30. satu rasa berbeda porsi

182 8 0
                                    

Suara jangkrik dan hewan-hewan malam bersahutan di bawah langit bergemintang yang tertutup kabut tipis. Kukatakan ini adalah hari paling indah sepanjang hidup, rasanya tak pernah aku sebahagia ini. Aku berjalan bergandengan tangan dengan Kanaya menuju rumah mang Usep. Kami memutuskan untuk menginap saja, dengan persetujuan nenek dan kakek, juga mama Kanaya tentunya.

Sekumpulan anak kecil berpeci dengan sarung tersandang dibahunya masing-masing berlarian menuju masjid, mereka berlomba-lomba untuk lebih dulu memasuki masjid.

"Cieeee si teteh sareng si aa abis dari mana? Abis pacaran ya?" Kata seorang bocah laki-laki berpeci dengan sarung diikat di pinggangnya. Dia mengacung-acungkan telunjuknya ke arah kami, kemudian berteriak.
"Hey tingali aya nu bobogahan!!"  (Hey lihat ada yang pacaran!!) Spontan anak-anak itu berhenti berlari, semuanya menoleh. Bocah biadab! Apa yang dilakukannya? Anak-anak itu bersorak mengejek disertai siulan menyebalkan. Segera aku melepaskan genggamanku, mataku memelotot membuat mereka kembali berlarian.

Kanaya tertawa di sampingku, hey dia menertawakanku? Tidak kah dia kesal pada bocah-bocah itu?
"Lucu ya?"

Dia mengangguk tanpa menghentikan derai tawanya.
"Iya."

"Aku justru kesal."

"Sudahlah, cuma anak-anak."

Kami melanjutkan perjalanan, melewati rumah-rumah warga yang berhimpitan. Aku menemukan mang Usep tengah nangkring di sebuah warung dengan sarung dan baju koko masih membungkus tubuhnya. Gorengan, rokok, dan kopi hitam mengepulkan asap kecil di kelilingi bapak-bapak yang baru pulang dari masjid, tipi tabung 21 inch yang menayangkan pertandingan sepak bola menjadi pusat fokus dari mereka.

"Mang Usep!" Aku berteriak memanggilnya sambil melambaikan tangan. Sontak saja fokus mereka menjadi teralih padaku.

"Ih budak teh, habis ngapain aja? Lama banget. Henteu macem-macem kan? Mamang meni  hariwang." (Ih anak ini, habis ngapain aja? Gak macem-macem kan? Mamang khawatir).

"Kan cuma lihat sunset, mang."

"Yasudah sekarang kalian cepat pulang ke rumah, si bibi nungguin dari tadi."

"Oke," kataku sambil melambaikan tangan berpamitan. Sebelum melimbai pergi terdengar bisik-bisik dari teman-teman mang Usep yang menanyakan siapa diriku.

"Itu teh incuna pak Ramlan, dunungan urang." (Itu cucunya pak Ramlan, majikan saya) begitulah mang Usep memperkanalkanku pada mereka yang suaranya sayup-sayup masih bisa kudengar dari kejauhan.

Aroma masakan yang nampak lezat menyambut kami ketika memasuki rumah.
"Kayaknya si bibi lagi masak." Aku menoleh pada Kanaya, dia hanya tersenyum. Perempuan cantik disampingku ini sedari tadi tak banyak bicara, yang dia lakukan hanya tersenyum, tersenyum, dan tersenyum, ah bisa diabetes aku terus melihatnya. Terdengar lebay? Aku tak peduli, toh memang begitu kenyataannya dia memang cantik, bisa kau ingat berapa kali aku mengucapkan kata 'Cantik' ketika mendeskripsikan gadis ini? Sering bukan? Karena memang begitu adanya.

"Hey, dari mana aja kalian ini... kasep, geulis? Bibi teh meni  khawatir pisan ih." Ternyata bi Iin sama cerewetnya dengan nenek.

Aku menghela napas dan menggaruk tengkuk yang tidak gatal.
"Kan habis lihat sunset."
Kududukan badanku dengan kaki bersila diatas tikar yang digelar bersama makanan yang sudah siap tersaji diikuti Kanaya yang turut duduk di sampingku. Matanya menatap makanan yang terhidang.

"Bibi yang masak semua ini?" Mulut Kanaya yang sedari tadi diam saja akhirnya bersuara.

"Iya, neng," jawab bi Iin.

"Sebanyak ini, sendirian?"
Matanya masih menatap makanan yang memang cukup banyak walau terdiri dari menu-menu sederhana.

Bi Iin mengangguk.
"Sama siapa lagi atuh."

"Padahal kalau bibi akan masak sebanyak ini aku bisa bantu loh, bi.

"Memangnya neng teh bisa masak?"

