"Ar, Kanaya katanya mau balik duluan!!" Dengan napas terengah Yuan berteriak dari ambang pintu, membuat Ningsih yang sedang menyapu melotot tajam kearahnya.
Aku memberhentikan aktifitas mengepelku, sebelah tanganku bertolak pinggang.
"Bisa gak sih ngomongnya biasa aja? Ini bukan stadion.""Sorry, gue cuma senang aja. Kanaya kan gak pula sama lo tuh, Jadi..."
"Lo mau nebeng sama gue?" Aku memotong kata-katanya dengan tatapan jengah.
"Nah! Itu lo tahu, hehe..."
"Ya udah sini!"
"Gak usah... gue nunggu disini aja."
"Sini lo bantuin gue piket!"
"Heh, ogah, sekarang kan bukan jadwal gue piket."
"Ya udah sana balik!"
"Yaelah, Ar. Oke deh oke, gue bantu."
"Zaman sekarang gak ada yang gratisan, men."
Dengan ogah-ogahan dia melempar tasnya, kemudian mengambil lap pel.
"Gak usah ngepel, lo ambil sapu lidi aja, bersihin tuh selokan," kataku menunjuk selokan kecil depan teras tempat air hujan mengalir. Yuan tidak berkata apapun, dia hanya menuruti saja apa kataku, walau kulihat dari ekspresinya terlihat dongkol.
"Arkan." Aku menoleh ke ambang pintu ketika seseorang memanggilku dengan nada lirih, dia Fina. Ada apa lagi dengannya? Wajahnya sembab, kantung matanya membengkak seperti habis menangis. Ya Tuhan, apa dia disakiti Arya lagi? Aku memandang Yuan dan Ningsih bergantian.
"Lo berdua keluar.""Huuh lama-lama gue bilangan Kanaya loh, kalau lo punya simpenan." Yuan berujar seperti itu membuatku melotot hampir memukulnya dengan tongkat pel. Hey, Fina bukan simpanan. Dia sudah kuanggap sebagai teman dekat, sahabat maksudku.
Mereka berdua keluar dari kelas, kendati masih kuasumsikan kalau Ningsih masih mencuri-curi mendengarkan perbincanganku dengan Fina, radar keponya bekerja impulsif, tapi kubiarkan saja dia.
"Kenapa lagi?"
Alih-alih menjawab, dia malah menangis, bisa kulihat betapa rapuhnya dia. Selain sering disakiti Arya, Kudengar dia juga seorang anak broken home, dan bisa kubayangkan bagaimana perasaan dia selama ini.
"Si Arya lagi?"Lagi-lagi dia tidak menjawab, hanya isak tangis yang bisa kudengar. Seharusnya aku tidak perlu bertanya lagi apa penyebab dia menangis, pasti karena si Arya kmpret.
"Kenapa gak lo putusin aja sih?"
Ketika aku berkata seperti itu, barulah Fina menatapku.
"Mana mungkin gue mutusin dia.""Kenapa? Karena lo masih sayang? Masih cinta? Jangan bodoh, Fin."
"Justru gue bodoh banget kalau ninggalin dia, gue udah kasih semuanya ke dia, Ar."
"Terus lo mau sampai kapan kayak gini? Dia bakal terus nyakitin lo."
Fina tertunduk , jemarinya mencengkram rok, tangisnya semakin pecah, bahunya bergetar, membuatku semakin iba melihatnya. Aku mengusap wajahku kasar, aku mengerti apa yang dirasakannya. Tapi tidakkah dia lelah menghadapi pacarnya yang tidak lebih seperti setan itu? Aku memandang Fina, dia masih terus menangis. Kuseka air matanya dan merapikan rambutnya, lantas kubawanya dalam dekapan.
"Udah, berhenti nangis.""Gue hamil, Ar." Terdengar suaranya yang lirih, tidak terlalu jelas namun masih bisa kudengar. Aku melepaskan dekapan, menatap wajahnya yang berantakan.
"Jadi ini, alasan lo nangis sekarang?""Gue bingung, Ar. Gue harus ngapain?"
"Cowok lo udah tahu?"
Fina menggeleng.
"Gak tahu kenapa, akhir-akhir ini dia suka ngehindar gitu, udah tiga hari dia gak masuk sekolah. Dia seolah tahu kalau gue hamil." Mendengar hal itu, membuat api di dadaku serasa tersulut, tanganku terkepal, ingin rasanya aku membogem habis wajah Arya. Tapi aku ini siapa? Apa hakku ikut campur dalam hubungan mereka? Tapi aku sangat tidak tega melihat perempuan disakiti seperti ini, bukankah dulu pernah kubilang kalau aku tidak pernah bisa melihat perempuan terskiti?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Bidadari
Teen FictionKupikir kau adalah satu-satunya yang nyata diantara perempuan- perempuan yang mendiami dunia khayalku, namun ternyata kau juga salah satu bagian dari mereka. Baiklah, kubiarkan kau hidup bahagia bersama orang lain, tapi bukan berarti aku menyerah. A...