24. Maaf

185 8 0
                                    

Angin sore memain-mainkan rambutku yang tak kuikat dengan rapi, tapi aku tak mempedulikannya. Bayangan Arkan dan Fina terus berkeliaran di pikiranku, membuat air mataku tak bisa berhenti keluar.

"Neng!! Ngapain aja sih di dalam? Keluar dong, kita makan!"
Suara mama yang kedua kalinya memanggilku, tapi aku mengacuhkannya.
"A Zaki nungguin loh."

"Kalian makan duluan aja, aku belum lapar!"
Aku berteriak sebisaku, menyembunyikan suara parau karena menangis.

"Eeh... kumaha budak teh, ti balik sakola teu kaluar kamar." (Eeh... bagaimana sih ini anak, dari pulang sekolah gak keluar kamar.")

Aku masih duduk di kusen jendela, mengayun-ayunkan kaki. Seandainya tadi aku ikut dengan Bagas mungkin aku tak akan melihat mereka seperti itu. Kamu tahu, Arkan, kenapa aku tidak ikut dengan Bagas? Karena aku menjaga perasaan kamu, aku tidak mau kamu cemburu. Tapi ternyata kamu sendiri yang membuatku seperti itu.

Ponselku berdering, aku menoleh ke arah tempat tidur, mendapati benda itu tergeletak disana, dan aku melihat nama Arkan disana. Malas rasanya, hatiku kacau, aku gak mau mengangkat telepon darinya, aku kecewa, aku marah, aku benci kamu, Arkan!

Sampai dering yang ke lima kali aku membiarkannya. Setelah itu ponselku berhenti berbunyi, namun ada sebuah pesan masuk yang memang dari Arkan pula
"Nay, plis angkat, aku akan jelasin semuanya."

Dan tak berapa lama dia meneleponku lagi. Aku mengangkatnya dengan malas.

"Nay."

Aku tak menyahut.

"Aku tahu kamu marah. Aku gak maksa kamu buat ngomong, tapi tolong dengerin aku dulu ya."

Aku masih diam. Pasti Yuan laporan ke dia kalau tadi aku melihat semuanya.

"Soal tadi aku dengan Fina... kamu salah paham. Aku gak ada apa-apa sama Fina, Nay. Percaya deh. Kita cuma temenan. Dia lagi banyak masalah, aku cuma kasihan sama dia."

Tapi harus ya menenangkannya dengan cara pelukan gitu? Fina itu sudah punya pacar, Ar, bagaimana mungkin kamu memberi perhatian seperti itu sama pacar orang?
Hatiku berkata demikian.

"Dia selalu disakitin Arya. Aku gak tega melihatnya, dia sering nangis di depanku, cuma aku yang berani dia datangi kalau dia lagi sedih. Makanya aku merasa kasihan."

Aku benar-benar tidak mengerti dengan cara pikirnya. Dia sedang menenangkan perempuan yang disakiti pacarnya, sementara dia gak sadar kalau pacarnya sendiri juga sedang dia sakiti. Kamu sadar gak sih, Ar? Kamu sadar gak sih?
Ingin rasanya aku berkata seperti itu, tapi aku tidak mampu, akhirnya tangisku kembali pecah tanpa suara, mewakili segala kecamuk perasaanku.

"Hatiku cuma buat kamu, Nay. Bukan untuk siapa-siapa lagi, aku cuma sayang sama kamu. Percaya, Nay."

Kalau kamu cuma cinta sama aku, harusnya kamu bisa dong, Ar, jaga perasaan aku. Aku yang lebih berhak buat mendapat perhatian kamu, bukan Fina.
Hatiku terus berkata-kata, sementara bibirku bungkam. Aku tak ingin mendengar penjelasannya lagi, maka kututup telepon itu tanpa berucap sepatah kata pun.

_

Pukul delapan malam aku baru keluar dari kamar, belum mandi, belum makan, pokoknya belum melakukan apapun, karena aku ketiduran.

"Massyaallah, neng... belum mandi?!"
Kata mama dengan suara lantang, seisi rumah bisa mendengarnya,
"Punya anak gadis kok begini amat, duh Gusti..."

Aku tak berkata-kata, lebih memilih melangkahkan kaki menuju meja makan, dan kudapati jatah makanku tertutup tudung saji.

"Gak mau mandi dulu?" Tanya mama lagi ikut duduk di sampingku.

Mengejar BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang