidul ."Udah malam, nenek gak mau istrahat? Tidur gih!"
"Nenek gak akan tidur sebelum pekerjaan kamu selesai"
"Tenang aja, Arkan gak bakalan pecahin piring-piringnya kok"
"Sudah jangan banyak ngomong. Cepat selesaikan!"
Huh, kalau rematiknya kambuh baru tahu rasa!
Kata-kata yang hampir kulontarkan itu tertelan kembali ke tenggorokan. Aku tak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi jika kata-kata itu terlontar begitu saja, mungkin itu akan menjadi mimpi buruk sepanjang malam.Pukul delapan malam, aku baru selesai mencuci piring. Aku berniat untuk pergi ke kamar, karena entah kenapa tiba-tiba mataku terasa berat, padahal aku tidak pernah mengantuk di jam-jam awal seperti ini.
"Arkan, sini!"
Suara kakek tiba-tiba saja memanggilku ketika aku baru saja menapaki ruang tengah menuju kamar. Walau malas, kuhampiri saja sebelum nenek yang sedang duduk disampingnya kembali mengomel dengan alasan tidak punya sopan santun."Ada apa? Kakek udah berubah pikiran untuk membelikan Arkan motor baru?"
"Bukan itu. Duduk!"
Kududukan badanku pada sofa berhadapan tepat dengan kakek. Kakek mengambil aba-aba untuk sesuatu yang akan diceritakannya dengan menyeruput teh yang terhidang diatas meja.
Menghela napas, lantas menatapku dalam.
Sementara, aku semakin dibuat penasaran dengan apa yang akan diceritakannya."Kakek cuma mau bilang kalau kamu harus menjadi orang yang baik dan jujur. Jangan menjadi seperti papa kamu"
Haeessh, kenapa selalu itu yang dibicarakannya? Jika aku hitung, mungkin sudah puluhan kali kakek membicarakannya. Tidak adakah hal lain yang lebih menarik untuk dibicarakan?
Aku berusaha untuk tidak berdecak dan menahan bola mataku agar tidak terputar keatas.Kuubah posisi tubuhku menjadi terbaring berbantalkan sebelah lenganku. Baiklah, kudengarkan saja nasihat panjangnya sebagai dongeng pengantar tidurku malam ini.
_
Bangun pagi buta kini sudah menjadi kebiasaanku. Kurang dari pukul setengah tujuh aku sudah berangkat sekolah. Vespa tua merahku melaju santai membelah jalanan perumahan yang masih terlihat sepi pada pagi hari ini. Hanya ada beberapa ibu-ibu yang sedang menyapu atau sekedar menyirami tanaman dipekarangan rumahnya masing-masing.
Begitu keluar dari jalanan kompleks, aku melihat Kanaya tengah berdiri dipinggir jalan raya depan rumahnya- menunggu kedatangan angkutan umum yang akan mengantarnya kesekolah.
Segera kulajukan motorku menyeberangi jalanan menghampirinya. Bisa kulihat tatapannya sempat mengikutiku selama beberapa detik sebelum akhirnya dia membuang muka ketika aku sudah benar-benar berada didekatnya.
"Mau berangkat bareng?""Enggak, terima kasih" balasnya sengit sambil tiada hentinya mengedarkan pandangan kejalanan.
"Kamu tenang aja. biarpun ini motor tua, tapi aku bisa melajukannya secepat motor sport. Percaya deh"
"Oh"
Aku menelan ludah susah payah ketika kudengar balasan ketus dan singkatnya barusan. Namun aku berusaha menampakan mimik baik-baik saja dengan menyelipkan senyuman lebar.
"Benaran gak mau ikut? Nanti kamu bisa telat lagi loh"
"Memangnya kapan aku telat? Aku gak pernah telat" ucapnya tanpa menghilangkan ekspresi dinginnya.
"Masa?"
"Asal kamu tahu ya, aku ini termasuk kedalam kategori murid paling rajin dan disiplin disekolah"
"Tapi aku pernah lihat kamu lari-lari dipinggir jalan pake seragam sekolah pada jam delapan pagi. Waktu itu kamu mau berangkat sekolah kan? Bukannya jam delapan pagi sekolah sudah ditutup? Berarti waktu itu kamu kesiangan dong"
Dia bergeming seolah membenarkan dan mengakui apa yang kukatakan.
"Kamu ini gak punya kesibukan lain selain ngikutin aku ha? Gak penting banget tahu gak!""Ngikutin kamu itu jelas penting buat aku, karena aku suka sama kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Bidadari
Genç KurguKupikir kau adalah satu-satunya yang nyata diantara perempuan- perempuan yang mendiami dunia khayalku, namun ternyata kau juga salah satu bagian dari mereka. Baiklah, kubiarkan kau hidup bahagia bersama orang lain, tapi bukan berarti aku menyerah. A...