PEMBACA YANG BAIK ADALAH PEMBACA YANG MENGHARGAI KARYA PENULISNYA
"Tolong Tuhan, jangan menuang rasa pahit terlalu banyak pada gelas takdir milikku,"
"Bertahan menyukaimu sama seperti mengiris pergelangan tanganku perlahan, menyakitkan."
-Senja dan Seberkas Cerita-
Nandia memandangi ponselnya yang berada diatas meja belajar. Disamping ponsel tersebut terdapat tumpukan buku pelajaran beserta alat tulis milik Nandia yang belum sempat ia bereskan. Nandia memusatkan pandangannya pada layar ponsel miliknya yang tak kunjung menyala, menandakan bahwa belum ada satupun pesan atau panggilan yang masuk. Nandia menghela nafas. Sudah genap empat hari Farel tak menghubunginya. Cowok itu sepertinya memang tidak berniat memperbaiki hubungan mereka. Sekelebat kejadian dirumah sakit dimana Farel dan Senja berpelukan melintasi benak Nandia. Bukan, Nandia tidak marah dengan Farel karena pacarnya itu memeluk Senja yang notabene adalah sahabat Farel. Nandia berpikir mungkin Farel butuh seseorang yang bersedia meminjamkan bahunya untuk bersandar atau mungkin meminjamkan raganya untuk dapat didekap erat. Dalam kondisi terpuruk, orang membutuhkan tempat bersandar, sama seperti yang Nandia katakan beberapa hari yang lalu. Namun masalahnya, Nandia kecewa karena bukan dialah yang dijadikan Farel sebagai sandarannya. Bukan dia yang meminjamkan bahunya ataupun raganya untuk didekap. Bukan Nandia yang mengulurkan tangannya menepuk-nepuk punggung Farel yang rapuh, melainkan Senja. Ya Senja, Farel tampaknya lebih memilih Senja untuk membagi segalanya.
Nandia menjatuhkan kepalanya di atas meja belajar. Ia bosan sekaligus kesal pada dirinya. Ia seperti orang bodoh yang masih menetap walau sudah dikecewakan berkali-kali. Otaknya terus menyuruhnya untuk melepaskan Farel, namun hatinya tak mau menurut. Kesal pada dirinya yang bodoh, Nandia lantas membentur-benturkan kepalanya pada meja. Selajutnya ia terisak, air matanya tumpah, karena tidak sanggup lagi ia tahan. Batinnya tidak berhenti memaki dirinya sendiri, meneriaki Nandia untuk sadar bahwa Farel tidak sepenuhnya menjadi miliknya.
"Lo itu bodoh, Nan. Masih aja berharap sama orang yang bahkan nggak menjadikan lo sebagai prioritasnya," racau Nandia.
Nandia mengangkat wajahnya yang berantakan. Matanya sembab dan air mata belum sepenuhnya mengering di pipinya. Matanya menatap ponsel miliknya yang menyala. Ia membaca sebuah notifikasi pesan masuk yang tertera pada layar. Dengan semangat menggebu, Nandia menggulirkan layar ponselnya dan membuka pesan yang masuk.
Farel
Maaf, Nan. Kamu pasti marah dan kecewa sama aku. Aku nggak akan ngelarang, silahkan. Tapi tolong dengerin dulu penjelasan aku. Aku kemarin bener-benar terpuruk, mama belum siuman selama hampir dua hari, dan Senja datang waktu itu. Dia peluk aku. Iya, aku ngeliat kamu ada disana, menatap ke arah aku sama Senja. Tolong maafin aku, Nan. Satu lagi, kamu pasti kecewa karena aku nggak kabarin kamu tentang kesehatan mama yang sempat menurun. Aku terlalu kalut sampai lupa untuk kasih tahu kamu. Aku minta maaf, Nan. Aku sayang kamu.
Membaca pesan dari Farel membuat dada Nandia sesak. Farel tahu jika dua hari yang lalu Nandia datang kerumah sakit dan melihatnya berpelukan dengan Senja, namun cowoknya itu baru meminta maaf sekarang. Seolah, masalah kemarin bukan masalah yang penting. Lupakan soal permintaan maaf Farel yang terlambat. Dalam pesan singkatnya, Farel menuliskan bahwa ia lupa untuk memberi tahu Nandia, memangnya Nandia tidak penting sampai dalam kondisi seperti ini ia dilupakan? Nandia tidak egois, ia mencoba mengerti semua yang Farel rasakan. Bagaimana cowok itu melihat mamanya yang tak kunjung siuman, sampai pikirannya yang kalut. Nandia mencoba untuk mengerti. Namun, alasan lupa tentu bukan alasan yang tepat. Seseorang yang memang benar mencintaimu, akan menjadikanmu rumah, tempat pertama yang ia tuju ketika lelah. Dan yang terjadi, Nandia bukanlah rumah bagi Farel. Ia hanya berstatus pacar Farel, tetapi tidak memiliki sepenuhnya kepercayaan dan hati cowok itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan Seberkas Cerita
Teen Fiction[ON GOING-UPDATE SETIAP HARI MINGGU] "Pacaran yuk, Ra." Senja terhenyak. Otaknya seolah berhenti sejenak ketika kalimat sakral itu terlontar dari mulut Kelvin. Senja duduk membeku. Semuanya serba mendadak. Dari mulai Kelvin yang kembali muncul secar...