13. Ada atau Tiada

33 11 10
                                    

PEMBACA YANG BAIK ADALAH PEMBACA YANG MENGHARGAI KARYA PENULISNYA  

"Kembalilah ayah, ku mohon pahami perasaanku lalu peluk diriku erat,"

Farel Arian Nugraha

"Kamu itu ibarat pecahan kaca. Semakin erat aku menggenggamnya, maka aku akan semakin terluka,"

Erythrina Hernandia

-Senja dan Seberkas Cerita-

"Halo," ucap Farel ketika mendapati panggilan teleponnya diangkat.

"Iya, ada apa Rel?" jawab si penerima telepon yang tak lain adalah seorang perempuan.

Farel diam sejenak. Ia memandang lurus ke depan, memfokuskan matanya pada potret kota Surabaya tempat ia berpijak sekarang. Udara dingin Kota Surabaya seakan menjadi pembukus tubuh Farel. Namun yang terjadi, udara dingin itu tak berpengaruh sama sekali pada tubuh cowok itu.

Farel masih menempelkan ponselnya di telinga,ia tak kunjung berucap. Selang beberapa detik kemudian, terdengar suara dari si penerima telepon. "Rel? Gue tutup dulu ya telfonnya, maaf gue lagi sibuk. Nanti gue telfon lagi," pamit si penerima telepon sebelum benar-benar memutuskan panggilan Farel.

Belum sampai Farel menjawab pernyataan tersebut, bunyi panggilan diakhiri membuat Farel menjauhkan ponselnya dari telinga. Ia menatap layar ponselnya yang kini menampilkan aplikasi kontak. Dengan setengah hati ragu, ia menghubungi pemilik kontak yang berada pada baris kedua daftar nomor yang sering ia dihubungi. Tak butuh waktu lama, suara yang berasal dari ponsel Farel terdengar, tanda bahwa panggilan itu diangkat oleh si penerima.

"Halo Rel, ada apa malam-malam telfon aku?"

Farel tersenyum, "Kamu lagi ngapain?" tanyanya balik.

"Lagi belajar doang. Baca materi pelajaran buat besok, kamu?"

Farel tak henti-hentinya mengulum senyum mendengar kalimat yang disuarakan Nandia. Farel begitu senang karena Nandia mau menerima panggilan teleponnya, sampai-sampai ia lupa caranya untuk berhenti tersenyum. Cewek itu sepertinya juga merasakan hal yang sama, terbukti dengan nada bicaranya yang terkesan bersemangat.

"Bentar bentar, biar aku coba tebak. Kamu pasti abis nonton film sama ayah kamu ya? Oh atau abis main kartu? Mungkin juga kalian abis minum kopi bareng"

Senyum Farel luntur mendengar ayahnya masuk ke topik pembicaraan. Kepingan ingatan tentang peristiwa tadi siang kembali membuka lukanya. Perlahan, ingatan itu berperan bak sebuah pisau yang kemudian menyayat hatinya lagi. Farel menggigit bibirnya sendiri, ia bingung apakah ia harus menceritakan hal ini pada Nandia atau tidak.

Orang orang berkata bahwa bercerita akan mengurangi satu kesedihan yang kita rasakan dan dapat menambah satu kebahagiaan. Setiap orang membutuhkan tempat untuk bersandar, tempat untuk mencurahkan segala perasaannya. Dan Farel membutuhkan tempat itu sekarang. Setelah berpikir matang, akhirnya Farel memutuskan untuk membagi masalahnya dengan Nandia.

"Enggak, aku lagi nggak abis ngapa- ngapin kok. Ayah tadi pergi beberapa menit setelah bicara sama aku. Cuman beberapa menit, Nan. Bahkan aku sama sekali belum mengucapkan apa-apa tapi dia udah pergi lagi," pandangan Farel menyendu. ia seorang cowok, ia tidak boleh menangis. Tapi untuk saat ini, biarkan dia menghianati janjinya sebagai seorang cowok.

"Aku pengen teriak dan buat dia berhenti saat itu juga. Tapi satu katapun nggak bisa keluar dari mulutku. Seandainya aja, dia berbalik aku akan peluk dia erat. Aku kangen sama dia, Nan, terhitung sejak enam bulan lalu ia kesini,"

Senja dan Seberkas CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang