10. Anisa

313 11 0
                                    

Jaket yang kukenakan nampaknya sama sekali tidak membantu menepis rasa dingin ditubuhku. Aku celingukan mencari Bagas diantara deretan meja yang cukup di penuhi pengunjung. Hingga akhirnya pandanganku berlabuh pada meja paling pojok berdampingan tepat dengan birai pembatas, kebetulan kafe yang kudatangi ini terletak di dataran tinggi yang menyajikan keindahan kerlap-kerlip kota dimalam hari.

"Gak bisa ya milih tempat itu jangan di tempat outdoor kayak gini? Gue kedinginan." ucapku sambil mendudukan badan dan menggosok-gosokan tangan mencari kehangatan.
Bagas tidak menanggapi, dia hanya menatapku datar kemudian menyesap Cappucinonya yang tinggal sedikit. Berdecak kesal, kualihkan pandangan dan mengangkat tangan rendah pada seorang pelayan.
"Latte macchiato satu"
Pelayan itu hanya mengangguk dan melenggang pergi untuk memenuhi pesanan.

Sepuluh menit berlalu, aku dan Bagas hanya saling pandang seperti bidak catur tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku berdeham, dan meletakan tangan diatas meja.
"Apa yang mau lo omongin?"

Bagas menghela napas hendak memulai pembicaraan, sebelum akhirnya tertahan beberapa saat ketika seorang pelayan menghidangkan minuman pesananku.
"Lo suka sama Kanaya?"

Pertanyaan macam apa itu? tidak mungkin selama ini Bagas tidak tahu tentang perasaanku pada Kanaya, toh aku sering bertanya seputar Kanaya kepada dirinya. Yaa walaupun dia sama sekali tidak pernah memberikan jawaban barang secuil.
"Menurut lo?"

Lagi-lagi Bagas menghela napas sambil menempelkan punggungnya pada punggung kursi,
"Gue suka sama Kanaya."

Aku tidak kaget, tanpa dia ngomong pun aku sudah tahu. Kualihkan pandangan menuju pemandangan kota dibawah sana yang persis seperti lilin-lilin kecil untuk sekadar menyembunyikan senyum kecut.
"Tanpa lo ngomong pun gue udah tahu kali."

"Gue suka sama Kanaya dari dulu, sebelum lo datang."

Menyesap minuman, kupandangi ia selama beberapa detik.
"Ya terus? Lo mau gue menjauh dari Kanaya? Emang lo siapanya dia? Cowoknya juga bukan kan?"

"Gue sama Kanaya udah saling suka dari dulu."

Bibirku tersenyum hiperbolis
"Ke PD-an banget lo ngomong. Terus kalau lo sama Kanaya saling suka, kenapa gak jadian aja?" sebisa mungkin aku berusaha menahan nada bicara agar tidak naik setelah mendengar penuturan cecunguk didepanku ini yang seolah ingin menyuruhku menjauhi Kanaya secara tidak langsung.

"Gue cuma lagi nunggu waktu yang tepat, dulu Kanaya masih berstatus sebagai pacarnya Revan-- kakak gue. Gak mungkin dong gue ngekhiatin kakak gue sendiri. Dan beberapa waktu lalu mereka udah putus."

"Lo punya kakak?"

"Itu gak penting buat dibahas."

Oke, itu memang tidak penting.
Aku tertegun, mengingat waktu pertama kali kenalan dengan Kanaya, aku juga sempat mendengar obrolan Kanaya dengan pacarnya lewat telepon dimana detik-detik Kanaya hendak memutuskan pacarnya yang kuasumsikan pacarnya itu memang Revan-- kakak Bagas. Seribu pertanyaan seketika muncul dibenakku.

"Jadi, ini kesempatan lo buat jadian sama Kanaya?"

Kepalanya terteleng kesamping dengan bahu terkedik
"Mungkin."

"Kalau emang dari dulu kalian berdua saling suka, kenapa Kanaya jadian sama abang lo? Bukan sama lo?"

Seketika itu juga Bagas bergeming, matanya menatap meja dengan tatapan kosong membuatku semakin penasaran dengan isi pikirannya.
"Elaah... Malah bengong."

Dia tersenyum miring, tatapannya yang semula kosong kini berpindah kearahku menatapku dengan ekspresi yang entahlah, tak kumengerti maksudnya.
"Lo gak perlu tahu soal itu, lagian itu gak penting buat lo."

Mengejar BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang