PEMBACA YANG BAIK ADALAH PEMBACA YANG MENGHARGAI KARYA PENULISNYA
"Mata hanya bisa melihat apa yang tampak, namun tidak bisa melihat apa yang dirasakan"
Erythrina Hernandia
-Senja dan Seberkas Cerita-
Malam itu angin berhembus bak susunan melodi yang mengalun lembut merambati gendang telinga. Sangat dingin memang, namun sungguh lembut gemerisiknya. Awannya bak kapas putih tanpa noda, walaupun kini sudah mulai tertutup oleh pekatnya langit malam. Tak peduli seberapa kelam warna langit malam ini, bintang masih menyala terang benderang. Cahayanya berpadu apik dengan nyala sinar sang rembulan yang menggantung manis diangkasa. Suara yang dihasilkan dari berbagai macam permainan yang ada di pasar malam seolah menjadi backsound dari deretan cerita Nandia hari ini.
Gemerlap pasar malam yang dihasilkan dari kerlap kerlip lampu disana sama sekali tak membuat mata Nandia bosan sedikitpun. Gadis itu masih setia menarik ujung bibirnya guna mencetak senyum terbaiknya. Jemari tangan Nandia tak kunjung mau berpindah walau hanya satu mili saja dari telapak tangan laki laki yang menggenggamnya erat. Hangat, itulah yang Nandia rasakan, seolah genggaman tangan itu mengalirkan kalor melalui ribuan sel yang ada disana. Ya, kadang otak manusia akan menjadi bodoh seketika saat menyatakan segala sesuatu yang berhubungan dengan cinta.
Semilir angin menerbangkan surai hitam milik Nandia. Tak bisa dipungkiri bahwa udara saat ini memang dingin, namun Nandia berpikir suhu udara disekitarnya perlahan naik menjadi panas kala tautan tangannya tak kunjung terlepas. Satu lagi, menurut Nandia suara berisik dari pengunjung pasar malam nyatanya tak mampu meredam bisingnya suara detak jantungnya yang mulai tak karuan. Lebih dari itu semua, Nandia benar benar merasa bahagia saat ini. Ia tidak ingin cepat cepat melalui alur cerita Tuhan malam ini, walau sebenarnya ia juga ingin segera menggoreskan pulpennya menuliskan rangkaian aksara untuk mendeskripsikan kebahagiannya.
Farel melepaskan jaketnya kala dirinya merasakan semilir angin berangsur mendingin. Katakanlah Farel laki laki yang peka, sehingga Nandia tidak perlu memberi kode layaknya yang pasangan lain lakukan. Benar- benar pacarable bukan? Seperti itulah menurut Nandia.
Nandia sedikit kaget setelah mendapati sebuah jaket terpasang mulus dibadan mungilnya. Ia menolehkan kepalanya seraya mengulas senyum tulus dibibirnya. "Terima kasih," kata Nandia dan hanya disambut dengan anggukan kepala oleh Farel.
"Tapi kamu nanti kalo kedinginan gimana?" lanjut Nandia. Raut wajah gadis itu berubah drastis menjadi panik. Farel mengeratkan genggaman tangannya, lalu membalas Nandia dengan senyum hangat.
"Kalo aku kedinginan, kan aku bisa langsung peluk kamu biar hangat," ujar Farel sambil menaik turunkan alisnya. Seketika, pipi Nandia mulai memerah. Nandia mencubit lengan Farel dengan tangan satunya, ia tidak ingin melepaskan genggaman laki-laki itu sekali lagi.
"Ih, kamu ya? Kok mulai aneh kaya gini, kamu ketularan si Arjun ya?"
"Aww, sakit tau," Farel mengelus bekas cubitan Nandia.
"Salah sendiri, ngomong begituan," Nandia mengalihkan pandangannya dari Farel. Farel lalu melepaskan kaitan tangannya. Dengan pelan, telapak tangannya meraih wajah Nandia dan membuatnya menghadap paras Farel. Kedua pasang mata itu beradu untuk waktu yang tidak lama.
"Iyadeh nggak gitu lagi, tapi jangan ngambek dong. Entar bintang yang ada dilangit nggak mau bersinar lagi,"
"Emang apa hubungannya sama bintang dilangit?"
"Kalian berdua itu sama sama bersinar, jika bintang tau salah satu temannya lagi ngambek disini, nanti bintangnya yang lain jadi sedih dan nggak mau bersinar lagi,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan Seberkas Cerita
Teen Fiction[ON GOING-UPDATE SETIAP HARI MINGGU] "Pacaran yuk, Ra." Senja terhenyak. Otaknya seolah berhenti sejenak ketika kalimat sakral itu terlontar dari mulut Kelvin. Senja duduk membeku. Semuanya serba mendadak. Dari mulai Kelvin yang kembali muncul secar...