"Etdah, bi, gak usah diragukan lagi. Dia itu emang jago masak, suka bantuin mamanya di warung makan," kataku menyerobot sebelum Kanaya sempat menjawab, sementara yang merasa dipuji nampak tersipu.
"Lagian bibi ngapain sih masak sebanyak ini?"

"Spesial atuh, kan ada jang Arkan." Bi Iin dan mang Usep masih memperlakukanku sebagai tamu, padahal aku sudah menganggap mereka seperti keluargaku sendiri. Tak seharusnya mereka mengistimewakanku seperti ini.

_

Sudah larut malam, aku tak bisa memejamkan mataku barang sebentar. Aku bangun terduduk, entah kenapa tiba-tiba aku kepikiran Fina. Bagaimana keadaanya sekarang? Apa dia masih menangis? Aku turun dari ranjang meninggalkan mang Usep yang sudah tertidur lelap. Aku juga melihat bi Iin dan Kanaya yang sudah tertidur di kamar sebelah yang pintunya sedikit terbuka.

Aku keluar dari rumah dan berdiam di teras sambil bersandar pada tiang, udaranya sangat dingin membuatku harus kembali ke dalam sebentar untuk mengambil jaket. Mataku menatap gemintang, kalau udaranya sangat dingin seperti ini, itu artinya sudah masuk musim kemarau, begitu kata mang Usep.

Ibu jariku men-slide handphone yang sedari tadi kuabaikan. Ada rentetan panggilan tak terjawab dari Fina, sudah kuduga dia pasti meneleponku. Tanpa pikir panjang aku langsung menghubunginya. Sudah pukul dua belas, seandainya dia tak mengangkat teleponku, aku senang karena itu artinya dia sudah tidur. Sebelumnya aku pernah mendengar dari bi Ami (asisten rumah tangga Fina) kalau akhir-akhir ini Fina jarang tidur, lebih banyak melamun, aku khawatir akan hal itu. Oke, jujur aku tak bisa menepati janjiku untuk tidak menghubungi dia lagi. Ku akui aku memang brengsek, aku ingkar janji. Maafkan aku, Nay.

Teleponku tak kunjung diangkat, itu artinya dia sudah tidur. Aku menghela napas lega. Sejujurnya aku tak mengerti dengan perasaanku sendiri. Aku sayang Kanaya, tapi aku juga menyayangi Fina. Sebuah perasaan yang kutujukan untuk dua orang namun berbeda porsi. Tiba-tiba saja kata-kata Yuan berputar di pikiranku. Dia kata aku mencintai Fina, itu tidak mungkin. Aku menyangi Fina persis seperti adik yang menyangi kakaknya, tak lebih dari itu.
Tapi aku selalu memikirkan Fina, mengkahwatirkannya, selalu ingin memeluknya. Kanaya juga pernah mengatakan kalau rasa kasihan aku kepada Fina itu berlebihan, memangnya sikap peduliku terhadap Fina akan berbuah cinta? Benarkah itu? Tapi rasanya tidak. Mereka terlalu sok tahu pada perasaanku.

Telepon genggamku berdering. Orang yang ada di pikiranku sekarang menghubungiku, hey belum tidur rupanya. Segera aku mengangkatnya.
"Halo, Fin."

"Ar..."
Ya Tuhan, mendengar suaranya yang parau dan lirih seperti itu membuat hatiku serasa teriris. Aku terdiam mencoba mendengarkan apa yang ingin dia sampaikan, tapi yang kudengar hanya isak tangisnya.

"Iya, Fin?"

"Nyokap gue datang."

Oh rupanya ibunya sudah pulang, aku sedikit lega, setidaknya dia punya tempat bersandar yang lebih baik sekarang.
"Bagus dong, nyokap lo pasti langsung ambil tindakan buat masalah ini."

Aku mendengar isak tangisnya semakin megeras, kenapa dia ini?
"Gue digampar, Ar." Ucapannya tersendat "Sakit banget."

Aku tertegun, membayangkan betapa sakitnya, bukan soal sebarapa sakitnya digampar, tapi betapa sakitnya karena respon yang dia dapatkan dari ibunya justru seperti itu, tapi kurasa mungkin karena ibunya kaget dan kecewa, sehingga refleks menamparnya.
"Mungkin karena nyokap lo kaget dan kecewa, Fin."

"Gak cuma itu." Walau terbata-bata aku tetap berusaha mendengarkannya, tetap memposisikan telepon genggamku di telinga dibarengi perasaan harap-harap cemas.
"gue diseret ke kamar mandi, gue disiram berkali-kali, dan..."

Hening sejenak.

"Kenapa, Fin?" Aku menuntutnya untuk berbicara, tapi dia masih diam.
"Fin?"

"Dia nyuruh gue buat gugurin bayinya." Sontak napasku tercekat. Tega sekali.

Mengejar BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang