Part 11

6.4K 301 7
                                    

Sabtu pagi yang cerah, secerah senyum Radit pagi ini. Seperti biasa, Radit akan pergi menjemput Yara untuk berangkat bersama ke tempat mereka latihan paskibra. Waktu menunjukkan pukul 08.40 dan masih ada jeda waktu 5 menit bagi Radit untuk menunggu Yara di depan rumahnya. Ia memang sudah kenal dengan kedua orang tua Yara, namun ia selalu menjemput Yara di depan rumahnya agar mereka bisa langsung jalan. Radit menunggu jeda waktu tersebut sambil menyusun rencana agar membuat gadis itu marah-marah seperti biasanya, ia tengah menggunakan akal liciknya untuk memancing emosi Yara. 5 menit telah berlalu, baru saja Radit hendak mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya untuk mengirim pesan kepada Yara, namun sosok tersebut telah muncul di depan pintu rumahnya. Radit tercengang, ia benar-benar tidak menyangka dengan sosok yang ia lihat kini tengah menuju ke arahnya. Bukan karena Yara yang tidak telat saat Radit menjemputnya, bukan karena itu. Radit tercengang karena penampilan Yara yang sangat-sangat berbeda dari seminggu yang lalu. Ia sampai harus mengucek kedua matanya hingga berkali-kali dan menampar pelan kedua sisi wajahnya demi memastikan bahwa ia sedang tidak bermimpi saat ini. Yara yang melihat keterdiaman Radit pun mengibaskan tangannya di depan wajah Radit, sambil memanggil namanya berusaha menarik kembali laki-laki tersebut kedunia nyata.

Radit mengerjap. "lo...lo tumben...hmm...maksud gue...lo tumben banget pake baju kayak gitu..." Ujar Radit terbata karena ia benar-benar terkagum dengan penampilan Yara kali ini. Kenapa dia jadi lebih manis kalau pakaiannya kayak gini ya? Radit membatin.

Celana jeans ketat yang biasa Yara kenakan kini tergantikan oleh rok hitam panjang, baju kaos lengan panjang ketatnya pun juga tergantikan dengan kemeja kotak-kotak berwarna biru muda kesukaan Yara yang longgar sehingga tidak menampilkan lekuk tubuhnya, dan yang sangat membuat Radit heran adalah kerudungnya. Tidak ada lagi kerudung tipis dengan beberapa anak rambut yang terlihat serta disampirkan ke kedua bahunya, kerudung itu kini tergantikan oleh kerudung tebal serta panjang, dan Yara pun mengenakan ciput di dalamnya untuk menghalau anak rambutnya agar tidak keluar. Terlebih, mulai saat ini, ia sudah mengenakan handsock serta kerudungnya pun sudah mulai mengikuti syariat islam, lebar dan panjangnya hingga menyerupai baju.

Yara melihat kembali penampilannya untuk memastikan bahwa ia tidak salah mengenakan pakaian. "Kenapa? Aneh ya kalo gue pake baju kayak gini?" Yara menunduk, karena merasa malu di perhatikan oleh Radit sedari tadi.

Radit berdehem berusaha menetralisir kegugupannya. "Enggak kok, nggak aneh. Gue cuma...hmm...cuma agak heran aja sih kenapa lo tiba-tiba ngerubah gaya penampilan lo. Dan gue suka ngeliat penampilan lo kayak gini, jadi lebih manis, lebih islami." Ujar Radit tulus. Entah mengapa, Radit menjadi semakin gugup ketika berhadapan dengan Yara yang seperti ini. Jantungnya pun berdegub semakin cepat tanpa ia sadari, ia merasakan getaran itu lagi, dan getaran itu semakin kuat.

Yara tersenyum kikuk mendengar pendapat Radit mengenai penampilannya. "Makasih." Ucap Yara tulus.

Mereka terdiam cukup lama dan larut dalam pikiran masing-masing dengan posisi Radit duduk di motornya dan Yara berdiri di sisi Radit, hingga suatu pesan masuk ke ponsel Yara.

Yara mengerjap dan membaca pesan tersebut, lalu ia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Astgahfirullah Radit, ini udah jam 09.05" pekik Yara begitu tersadar bahwa mereka telat untuk datang mengajar.

Radit pun ikut melihat jam tangan di pergelangan tangan kirinya, dan ia segera menyuruh Yara naik ke kursi penumpang agar mereka segera berangkat ke tempat latihan.

Lagi-lagi keheningan mendominasi mereka, Radit benar-benar sibuk dengan pikirannya mengenai perubahan yang terjadi di diri Yara. Tadi Yara sempat menceritakan mengapa ia tiba-tiba melakukan perubahan itu terhadap dirinya. Jujur, Radit merasa kesal terhadap laki-laki bernama Ardi itu. Mengapa harus laki-laki itu yang menjadi penyebab berubahnya Yara? Mengapa bukan dirinya yang jelas-jelas selama ini selalu bersama dengan Yara? Berbagai macam pertanyaan muncul entah dari mana asalnya di kepala Radit, dan hal itu membuat fokusnya yang sedang mengendarai motor pun terbagi.

Cccciiiiittttttttt

Yara menabrak punggung Radit karena Radit tiba-tiba berhenti mendadak. "Astaghfirullah Radit, lo mau kita berdua mati atau gimana deh?" Protes Yara sambil mengelus dada nya, ia kesal karena Radit yang berhenti tiba-tiba.

"Maaf Yar, tadi ada kucing tiba-tiba lewat makanya gue nge rem mendadak. Lo nggak apa-apa kan? Ada yang sakit nggak? Atau luka gitu?" Radit menoleh ke belakang untuk memastikan Yara baik-baik saja, sedangkan Yara hanya mendengus kesal. Bagaimana bisa ia terluka, sedangkan yang di tabraknya saja punggung Radit, kan nggak mungkin tiba-tiba ia terluka lalu berdarah hanya karena menabrak punggung itu, kecuali punggung itu di penuhi oleh duri beracun, mungkin saat itu juga Yara akan menemui ajalnya setelah terhunus oleh duri-duri tajam nan beracun di punggung Radit.

"Lo pasti lagi nggak fokus, mikirin apaan sih lo sampe hampir nabrak kucing gitu?" Yara bertanya kepada Radit, tidak biasanya Radit mengendarai motor dengan keadaan tidak fokus begitu.

Radit menggeleng. "Nggak, gue nggak mikirin apa-apa." Elak Radit, perjalanan kembali berlanjut dan lagi-lagi terjadi keheningan diantara mereka.

***

Radit membanting tubuhnya ke kasur berukuran king size, ia lelah, benar-benar lelah. Bukan hanya lelah fisik, pikirannya pun kini ikut kelelahan. Rasa penasaran masih menggerogoti dirinya, tentang sosok Ardi yang menjadi penyebab perubahan Yara. Sesungguhnya ia bersyukur Yara berubah menjadi lebih baik, namun yang ia permasalahkan adalah sosok yang mampu menginspirasi Yara hingga Yara mau untuk berhijrah. Ia kesal, ia marah, marah pada dirinya sendiri. Kenapa bukan dia saja yang menginspirasi Yara? Kenapa harus laki-laki itu? Apa kelebihan laki-laki itu dibanding dirinya? Ia benar-benar tidak suka dengan fakta bahwa ia kalah dari laki-laki bernama Ardi itu. Ia cemburu, cemburu sangat terhadap laki-laki itu. Untung saja mereka tidak berada di satu kota atau wilayah yang sama, jika iya. Maka, Radit pasti sudah mendatangi Ardi dan menghajar laki-laki itu. Radit merasa takut, ia takut akan kehilangan Yara, ia takut bahwa nanti Yara akan berpaling darinya ke laki-laki itu, kehadiran Dika saja sudah mampu membuat dirinya terbakar, apalagi ini bertambah satu lagi parasit diantara dirinya dan Yara. Masalah Vano? Tentu saja ia sudah tidak mempermasalahkannya, meskipun Vano sempat membuat Yara sakit hati, setidaknya kini laki-laki itu sudah pergi dari kehidupan Yara, ia berharap Vano pergi selamanya, kalau perlu beda dunia sekalian agar ia tidak bisa dekat-dekat dengan Yara. Radit itu posesif, sangat posesif terhadap Yara, namun ia tidak menunjukkan itu di depan Yara agar gadis itu tidak tau akan perasaan Radit yang sesungguhnya. Alasan ia sering menggoda Yara adalah agar ia bisa semakin dekat dengan gadis itu, mungkin memang benar jika ia sering sekali membuat gadis itu marah hingga meledak-ledak, namun di sisi lain ia pula lah yang mampu membuat Yara tertawa bahagia. Ia senang bila Yara berada di dekatnya, dan ia merasa kesal tiap kali ia melihat gadis itu dekat dengan laki-laki lain selain dirinya. Pernah suatu ketika Radit bertengkar dengan Dika karena Dika seenaknya datang dan hendak membawa pergi Yara disaat dirinya tengah bersama gadis itu. Saat itu Dika baru saja balik pesiar dan masih mengenakan seragam lengkap, sedangkan Radit tengah makan siang bersama Yara di salah satu cafe kesukaan Yara. Hampir saja Radit membogem Dika, andai saja Yara tidak memisahkan mereka berdua. Untuk apa takut dengan Dika, jika mereka berdua masih sama-sama mengkonsumsi nasi, begitu pikir Radit saat hendak menghajar Dika yang berotot. Radit juga berotot, namun tidak sebesar Dika. Sejak itu lah, setiap kali Yara tengah bersama salah satu diantara mereka berdua, Yara berharap bahwa yang satunya tidak akan datang lagi. Yara takut menyatukan kedua laki-laki itu di ruangan yang sama, bisa-bisa terjadi baku hantam diantara mereka jika Yara pergi meninggalkan mereka.

Dering ponsel memecah lamunan Radit, ia melihat nama pemanggil tersebut dan langsung menekan tombol hijau.

"Lo di mana?" Radit memulai percakapan dengan si penelepon.

"Di rumah. Ada apa?"

"Gue mau minta tolong sama lo, tolong mata-matain Yara dan cari tau siapa cowo yang lagi deket sama dia di sekolah."

"Heleh-_- selama ini kan gue juga udah mata-matain dia, lagian dia juga lagi nggak deket sama siapa-siapa setau gue, si Vano juga udah sama sekali nggak ada kontak-kontakan sama Yara." Jelas si penelepon yang ternyata orang suruhan Radit untuk memata-matai Yara.

"Lo salah, dia lagi deket sama cowo lain selain gue. Dan namanya Ardi, tolong lo cari tau seluk beluk makhluk yang namanya Ardi itu, lo stalk aja. Sampe ke akarnya bahkan kalo perlu, trus tolong awasin dia kalo misalkan dia di deketin lagi sama Vano." Radit pun menjelaskan apa yang ia butuhkan dari si orang suruhannya tersebut.

"Iye, tar gue cari tau. Udeh kan nggak ada hal penting lain?"

"Nggak." Kemudian sambungan pun terputus.

DILAMAR(?) [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang